Part 03

3K 234 12
                                    


Yang lucu, terkadang antrian di kamar mandi tidak ditunggui oleh orang yang akan memasuki kamar mandi.  Tapi cukup diwakili kotak sabun dan peralatan mandi yang dionggokkan di depan kamar mandi.  Sistem itu terkadang tidak efektif karena kadang diserobot yang lain. 

Adiba dan Ufaira saling pandang ketika melihat semua pintu kamar mandi tertutup.  Artinya semua kamar mandi ada yang mengisi.  Terpaksa mereka harus berdiri mengantri. 

Adiba tersenyum ketika mendapati satu pintu yang di depannya tak ada orang mengantri.  Hanya ada kotak sabun yang dionggokkan begitu saja di depan pintu.  Begitu orang di dalamnya keluar, Adiba  dan Ufaira langsung masuk.

“Eh, kalian jangan masuk.  Ini peralatan mandi si Gorila udah ditarok sini.  Nanti kalian kena sembur, loh,” ujar gadis yang baru keluar dari kamar mandi itu.

Adiba tersenyum mendengar teman sebelah kamar asramanya itu menyebut pemilik kotak sabun dengan nama Gorila.  Memang ada satu orang berbadan gemuk dan besar yang menempati sebelah kamar Adiba, para santri sering menyebutnya dengan nama Gorila.  Memang ada satu orang berbadan gemuk dan besar yang menempati sebelah kamar Adiba, para santri sering menyebutnya dengan nama Gorila, sebenarnya nama aslinya Susina.  Nama Gorila tentu saja hanya disebut di belakang Susina.  Memangnya siapa yang berani menyebut Gorila di depan Susina?  Bisa-bisa kena tinju kepalan tangannya yang guedeee.  Lagi pula ia galak, suka marah dan selalu menang sendiri. 

“Nggak apa-apa, deh.  Paling juga dia lagi makan, gedein badan,” sahut Adiba dengan tenangnya.

“Begitu aku masuk kamar, artinya aku udah selesai mandi, pasti gorila bakalan langsung menuju ke kamar mandi ini.  Emangnya kamu mau dimakan sama dia?” gadis itu menyebut nama gorila dengan nada tak suka.  Bukan hanya gadis itu, bahkan mungkin seisi kamar Susina tidak ada yang menyukai tingkah laku Susina.

Ufaira jadi ngeri.  “Kita ngantri aja, yuk.  Tunggu disini,” bujuk Ufaira pada Adiba.  Rasa takut membuatnya tak punya nyali memasuki kamar mandi.  Tiba-tiba ingatannya melayang pada kejadian disaat Gorila berkelahi melumpuhkan lawan.  Dengan tangannya yang kokoh seukuran paha, gorila menjambak dan menghantam lawannya.  Gedebam… Ufaira bergidik ngeri.  Jangan sampai kejadian itu menimpanya.

Tanpa perduli, Adiba tetap masuk ke kamar mandi.  “Udah, nggak apa-apa.  Dia manusia.  Kita juga manusia.  Sama-sama makan nasi.  Ayo, buruan!”  Adiba menarik tangan Ufaira.  Menutup pintu dan menguncinya. 

“Diba, nanti kalau Gorila ngamuk, kamu harus tanggung jawab.”  Ufaira cemas.

“Iya.  Nggak usah takut.  Cepetan mandi.”

Byur… suara gebyuran air terdengar bersahut-sahutan.  Adiba dan Ufaira mandi bersama.  Mengenakan pakaian khusus yang digunakan untuk basahan mandi.  Sehingga aurat tidak terlihat.  Air keran terus mancur. 

Ufaira menggunakan shampo milik Adiba, sebab sampo miliknya habis. 

“O ya, nanti sore selepas shalat ashar ikut aku makan di luar ya,” ajak Adiba sambil mengusap badannya dengan sabun.

“Selepas Ashar kan kita ada kegiatan, muhadloroh.”

“Kan nggak diabsen.  Santrinya buaanyak.  Kalau nggak hadir nggak bakal ketahuan.  Ikut, yuk!”

“Nggak, ah.  Nanti kalau ketahuan bisa gawat.  Hukumannya parah, loh.”

“Jangan sampai ketahuan, dong.  Emangnya kamu nggak bosen apa makan tempe tahu telur teri terus?  Lidahku udah kangen banget sama makanan di luar.” Adiba meminta Ufaira menggosok punggungnya.  Menghilangkan daki.

Ufaira menuruti.  Setelah itu giliran Adiba yang menggosok punggung Ufaira.

“Aku nggak biasa makan di restoran atau sejenisnya.  Pasti mahal.  Emangnya kamu punya uang?” tanya Ufaira polos.

“Hari minggu kemarin waktu ijin pulang ke rumah, aku ngambil ATM.  Lumayan bisa untuk ngilangin kangen sama makanan enak.  Di sini tersiksa banget.  Waktu hari pertama masuk pondok, kamu ingat badanku gemuk kan?  Lihat ni, sekarang jadi kurus begini.”

“Itu karena kamu nggak mau makan.”

“Nggak selera, sih.” 

“Kalau ketahuan bawa ATM, pasti bakalan disita,” ungkap Ufaira.

“Sikit sikit kalau ketahuan.  Asal nggak ketahuan pasti aman.” 

“Memang rencananya kamu mau beli makanan apa?”

“Apa aja yang kamu mau.  Nanti kubeliin.”

“Beneran?”  Ufaira terbelalak.  “Boleh, deh.  Aku mau ikut.”  Ufaira girang.  Membayangkan makanan lezat di depan mata.  Tapi sayangnya yang sekarang didepan mata adalah sabun.  Hampir kena telan.

“Yee... tunggu disogok dulu baru bilang mau.”  Adiba meledek.  “Nanti kita dijemput Syifa.  Pakai mobil.”

“Syifa?  Siapa itu?”

“Tetangga rumah yang sering kuceritain itu, loh.”

Ufaira mengingat-ingat.  “Oooo....  Iya iya.”

Selesai mandi, keduanya menggunakan kimono dan membungkus kepala dengan handuk.  Ketika membuka pintu, ci luk baaaa..... wajah sangar Gorila telah terpampang di depan pintu.  Berdiri dengan tangan berkacak pinggang.  Matanya melotot.  Seakan hendak meloncat keluar. 

Badan si gorila benar-benar besar.  Hampir memenuhi lubang pintu.  Jari tangannya saja lebih besar dari jempol kaki mungil Adiba.  Hiiii… sereeem…  Adiba bingung bagaimana caranya melarikan diri. 

“Beraninya kalian main serobot kamar mandi yang udah kutempah?” teriak gorila melengking.  Suaranya bikin telinga pekak.  Speaker masjid pun kalah. 

Adiba nyengir.  Kamar mandi ditempah?  Sejak kapan kamar mandi bisa ditempah?  Dengan gerakan cepat tangan Adiba meraih gayung berisi air dan menyiramkannya ke wajah gorila.  Kejadian itu begitu cepat, membuat gorila tak dapat berkelit.  Ketika gorila sibuk mengusap-usap wajah, mengucek mata yang pedih terkena air, Adiba mendorong tubuh raksasa di hadapannya hingga tubuh besar itu sedikit mundur.  Adiba menarik tangan Ufaira dan mengajaknya kabur.  Lariiii….  Sampai ke kamar, pintu langsung dikunci dari dalam.

“Kalian kenapa?” tanya Sania bingung.  Ia baru saja selesai sarapan dan sedang bersiap untuk mandi.

Lela, Surti dan Jihan melongo mengamati kedua temannya itu seperti dikejar hantu.  Ketiganya menenteng peralatan mandi masing-masing.

Adiba tertawa terkekeh.  Kejadian itu dianggapnya seperti lelucon.  Sementara Ufaira ketakutan.  Pucat. 

“Si gorila ngamuk, kami menyerobot kamar mandinya,” celetuk Adiba masih diiringi tawa renyah.

“Gila kamu Diba, kalau dia ngamuk kesini jangan libatin kami,” Sania tampak kesal.

Dor dor dor…

Pintu digedor dari luar. 

“Buka pintunya!” teriak suara yang bunyinya mirip kaleng.  Tak lain si gorila.  “Adibaaaa…. cepat buka pintunya!”

“Tu kan, kamu cari masalah aja, sih.  Pokoknya aku nggak mau terlibat.”  Sania semakin kesal.  Bercampur cemas.

Adiba baru menyadari kekesalan Sania.  Tawanya pun terhenti.

“Gimana dong ini, Diba?  Aku takut.” Ufaira menggenggam tangan Adiba.

Adiba menatap Ufaira dengan pandangan kalem.  Sedikitpun tak ada rasa takut yang terpancar di matanya.

Pintu tetap terus digedor kuat dari luar.  Suara keras gorila membuat gaduh.  Surti mengintip ke luar dari balik tirai jendela.  Para santri di sekitar berkumpul melihat aksi aneh Gorila.  Menunggu Adiba ke luar.  Siap menonton sepak terjang yang akan menjadi bahan tontonan. 

“Cepetan Diba, kemu harus lakuin sesuatu,” desak Sania.  “Salah-salah semua yang ada di sini jadi sasaran.”

Adiba manyun.  Sania, selalu saja cepat marah.


Tbc

Cahaya Cinta Dari Pesantren √Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang