Part 2

30.4K 1K 12
                                    

Operasi selesai sesaat adzan shubuh berkumandang. Aku bergegas melucuti semua perangkat operasi yang ada di tubuhku. Segera pergi dari ruangan OK ke ruang jaga. Anne sudah tersiap di ruang jaga.

Mataku sayup-sayup menutup, lelah. Aku butuh tidur, sudah beberapa hari ini tidurku tak menentu sama sekali. Karna pasien masih saja berlalu lalang tak kenal waktu.

Mata itu, aku masih ingat jelas mata dokter bedah itu. Aku tak salah lihat kan? Mata yang sering aku tatap beberapa tahun lalu. Mata yang sering adu pandang dengan mataku. Aku ingat jelas memori-memori itu, aku ingat jelas kalimat-kalimatnya tempo itu.

Huss.. Aku mengusap wajahku gusar, kenapa aku bisa mengingat itu semua? Aku harus lupa, jangan ingat kembali. Tuhan, tolong hapus semua kenangan di ingatanku bersamanya.

Derap langkah dari arah ruang OK terdengar di singga sana, sesosok tubuh tinggi jangkung melenggang berjalan ke arah kami. Jalannya yang tegap dengan jas putih kebanggaan masih melekat di tubuh atletisnya. Masker yang masih menutupi setengah wajahnya, kacamata oval yang melindungi kedua matanya. Rambut rapi dan klimis, tolong... Anne masih memandangnya.

Laki-laki itu menghampiri kami dan membuka maskernya.

Aku terdiam sesaat,... Fahri?

"Koas bedah yang tadi jadi as-op yang mana?" Ucap suara bariton itu.

Benar dugaanku saat ini. Suaranya, matanya, aku hampir menangis!

"Adzyia Alya Putri Disastra, dok." Jawab Anne seraya menyenggol bahuku.

Aku tak bisa berkata apa-apa, aku terdiam sepi. Mataku sangat-sangat memanas ingin mengeluarkan sesuatu.

Fahri..

Fahri.. kamu kemana saja? Batinku berteriak.

"Oh, Alya ya?" Ucap lelaki sangat datar.

Anne menyadarkanku, "Gak usah terpesona gitu, Al. Lihat cincin di jari manis kirinya. Pasti sudah tunangan." Bisiknya tepat di telingaku.

Mataku melirik jarinya, benar, ada cincin. Tapi.. Apa benar yang di maksud Anne? Aku tak percaya, karna aku yakin betul dengan kalimat-kalimat terakhirnya saat dia akan pergi dan tak akan kembali lagi kepadaku.

"Al.. Aku mohon, aku pergi demi kesembuhan dan masa depanku. Jangan kamu terpuruk karna kita akan berpisah, kita pasti akan bersatu. Doakan selalu diriku, semoga nantinya ketika kita bertemu kembali, aku menjadi Fahri yang kamu harapkan.. Tunggulah kesembuhanku."

Kepalaku menunduk, terasa air hangat keluar dari kedua mataku. Aku langsung menghapusnya, aku harus melawan semua ini. Dan mencari waktu yang pas untuk memintanya menjelaskan semua ini.

"Ya, saya dok." Ucapku dingin tanpa melihatnya.

"Siang nanti temui saya di ruangan. Jam sebelas siang." Selorohnya lalu meninggalkan kami berdua.

Aku bernafas panjang. Tak mimpi kah akan bertemu kembali lagi dengan dia?

Dia yang namanya selalu aku lantunkan di setiap doa-doaku.

Dia yang selalu aku harapkan.

Dia yang selalu aku tangisi di setiap malam-malamku.

Aku bodoh.

Sangat bodoh.

****

Perlahan tangan kananku mengepal, hendak mengetuk sebuah pintu ruangan.
Mengumpulkan keberanianku untuk mengetuk pintu ini, tetapi.. gagang pintu sudah bergerak, sepertinya seseorang dari dalam yang menggerakannya.

Hidupku Hanya Untukmu [ON GOING]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang