"Gue balik dulu yah." Calista melempar senyum kecil lalu menurunkan kaca helmnya. Dia melambai tangan singkat yang kubalas dengan anggukan kepala sekenanya. Kemudian dia mulai mengendarai motornya meninggalkan area depan rumahku.
Aku menghela nafas panjang. Ini sudah hampir jam lima sore, aku dan Calista baru saja pulang dari rumah Andra. Tadi saat kami datang ke rumah cowok itu, Papanya sudah dikebumikan, keluarganya sedang sibuk mempersiapkan tahlilan untuk nanti malam. Berdasarkan pengamatanku tadi, Andra terlihat baik-baik saja. Maksudku tentu dia berduka, hanya saja dia tidak berada di tahap dimana dia terpuruk dalam kesedihannya, meraung-raung, atau mengunci diri di kamar rumahnya. Andra masih bercengkrama bersama kami, kebetulan tadi juga datang teman-teman satu kelas Andra yang lain, termasuk Bima.
Karena asyik mengobrol dengan mereka, aku dan Calista pulangnya jadi ngaret dari waktu yang kami rencanakan. Tapi untunglah aku sudah mengabari Mama untuk menghindari omelan seperti waktu malam itu.
Aku baru saja membalikkan badan untuk segera masuk ke rumah, mataku tiba-tiba menangkap pemandangan yang cukup aneh bagi indera pengelihatanku. Disana, di halaman rumahku yang ukurannya tak lebih dari 4 x 4 meter, Kania dengan gerakan sok lincahnya men-dribble bola basket dan melemparkannya ke ring basket milikku (Iya, itu ring basket milikku karena aku yang punya ide memasang ring basket disitu serta membuatnya pun menggunakan uang tabunganku sendiri).
"Tumben main basket, Kan?" Kulangkahkan kaki untuk mendekatinya.
Kania menoleh padaku berbinar, dia berhenti memantulkan bola itu ke konblok, gantian memeluknya dengan sebelah tangan.
"Ajarin gue main basket dong, Kak Kin!" ucapnya bersemangat.
"Kenapa? Materi penjaskes kelas sepuluh lagi tentang basket, ya?"
"Bukannn, ini lebih penting. Ayo Kak, lo mesti ajarin gue, lo kan anak basket sekolah."
Dengusan langsung lolos dari bibirku. Anak basket sekolah apanya? Bisa tolong lupakan saja masalah itu?
"Mau belajar apanya?" tanyaku sambil berlalu, meletakkan tasku ke atas kursi rotan di teras lalu kembali lagi mendekati Kania. Dia melempar bola basket kepadaku yang sigap kutangkap.
"Teknik dasar?" jawabnya, agak ragu.
Aku memantulkan bola basket itu ke konblok beberapa kali lalu melemparkannya ke arah ring. Masuk! Aku tersenyum senang sambil kembali memungut bola basket itu, terdengar Kania mulai tepuk tangan heboh. Aku jadi geli sendiri.
Hah, rasanya sudah jarang sekali aku menyentuh bola ini. Padahal dulu bola basket adalah salah satu benda yang keberadaannya tak boleh jauh dariku. Seperti yang sempat kukatakan sebelumnya, dulu aku memang sempat tergabung dalam ekskul basket sekolah, baik saat SMP maupun SMA. Waktu SMP malah aku diutus langsung oleh pembina ekskul menjadi kapten tim basket putri sekolah. Sayangnya di SMA, karir basketku tak berjalan mulus.
Sebenarnya aku benci ketika harus membahas sejarah basketku, karena ketika mengatakan tentang basket, mau tak mau aku harus kembali mengingat sosok yang paling berpengaruh pada karir basketku, atau lebih tepatnya sosok yang paling berpengaruh dalam kehancuran karir basketku. Namanya Romeo. Tak perlu kujelaskan Romeo siapa karena hanya ada satu makhluk bernama Romeo dimuka bumi ini yang hobi berkeliaran di hidupku.
Aku ingat betul, waktu awal kelas sebelas dulu aku menjadi salah satu kandidat calon kapten tim basket putri SMA Pelita. Tentu saja aku senang, aku kan memang merasa cukup jago sekaligus memang suka sekali main basket, termasuk ketika jam istirahat, dimana jam itu pada umumnya seharusnya dihabiskan untuk nongkrong di kantin, aku malah sering menghabiskan jam istirahatku untuk bermain basket di lapangan sekolah, hal yang membuat Calista kadang suka mencak-mencak dan dongkol berat padaku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Resist Your Charms
Teen Fiction#3 in Teenfiction (24 Juni 2017) [SUDAH TERBIT] [SEBAGIAN PART SUDAH DIHAPUS] Dia itu arogan, bossy, ketus, pemarah, tukang ngatur dan suka seenaknya sendiri. Tidak ada yang menarik dari dirinya kecuali tampang gantengnya yang bahkan kini sudah ti...