Dan Surti, gadis asal Solo itu juga pernah dikerjain Adiba. Usai mandi, ia sibuk mencari-cari ke mana pakaian miliknya. Semua pakaian mendadak hilang tak berbekas. Satu pun tak ada yang tersisa. Ia takut ada sebangsa makhluk halus yang menggondol. Lama-lama orangnya yang digondol. Maklumlah, remaja asal Solo itu masih saja menyukai hal-hal berbau mistik. Sedikit-sedikit selalu dikaitkan dengan yang namanya gaib. Ternyata pakaian itu ditemukan dalam bungkusan plastik hitam. Di atas lemari.
Ufaira, sahabat Adiba yang paling akrab itu jelas bukan hanya sekali atau dua kali menerima ulah konyol Adiba yang ujung-ujungnya menimbulkan gelak tawa.
Itulah Adiba. Usilnya bukan main. Tanpa Adiba, tak terbayang bagaimana sepinya kamar itu.
Tapi bukan cuma usil, bandel iya juga. Tak heran, Adiba sering mendapat hukuman. Membuat K.H. Abdurrahman Ilyas yang dikenal dengan panggilan Haji Ilyas itu marah besar bila mendengar putrinya mendapat hukuman. Bagaimana tidak, masak sih anak seorang Haji yang disegani masayarakat, terpandang dan terhormat sering dihukum di pesantren?
"Ash-shalaatu khairum minan-nauum..."
Suara Rifqi membuat para remaja bergerak lebih cepat menuju masjid. Sebagian berlari kecil memenuhi panggilan hati.
Dengan langkah lebar, Adiba berlari mengejar Ufaira yang telah meninggalkannya. Sesekali tangan kanan merapikan jilbab yang dipasang asal-asalan. Sementara tangan satunya menggamit mukena.
Ribuan santri berjalan menyerbu tempat pengambilan wudhu. Baik santriwati maupun santriwan. Tempat berwudhu untuk santriwan dan santriwati terpisah dengan jarak beberapa meter. Pada jalan menuju masjid, antara jalan yang khusus dilewati santriwati dan santriwan dibuat tanda pemisah yang terbuat dari kawat. Sehingga mereka tidak tersenggol atau bertabrakan. Satu hal yang membuat masjid jadi kelihatan indah, yaitu kebersihan. Masjid selalu rapi, bersih, dan terawat.
Ada pemandangan menarik perhatian ketika memasuki masjid, disisi tembok sebelah kanan terdapat tulisan :
Wahai Umat Rosulullah, mari Shalat berjamaah!!!
Keutamaan pahala shalat berjamaah setinggi 27 derajat.Antara santriwati dan santriwan menempati gedung asrama yang berbeda. Jaraknya tidak jauh. Masih satu kompleks. Hanya dipisahkan oleh masjid.
Pondok pesantren sudah berdiri sebelum kemerdekaan. Menampung ribuan santri, puluhan pengurus dan pengajar beserta keluarganya. Menerapkan peraturan tegas yang berlaku untuk santri, baik yang masih berstatus siswa, atau yang sudah menjadi mualim dan pengurus.
Bangunan terletak di atas tanah seluas lima hektar. Fasilitas lengkap. Terdiri dari kantor pondok dua lantai, bangunan parkir enam lantai, gedung aula wali tiga lantai, asrama putra 70 kamar tiga lantai, asrama putri 90 kamar tiga lantai, masjid tiga lantai, kamar tamu pria, kamar tamu perempuan, gedung pengajian, rumah para pengasuh dan pengajar, unit kesehatan, dapur asrama, ruang makan tamu, ruang olah raga, dan masih banyak lainnya. Itulah pesantren besar di Jawa Timur yang sudah diakui kelebihannya. Tujuannya tak lain untuk mencetak para pendakwah islam.
Disamping menerima pelajaran ilmu-ilmu agama, para santri juga diberi bekal keterampilan sesuai dengan bakatnya, seperti keterampilan menjahit atau bordir, pertukangan kayu, elektronik, perbengkelan, pertanian, dan masih banyak lainnya. Dengan demikian, setelah mereka lulus dari pondok diharapkan tidak menggantungkan diri pada keluarga dan orang tua sehingga bisa hidup mandiri.
Para santri berbaris rapi dalam saf. Shalat berjamaah diimami oleh Drs. K.H. Muhammad Iqbal, S.H, salah satu pengasuh pesantren yang sangat disegani para santri karena kewibawaannya. Suaranya dalam membaca ayat suci Al Qur'an sangat bagus. Bikin merinding bila mendengar. Beliau adalah teman akrab ayah Adiba.
Usai shalat, suara nyaring pengajian pun mendengung meramaikan masjid. Tapi ada pemandangan yang tidak sedap. Adiba tertidur. Ufaira yang duduk disisi Adiba menjulurkan tangan hendak meraih tubuh Adiba untuk membangunkan, tapi terlambat. Bola mata Kyai Ahmad yang saat itu berkeliling lebih dulu mendapati Adiba tidur terlelap. Ufaira menarik ulur tangannya.
Dalam hitungan detik saja Kyai Ahmad telah berdiri di dekat Adiba dengan wajah sangar. Lalu mengetuk bahu Adiba dengan tongkat yang selalu dibawa.
Spontan Adiba terbangun. Nyengir. Meringis. Memamerkan sederet barisan gigi kecil-kecil yang putih. Kyai Ahmad mengayunkan tongkatnya ke atas. Adiba paham dengan isyarat itu. Ia segera berdiri. Ini sudah kesekian kalinya ia tertidur saat pengajian. Hukuman yang sudah-sudah adalah menghafal sebuah surah Al Qur'an yang cukup panjang. Semuanya bisa dikerjakannya dengan baik. Karena memang otaknya begitu mudah mengingat. Terakhir, karena ia tampak tak jera tertidur ketika pengajian, maka hukumannya menghafal surat Al Baqarah. Waaoow... surah paling panjang di kitab suci Al Qur'an. Dan itu belum selesai dihafal, bagaimana ia harus menghafal surah berikutnya bila kali ini mendapat tambahan hukuman yang sama?
Santri di belakang yang menyaksikan kejadian itu menahan tawa.
Adiba melirik Ufaira. Yang dilirik tak bisa berbuat apa-apa, cuma bisa geleng-geleng kepala. Adiba mendengus. Cemberut bin manyun. Capek deh berdiri sampai pengajian selesai. Inilah salah satu alasan yang membuat Adiba tak setuju ketika ayahnya mendaftarkannya di pondok pesantren. Sifat pendidikannya nyaris berdenyut seperti nadi, tanpa henti. Kecuali saat tidur malam. Adiba sering mengeluh ngantuk. Jam sepuluh malam baru diperbolehkan tidur. Jadwal bangun seperempat jam sebelum adzan subuh. Sementara jam dua dini hari juga dibangunkan untuk melaksanakan shalat tahajud atau shalat hajat. Sebab di saat itulah waktu yang tepat dan mustajab untuk berdoa. Fuuiih... Adiba merasa itu lebih parah dari kerja paksa. Sebenarnya enggak, toh santri lain sanggup menjalaninya. Hanya saja, Adiba kadung tak suka dengan rutinitas itu.
Adiba ingin menghirup nafas bebas seperti Syifa, tetangga rumah yang bersekolah di SMA swasta. Sepulang sekolah, Syifa bisa bebas bermain bersama teman-teman. Waktu untuk istirahat malam cukup panjang. Syifa juga bebas bermain handphone, berhubungan dengan yang namanya media sosial seperti facebook, instagram, WhatsApp dan sebagainya.
Sementara di pondok, Adiba bagaikan berada dalam penjara. Tidak diperbolehkan membawa Hp. Membuatnya merasa seperti burung di dalam sangkar. Terkadang ia bertanya, bagaimana seseorang akan mampu melakukan sesuatu bila apa yang dikerjakan tidak sesuai dengan kemauan? Bagaimana seseorang akan berhasil bila usaha tidak didasari dengan keinginan?
Memang, sejauh ini ia tetap memiliki nilai mata pelajaran yang bagus. Bukan kemauan yang membuat nilai pelajarannya tetap bagus, tapi otaknya yang encer yang membuatnya tak kesulitan menangkap pelajaran.
Jam setengah enam pengajian selesai. Semuanya kembali ke asrama masing-masing.
Adiba meraih handuk dan berlari ke kamar mandi. Itulah kebiasaannya, harus mandi terlebih dahulu baru bisa sarapan. Begitu juga dengan Ufaira. Mereka memiliki kebiasaan yang sama. Jika tidak kebagian kamar mandi, mereka akan tetap bertahan mengantri. Meski harus mengantri cukup lama dalam antrian panjang. Sementara yang lain ada yang sarapan dulu. Sebab jika semuanya menyerbu kamar mandi, maka antrian bakalan panjang banget dan waktu tak akan cukup. Keburu masuk jam belajar.
Tbc
KAMU SEDANG MEMBACA
Cahaya Cinta Dari Pesantren √
EspiritualKetika kekesalan menghinggapi, lelaki itu datang bagaikan seorang malaikat. Memberi cahaya yang menerangi setiap langkah. Mengingatkan kelemahan manusia hanya bisa dikuatkan dengan iman. Di dalam jiwa lelaki itu, terpendam jutaan pesona. Hanya denga...