Part 04

2.9K 206 12
                                    

“Tenang, biar aku ke luar,” jawab Adiba.

“Jangan, nanti kamu dihajar gorila,” Ufaira menarik tangan Adiba ketika gadis bertubuh mungil itu akan membuka pintu.

“Ya udah, kalau kamu nggak ngebolehin Adiba yang ke luar nemuin gorila, kamu aja yang ke luar sana!” seru Sania dengan nada tinggi.  Ia benar-benar bertambah kesal.

Adiba melepas tangan Ufaira.  Memutar kunci.  Lalu membuka pintu.  Jreeeng…  ternyata Gorila sudah tidak ada disana.  Hanya ada para santri yang berkerumun di sekitar.  Tampak gorila digandeng oleh Ibu Fatima menjauh, menuju sebuah ruangan. 

“Hi hi…”  Adiba terkekeh.  “Rasain, bikin gaduh mulu sih.  Digelandang deh.  Untung ketauan Bu Fatima.”

Ufaira lega.  Adiba menepuk bahu sahabatnya.  Kemudian mereka masuk kamar, mengenakan pakaian dan jilbab.  Bersiap menuju ruang sarapan.  Perut Adiba sudah keroncongan.  Lapar. 

Sania, Jihan, Lela dan Surti pergi ke kamar mandi membawa peralatan mandi. 

“Kejadian tadi lucu ya?” ujar Adiba pada Ufaira.  Ingatannya melayang pada kejadian ketika wajah gorila terkena siram air.  Tawa Adiba pecah. 

Ufaira tak berkomentar.  Kejadian menakutkan justru menjadi bahan lelucon bagi Adiba.  Ia salut, sahabatnya itu memiliki keberanian yang luar biasa.

Seketika tawa Adiba lenyap saat berpapasan dengan Bu Fatima di depan kamar.  Kedatangan Bu Fatima tak lain untuk menjemput Adiba dan Ufaira.  Ia meminta agar kedua remaja itu ikut bersamanya.  Keduanya menuruti perintah.

Sesampainya di sebuah ruangan yang di sana telah duduk gorila, Bu Fatima mempersilakan kedua remaja itu duduk di kursi yang telah tersedia.  Bu Fatima adalah salah satu pengurus pondok, sekaligus cucu dari pemilik pondok pesantren.   Tak heran jika ia merasa memiliki hak disetiap rapat dalam mengambil keputusan.  Ia juga memiliki wewenang memecat dan menerima ustadz yang mengajar di pondok.  Jadi, perlu ada kata warning bila berurusan dengannya.

Bu Fatima, perempuan bermata tajam itu terlanjur tidak menyukai Adiba.  Masalahnya, Adiba telah berulang kali membuat Bu Fatima jengkel.  Bermula ketika Adiba berkejaran dengan Ufaira, Adiba sangat gemas tak juga mendapatkan Ufaira setelah lama mengejarnya.  Saking geramnya, Adiba melepas sepatu dan melempar ke arah Ufaira.  Tapi... Plak!  Yang kena malah Bu Fatima yang saat itu melintas.  Tepat mengenai wajah Bu Fatima.  Mata Bu Fatima pedih karena kelilipan.  Sejak saat itu, Bu Fatima benar-benar tak suka setiap melihat Adiba. 

Tak hanya itu saja, suatu ketika Adiba juga pernah bertabrakan dengan Bu Fatima, membuat saus yang dibawa Bu Fatima tumpah ke baju baru Bu Fatima.  Kekesalan Bu Fatima kian memuncak.  Saat itu akan mengadakan rapat penting.  Waktu sudah mendesak.  Namun gara-gara baju ketumpahan saus, ia harus mengganti pakaian.  Alhasil, terlambat menghadiri rapat.  Bertambahlah kemarahan Bu Fatima pada Adiba.  Saking geramnya, rasanya Bu Fatima ingin sekali mencubit, atau bahkan menggunduli Adiba dengan tangannya sendiri.  Tapi ia tak punya alasan kuat untuk itu.  Semua kesalahan ada sanksinya sendiri-sendiri.  Namun jika ia telah naik pitam, maka ia bisa berbuat semau perutnya sendiri.  Tanpa mempertimbangkan sanksi yang telah ditentukan sesuai dengan kesalahan.

Entah nasib buruk apa yang membuat Adiba kerap melakukan kesalahan yang tak disengaja setiap bertemu Bu Fatima.  Sekarang, apa yang akan terjadi?

Bu Fatima mengamati wajah Adiba dan Ufaira satu per satu.  Pandangannya berhenti tepat di wajah Adiba.  Sorot matanya tajam, menembus bola mata bening Adiba, hingga membuat mata indah Adiba terkulai layu dan kelopaknya menunduk. 

“Kata Susina, kalian yang memulai sehingga Susina marah dan membuat keributan.  Benar begitu?”  pertanyaan ditujukan untuk Adiba dan Ufaira.  Namun pandangan Bu Fatima jelas hanya tertuju pada Adiba.  Seakan-akan kesalahan itu memang hanya tertumpuk pada Adiba seorang.  Seakan-akan Ufaira hanyalah seonggok patung yang tak berpengaruh sama sekali. 

“Kalau mereka nggak mulai keributan, saya nggak bakalan ngejar mereka, Bu.”  Susina berusaha membela diri.  Lirikan matanya ke arah Adiba sangat pedas.

“Susina, jangan berkomentar dulu,” sela Bu Fatima.  Pandangan tak beralih, tetap pada wajah Adiba.  “Ibu sudah meminta penjelasanmu tadi.  Sekarang giliran Adiba dan Ufaira yang menjelaskan.”

Adiba tersenyum simpul melirik gorila yang duduk dinsisinya.  Tubuh gorila yang besar membuatnya tak kuasa menahan geli.  Duduk di samping gorila membuatnya merasa jadi seperti semut.  Kecil sekali. 

“Ayo Diba, jelaskan apa yang terjadi,” desak Bu Fatima.

Adiba pun menjelaskan kejadian yang sebenarnya dengan jujur.  Polos. Tanpa mengurang dan menambahi cerita.  Termasuk kejadian ketika ia menyiram wajah gorila.  Ufaira membenarkan cerita Adiba dengan anggukan mantap.

“Saya hanya merasa harus buru-buru mandi agar nggak telat belajar.  Sayang banget rasanya jika kamar mandi dibiarin kosong sementara waktu yang kami butuhkan sangat sempit.”  Adiba membela diri.

Bu Fatima terdiam.  Tidak bisa mengomentari.  Adiba selalu memiliki kata-kata manis untuk membela diri di setiap permasalahannya.  Baik dalam keadaan salah ataupun benar. 

“Ya sudah, Ibu minta masalah ini jangan dibesar-besarkan.” Bu Fatima menatap Susina dan berkata,  “Susina, lain kali jangan ulangi perbuatanmu yang suka berteriak-teriak dan mengutamakan otot.”  Lalu kembali menatap Adiba.  “Dan kamu Adiba, juga Ufaira, lain kali jangan memancing emosi teman.  Sekarang Ibu minta kalian saling memaafkan.  Ayo, bersalaman!” perintahnya.

Ufaira cepat-cepat mengulurkan tangan pada Susina.  Dengan tatapan tajam dan penuh dendam, Susina membalas jabatan Ufaira.  Dilanjutkan menjabat tangan Adiba.

“Tapi ingat, ini bukan berarti kalian bertiga bebas begitu saja dari hukuman.  Ini peringatan untuk Adiba dan Ufaira karena telah memancing keributan.  Dan peringatan ketiga untuk Susina karena sudah tiga kali membuat keributan.  Jika ini terulang lagi, maka Ibu akan memanggil orang tuamu, Susina.  Kalian boleh ke luar.  Kecuali Adiba.”

Adiba mengerutkan kening sambil menunjuk dirinya sendiri.

“Iya, kamu!” jelas Bu Fatima.

Ufaira dan Susiana keluar. 

“Surah Al Baqarah sudah hafal?” tanya Bu Fatima masih dengan tatapan tajam.  Kaca mata dengan gagang warna ungu membuat wajahnya jadi tampak lebih tua. 

“Mmm…”  Adiba bingung mau jawab apa.  Beberapa hari terakhir ia memang tidak memiliki niat membuka surah itu untuk dihafal. 

“Jangan sampai Ayahmu datang ke sini untuk ketiga kalinya,” ancam Bu Fatima.

“Jangan, Bu.  Akan saya coba, deh.”  Ancaman Bu Fatima mampu membuat Adiba cemas.  Ayah pasti bakalan marah besar jika ia melakukan kesalahan lagi di pesantren.  Memalukan, pasti satu kata itu yang akan diteriakkan Ayah.

“Audzubillah himinasyaitonir-rajim,” Adiba memulai.  Dilanjutkan dengan membaca basmallah.

“Alif laam miim.”  Adiba melirik Bu Fatima. 

Bu Fatima berdiri mendekat.  Suara Adiba yang lirih membuatnya perlu memasang antena telinga lebih tajam.

“Dzaalika alkitaabu laa rayba fiihi hudan lilmuttaqiina.  Alladzina ….”  Adiba melafazkan ayat-ayat yang tak asing itu dengan lancar. 

“Wa-idz qaala rabbuka lilmalaa-ikati innii jaa’ilun fii al-ardhi khaliifatan…” 

Sudah sampai pada ayat 30.  Tetap lancar.  Tanpa sedikitpun hambatan.

Bu Fatima mengangguk-angguk.

“Faudzkuruunii adzkurkum wausykuruu lii walaa…”

Tbc

Baca kelanjutannya di aplikasi Noveltoon dengan judul Cahaya Cinta Dari Pesantren.
Baca gratis.

Cahaya Cinta Dari Pesantren √Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang