Selalu, selamanya -- Bagian Akhir.
Hari ini, selamanya......
Butir-butir salju turun dengan hening.
Burung- burung yang biasanya berkicau di sekitar hutan juga seolah-olah tidak berani bersuara.
Suara hewan malam yang ramai kala malam menjelang tidak terdengar sama sekali.
Seluruh alam seperti dunia tanpa suara yang ditutupi oleh selimut hitam yang membungkam semua suara sehingga yang tersisa hanyalah keheningan belaka. Keheningan yang bahkan tidak berani diusik oleh suara tiupan angin.
Dari dalam sebuah rumah di tengah gunung, suara isak tangis terdengar begitu jelas walaupun isak itu hanya berupa isakan halus. Bukan raungan ataupun teriakan histeris, tapi hanya isakan halus, sehalus tarikan nafas.
Di kamar yang diterangi cahaya lilin, seorang pemuda dengan air mata yang mengalir dari sudut matanya yang indah memeluk tubuh kaku kekasihnya.
Lu Cang baru saja menghembuskan nafas terakhirnya dalam pelukan Jing. Senyum di wajahnya yang damai, seolah-olah dia sedang tertidur pulas, membuat orang tak percaya kalau dia telah meninggalkan dunia fana ini.
Tapi kenyataannya Lu Cang memang telah tiada. Sebulan lalu, saat Lu Cang tiba-tiba muntah darah, Jing baru tahu, ternyata selain membutakan matanya, ramuan yang diberikan oleh tabib istana juga memiliki efek samping. Dan efeknya baru akan bekerja setelah dua puluh lima tahun. Jika Lu Cang cukup kuat, mungkin dia masih bisa bertahan untuk lima hingga sepuluh tahun. Dan ternyata Lu Cang tidak cukup kuat. Bertahun-tahun hidup sendirian sedikit banyak telah menggerogoti fisiknya. Dia hanya bisa bertahan kurang dari dua tahun.
Jing menggigit bibirnya dengan kuat, menahan dirinya untuk tidak menangis. Sejak kecil Jing bukanlah anak yang cengeng. Tak pernah setetespun air matanya mengalir. Tapi saat ini, walaupun dia berusaha keras untuk tetap tegar, air matanya tetap tak kuasa dibendungnya. Mengalir tetes demi tetes hingga membentuk aliran sungai di wajahnya yang cantik.
Rasa asin memenuhi mulutnya. Bibirnya telah berdarah saking kuatnya dia menggigitnya. Tapi anehnya dia tak merasa sakit sama sekali. Rasa sakit di bibirnya yang terluka tak mampu mengalahkan rasa sakit di dadanya saat ini. Sakit tanpa luka, namun perihnya seperti mampu meledakkan dadanya. Bukan rasa sakit seperti ditusuk ribuan jarum, bukan juga sakit seperti ditembus oleh pedang, lebih, sakitnya lebih dari itu. Jing bahkan tak mampu melukiskan dengan kata-kata rasa sakit yang belum pernah dirasakannya ini. Hatinya hampa. Kosong. Namun setiap denyutan jantungnya yang menandakan bahwa dia masih hidup sementara Lu Cang sudah tak bergerak lagi membuatnya merasa sangat menderita. Setiap kali dia menghembuskan nafasnya yang hangat sementara tubuh Lu Cang mulai mendingin membuatnya sangat kesakitan.
Dada Jing terasa nyeri, tapi Jing tak bisa menjelaskan dengan kata-kata apa yang membuatnya kesakitan. Rasanya ada gumpalan duri yang menyumbat tenggorokannya yang membuatnya sulit bernafas.
Apa ini yang disebut dengan kesedihan?
Lahir di keluarga kaya-raya, sejak kecil Jing tak pernah tahu bagaimana rasanya hidup susah. Apapun yang diinginkannya pasti didapatkannya. Jing tak pernah tahu bagaimana rasanya gagal. Apalagi yang namanya sedih, Jing tak pernah tahu dan merasa tak perlu tahu bagaimana rasanya bersedih.
Lalu kenapa air mata ini mengalir tanpa henti?
Apa arti rasa sesak di dada ini?
Jing memandangi wajah Lu Cang yang damai. Jing tak ingin percaya bahwa Lu Cang sudah tak akan pernah tersenyum padanya lagi. Dia tak ingin percaya bahwa mata yang terpejam itu tak akan pernah terbuka lagi.
KAMU SEDANG MEMBACA
HHYL Fanfic in Bahasa Indonesia
FanficLagi-lagi Lu Cang terganggu oleh suara di tengah malam. Hantu? Setan? atau Valak? LOL Padahal Jing lagi gak ada di rumah. Kira-kira Lu Cang bakal takut gak ya? Ini hanya oneshot dalam bahasa Indonesia. Experimen sekaligus latihan sebelum mulai mener...