Part 1 : Prolog

45 1 1
                                    


Langit mulai gelap dan jalanan terlihat sepi. Angin musim dingin berhembus kencang.

Dia berjalan di tepi sungai Han sambil menatap langit-langit yang mendung tanpa bulan. Hanya ada satu bintang di langit. Bersinar terang. Saking terangnya sampai-sampai kilauannya menyakitkan matanya.

'Aku ini bintang yang paling terang. Biarpun cepat mati, paling tidak aku sudah berusaha untuk menyinari gelapnya malam'

Satu kalimat itu tiba-tiba hadir dipikirannya. Kalimat yang pernah di ucapkan gadisnya. Bintangnya. Dia kangen gadis itu. Dia sangat rindu.

Ia kemudian merapatkan jaketnya. Udara musim dingin menusuk tulangnya. Tapi bahkan ia tak peduli. Ia lebih peduli pada rasa sakit di hatinya. Sakitnya sangat menyesakan hingga rasanya bernapas pun sulit. Semua sendinya terasa kaku tapi terus ia paksakan berjalan walau terserok dengan matanya kosong menatap gelapnya malam.

Dia tidak bisa begini terus. Ia tak akan bisa. Tiba-tiba ia berhenti. Memalingkan wajahnya dan kemudian menatap sungai Han datar.

Mungkin ia harus terjun ke sungai itu. Mungkin hanya itu yang dapat menghentikan rasa sakitnya. Pasti sungai itu sangat dingin sampai-sampai bisa membekukan hatinya yang sakit. Ah tidak, mungkin dia harus menabrakan dirinya ke mobil yang lewat agar hatinya hancur. Jadi, ia tak akan bisa merasakan sakit ini. Tapi kemudian dia tercenung. Hatinya sudah hancur. Bahkan serpihannya pun tak ada. Tapi kenapa hatinya masih begini sakit?

Hanya gadis itu yang bisa menyembuhkan rasa sakitnya. Dia butuh gadis itu. Hanya dan cuma dia. Bintangnya.


UntouchableTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang