Saat itu, saat bersamamu

31 1 2
                                    


Keluar dari ruang 15x10 m2 dengan perasaan yang kecewa. Pasalnya hujan belum juga reda. Terpaksa harus berdiri mematung di antara puluhan penikmat cerutu yang menyebalkan. Melongo sambil menatap aspal basah oleh hujan dan tergilas ribuan roda. Sesekali menengok sekeliling. Tak ada alasan apapun untuk bertahan. Akhirnya pilihan terakhir adalah nekad menerabas hujan.

Malam ini hujan deras. Dingin mencekam. Satu tetes, dua tetes air yang jatuh di telapak tanganku membuatku tersenyum tipis. Dan pikiran itu terhenti pada satu nama yang tak akan terganti.

Ponselku bergetar beberapa detik kemudian. Aku segera menutup jendela dan memeriksa pesannya. "Selamat malam, Kak Galuh". Aku hanya menelan ludah membaca pesan itu. Aku begitu tak tertarik membalasnya.

Perasaan ini masih kosong, seberapa banyak wanita yang mengajak bicara. Semuanya masih terasa kosong. Tunggu! Tadi seseorang memanggilku kak. Aku jadi teringat sesuatu.

Ya. Nama lain. Ekspresif dan khas sekali.

Aku tertawa kecil. Waktu berlalu. Tetes hujan di luar sana membasahi hatiku. Tak ada pilihan terbaik selain ku pejamkan mataku untuk mengingat sesuatu. Apalagi kalau bukan tentang dia.

***

Aku merasa sering frustasi akhir-akhir ini. Bahkan meja kerja yang dulunya ku anggap sebagai zona paling nyaman pun, sekarang tak bisa menjaga mood-ku. Pikiranku berlarian kesana kemari. Tak ada satu kata pun yang dapat ditulis. Bingung dan resah. Ah! Perasaan macam apa ini.

"Apa aku mengganggu?" , mataku tak tertahan untuk mengabaikan pesan ini.

"Kau selalu menganggu pikiranku setiap malam" balasku.

Dia tertawa lewat emoticon terbaru di smartphone miliknya. Aku mendesis kesal. "Kau selalu senang melihatku sedih."

"Tidak. Aku tidak pernah menginginkannya. Kau yang selalu menempatkan hatimu pada posisi itu" balasnya.

Aku tak membalas. Terlanjur kesal. Ditambah lagi mood yang buruk. Aku hanya diam. Menatap layar laptopku yang terang. Melamun dalam waktu yang lama.

"Bagaimana dengan panggilan barumu?" , gadis itu masih sama nakalnya. Menggoda, mencari topik baru. Dan itu yang membuat tanganku tak bisa diam.

"Buruk. Ku pikir itu adalah panggilan buruk yang pernah ku dengar" balasku.

"Itu hanya soal terbiasa saja, Diass. Kau akan terbiasa setelah beberapa bulan kemudian" , aku menghela napas.

"Kau tau bagaimana aku."

"Aku tau siapa Diass, Raka Diass Galuh. You who want be the start for me. That's you" , ia berrguarau. Aku tersenyum membacanya tapi di sisi lain batinku bertanya apa kaitannya?

"Begini Diass. Sekarang kita memiliki dunia masing-masing. Kau dengan kesibukanmu di sana dan aku bahagia di kota yang teramat kau benci. Aku percaya kau akan melakukan apapun yang ku mau, apapun yang membuatku senang..."

Napasku sudah tertahan saat membacanya, "Dan aku berharap sekali kau bahagia dengan kehidupan barumu di sana."

"Haruskah dengan panggilan baru?"

"Ya. Mungkin" balasnya.

Aku terdiam. Belum ada pikiran membuka topik baru. Sesekali aku tersenyum saat gadis itu mengingat "Want be the stars". Tentu aku sangat senang, teramat.

"Aku ingin terlihat seperti bintang untukmu. Kau ingat mengapa?"

"Aku bisa membuatmu tersenyum saat kau menatapku meski pun aku berada jauh darimu..." , aku tertawa. Ternyata gadis ini masih mengingat begitu jelas.

Liburan Musim HujanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang