Vidy berjalan agak cepat menyusuri lorong rumah sakit. Rumah sakit yang sudah 1 tahun ini ia sering datangi. Tadi saat ia sedang melihat-lihat apartement milik keluarganya disini, tiba-tiba Mamahnya menelfon dan memberitahu bahwa kakaknya harus masuk ruang ICU setelah menjalani kemoterapi, padahal yang ia tau ini adalah kemoterapi terakhirnya.
"Mah"teriak Vidy melihat Mamahnya sedang duduk di kursi tunggu didepan ICU.
"Vidy"ucap Mamah sambil bangkit dan memeluk Vidy.
"Teteh kenapa lagi Mah?"tanya Vidy lirih, ia takut terjadi sesuatu dengan kakaknya.
"Mamah juga gak tau. Tiba-tiba pas bangun abis kemo teteh tiba-tiba teriak kesakitan gak kaya biasa. Dan tadi teteh hampir ngelakuin hal yang dulu lagi tapi untung Mamah cepet-cepet ngambil pisaunya. Mamah gak tau kalau tadi teteh sendirian, mungkin kejadian yang dulu terulang lagi"ucap Mamah sambil menangis. Vidy menutup wajahnya dengan satu tangannya lalu mengusap wajahnya sedih. Sedih karna lagi-lagi Viny ingin mencoba bunuh diri. Apa memang ia sudah benar-benar tidak kuat dengan semua ini? Kalau memang begitu, ia lebih memilih merelakan kakaknya pergi dengan tenang tanpa harus melakukan bunuh diri.
"Ka kalau emang udah gak kuat.. Vidy ikhlas kak.. Jangan kaya gini.."
***
Shani menatap hujan dari jendela tempat latihannya. Saat tadi sedang menunggu Lidya selesai latihan tiba-tiba saja perasaannya menjadi tidak enak melihat hujan yang tiba-tiba saja turun dengan deras. Ia langsung teringat seseorang, seseorang yang sampai sekarang ia rindukan.
"Shan" panggilan Lidya dan juga tepukan dibahunya membuat lamunannya buyar.
"Eh iya? Udah selesai Ka?"tanya Shani. Lidya menganggukkan kepalanya dan menatap Shani.
"Ada apa Shan?"tanya Lidya.
"Hah? Ada apa, apanya?"tanya balik Shani dengan bingung. Lidya terdiam sejenak lalu menggelengkan kepalanya.
"Pulang yuk"ajak Lidya. Shani menganggukkan kepalanya lalu mengambil tasnya dan mengikuti Lidya keluar.
Didalam perjalan pun Shani hanya termenung menatap keluar jendela, melihat hujan yang masih setia mengguyur kota Jakarta. Lidya yang sadar Shani hanya diam dan melamun hanya bisa ikut terdiam, ia hanya tidak ingin menganggu Shani.
"Ka Lid aku turun di deket halte rumah aku aja ya"ucap Shani sambil menoleh ke arah Lidya.
"Loh kenapa? Gapapa kali aku anterin sampe rumah"ucap Lidya.
"Bukan gitu. Emm aku mau ke suatu tempat dulu hehe"ucap Shani. Lidya berpikir sejenak lalu menatap sekilas Shani.
"Ya udah deh"ucap Lidya. Shani tersenyum lalu kembali menatap rintik-rintik hujan yang sudah mulai reda.
Setelah setengah jam terjebak macet akhirnya mereka sampai di halte dekat rumah Shani. Shani langsung melepaskan seatbeltnya dan menggendong tasnya.
"Makasih ya ka Lid"ucap Shani. Lidya hanya mengacungkan jempolnya sambil tersenyum.
"Hati-hati ya ka"ucap Shani.
"Kamu juga hati-hati"ucap Lidya. Shani tersenyum lalu menutup pintunya. Setelah mobil Lidya meninggalkan halte, Shani menutupi kepalanya dengan hoodie miliknya lalu berjalan ke suatu tempat.
Shani mengeratkan jaketnya saat ia sudah sampai di sebuah danau. Danau miliknya dan juga milik Viny. Danau yang selalu mendengarkan keluh kesah mereka berdua. Jika dulu Shani selalu datang bersama Viny untuk menenangkan diri, sekarang ia hanya bisa datang sendri disaat sedih seperti ini.
"Perasaan aku tiba-tiba gak enak... Kamu baik-baik aja kan di sana Vin?"gumam Shani menatap sendu langit malam yang terlihat mendung.
Disebuah ruang ICU di salah satu rumah sakit Singapore terdapat seseorang yang sedang dipikirkan Shani itu terbaring tak berdaya dengan beberapa peralatan yang menempel di tubuhnya. Suara alat deteksi jantung menjadi musik yang terdengar menyakitkan di ruangan itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Stay With Me, Vin!
Fanfiction•Sequel Kenapa?• Setelah kepergian Viny yang tiba-tiba, Shani mulai merasa ada yang hilang di kehidupannya. Walaupun didalam surat yang di tinggalkan Viny, ia menyuruh Shani untuk tidak menunggunya buktinya sampai sekarang Shani masih tetap menungg...