MAMIAYAM

84 2 6
                                    

Kau harus menangis. Tersedu-sedu, bila perlu. Ini saatnya kesedihan. Ini masanya dukacita. Dukacita itu kematian. Dukacita itu menangis.

Sas menengadahkan wajahnya. Menatap langit pagi yang cerah. Angin berhembus semilir membelai senyuman matahari yang malu-malu. Ini hari yang indah. Sas tidak mengerti mengapa alam tak ikut sendu saat dukacita manusia menyeruak. Senyum Sas mengembang untuk orang-orang yang datang. Menyapa mereka dengan kebahagiaan yang tulus. Menyalami mereka dengan ramah. Membagikan uang-uang recehan yang dibungkus dalam rupa-rupa saputangan. Sas memastikan setiap tamu mendapatkan saputangannya. Bahkan Sas menyorongkan baki berisi tumpukan saputangan berisi uang logam pada siapa yang meminta warna saputangan kesukaannya, menyuruh mereka memilih warna sendiri.

Seseorang menyenggol lengan Sas dengan agak kasar. Sas menoleh. Buliknya menatap tajam. Mulutnya rapat namun mendesiskan kemurkaan.

"Letakkan baki itu, masuk ke dalam dan bersedihlah. Ora ilok kau ikut membagikan sapu tangan itu di hari seperti ini!"

Sas bingung. Tapi demi buliknya, dia menyerahkan baki berisi sapu tangan itu pada seorang kenalannya yang bersedia menggantikan tugasnya membagikan saputangan kepada tamu yang datang. Lalu dengan patuh Sas masuk ke rumah.

Tak hanya di luar rumah, di dalampun penuh sesak dengan manusia. Hampir seluruhnya bertampang keruh. Hati mereka mengaduh. Mata-mata yang mengilat oleh air mata. Sas lalu mengerti apa yang dimaksudkan buliknya. Bahwa diapun harus berduka sedemikian rupa. Membagi-bagikan saputangan kepada tamu, itu jelas bukan porsi pas bagi yang berduka.

Sas menghampiri Mamiayam yang sangat dikasihinya. Sas pun tahu pasti betapa cintanya Mamiayam padanya. Bioleh dibilang, mereka saling mengasihi, hanya saja kasih Mamiayam pada Sas jauh lebih tak terhingga. Sas melihat Mbah Roso sedang menghias wajah Mamiayam. Mamiayam sudah cantik. Kulitnya bersih. Wajahnya berseri-seri. Tapi demi tradisi dia harus dirias lagi. Tadi pagi Sas sudah memilihkan pakaian terbaik. Gaun biru berbunga-bunga tulip kecil yang manis. Gaun itu dihadiahkan oleh Sas pada Mamiayam dengan menguras seluruh tabungannya. Tak apalah jadi bokek, asal Mamiayam senang, kira-kira begitu pikir Sas. Gaun itu sekarang dikenakan pada Mamiayam. Sas senang sekali melihat betapa cantiknya Mamiayam memakai gaun biru berbunga-bunga mungil hadiahnya itu.

Sekarang, tangan Sas gatal ingin membantu merias Mamiayam. Sas yakin dia bisa membuat Mamiayam lebih cantik. Tentu saja, Sas kan melakukannya dengan cinta. Siapa yang bisa menandingi hasil kerja berlapis cinta?

Tapi Mbah Roso, yang sudah menyisir rapi rambut Mamiayam, keberatan. Katanya, Sas lebih baik menenangkan diri. Atau jangan malu-malu kalau mau menangis. Itu baik untuk jiwamu. Lagi-lagi Sas bingung dengan perkataan orang lain. Tadi buliknya. Sekarang Mbah Roso. Sas tidak merasa gelisah sehingga patut menenangkan diri. Pun, dia tidak merasa perlu menangis. Bahkan, rasanya dia lebih suka bersyukur alih-alih berduka. Tapi dia takut nanti bulik menamparnya. Jadi Sas diam saja. Pura-pura menunduk seperti yang lainnya. Tapi meski tanpa kata, tangannya meraih pelembab wajah. Mamiayam selalu memakai pelembab wajah sebelum berias. Katanya, itu akan membuat kulitmu tak cepat kisut. Sas mengangguk-angguk saja. Baginya, Mamiayam hampir selalu mengatakan hal yang benar. Mamiayam itu bijaksana sekali. Sabar. Penuh kasih. Maka, Sas bertekad untuk ikut merias Mamiayam, biarpun Mbah Roso akan marah.

Sas memperhatikan bahwa kulit Mamiayam memang tak cepat kisut. Dia telah tua, lima puluh tiga tahun, lagipula hidupnya bisa dibilang sengsara. Tapi Mamiayam bukan jiwa yang stres. Dia jiwa yang gembira. Mungkin itu obat kisut yang lebih manjur daripada pelembab wajah. Sas mengoleskan pelembab wajah dengan hati-hati pada wajah cerah Mamiayam. Lalu meratakannya dengan lembut. Setelah pelembab mengering, Sas memulaskan alals bedak. Sedikit saja lalu meratakannya dengan penuh konsentrasi. Wajah Mamiayam makin langsat karenanya. Sas puas sekali. Sekarang sedikit bedak tabur warna natural. Dengan telaten Sas membaurkannya pada wajah dan leher Mamiayam. Belum lengkap rasanya riasan bila belum memakai lipstik warna merah kesukaan Mamiayam. Maka Sas memulaskannya sedikit pada bibir Mamiayam yang rapat. Alis, Sas. Alis. Sas tersentak, seperti baru ingat sesuatu. Ya, alis tentu saja. Mamiayam suka menggaris alisnya dengan pensil alis coklat. Maka Sas meniru apa yang suka dilakukan Mamiayam pada alisnya. Ah, sempurna. Sayang tak ada cermin. Mamiayam, kan, tak bisa melihat dirinya sendiri?

MAMIAYAMTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang