T H R E E

42 2 1
                                        

33:33

*****

MASA pengenalan sekolah sudah dilewati semua murid kelas sepuluh SMA Bhakti Nusa. Itu membuat Alana dan yang lainnya bernafas lega. Tak disangka memang, Alana bahkan sudah lumayan mengenal teman seangkatannya. Namun ada satu hal yang membuat Alana tak tahu, yang masih menjadi misteri adalah kelas berapa Brian?

Kenapa setelah kejadian empat hari lalu menjadi suatu akhir pertemuan Alana dengan cowok itu? Mungkin, secepatnya akan Alana cari tahu tentang Brian.

Dan goodnewsnya semua sahabat Andhika sudah menjadi teman Alana juga. Padahal dari awal, Alana pikir ia akan susah mendapatkan teman, karena menurut Alana dirinya merupakan seseorang introvert dan tak begitu humble. Tapi sepertinya takdir berkata lain.

Layaknya pagi biasa saat sekolah, pada pukul enam lewat dua menit Alana turun ke lantai bawah untuk melangkahkan kakinya ke meja makan -tempat favorit baginya- sekalian mengucapkan selamat pagi kepada keluarganya.

Ada seseorang yang Alana harapkan saat ia melihat ke arah meja makan. Duduk memimpin sarapan pagi ini, atau mungkin sedang membaca koran dan berbincang sederhana dengan Andhika atau bahkan bundanya. Ya, sosok andaiannya itu adalah ayahnya sendiri.

Tetapi mau bagaimana lagi kenyataan tak selalu berpihak pada Alana maupun keluarganya. Nyatanya saat ia menuruni tangga, Alana hanya melihat Andhika saja yang duduk manis sambil mencomot pisang goreng hangat buatan Bi Rasti.

"Pagi Bang Dhika anaknya madam Bianca," sapa Alana basa-basi, "Eh, Bunda sama Bi Rasti pada kemana, Bang?" tanya Alana seraya mencari sosok dua manusia paling berarti baginya. Bukannya menjawab, Andhika malah menjulurkan tangannya seraya mengajak high five dan mereka berdua pun melakukan high five ala adik kakak itu.

"Ada tuh di kamar. Lagi telponan madam Bianca btw. Kalo Bi Rasti kayanya ada dibelakang, nah kalo pintu buat keluar ada di arah jam dua ya, sist." jawab Andhika sedikit melenceng lalu seraya santai memasukkan sesuap nasi goreng buatan Bianca yang entah kapan diambil oleh Andhika. Memang, jika sudah menyangkut makanan buatan Bianca baik Andhika maupun Alana pasti akan langsung mengambil tanpa pikir dua kali.

Alana sengaja mendorong pelan bahu Andhika karena sebal mendengar jawaban Andhika. Merasa risih acara makannya diganggu, Andhika menatap sengit Alana namun detik berikutnya dia anteng kembali. "Dapet nasi goreng dari mana, Bang? Kok ini gak ada ya buat Alana? Serakus itukah kamu, Kakanda?" tanya Alana sambil memfokuskan mencari sepiring nasi goreng di meja makan.

"Sa ae lo. Noh, liat tuh! Mata tuh dipake. Jangan dipake buat lirik si itu doang," celetuk Andhika sambil menunjuk sepiring nasi goreng di ujung meja makan. Maksud si itu bagi Andhika memang tidak bermakna sama sekali. Namun, beda dengan tanggapan Alana. Anehnya, ketika Andhika mengucapkan kalimat itu Alana merasa tersindir terbukti kini matanya menyipit menatap sinis kakaknya itu.

"Hmm!" Alana mendengus nafasnya kasar, lalu ia melangkah untuk mengambil piring yang berisikan nasi goreng untuknya. "Laper!" celetuk Alana masih menatap sinis Andhika lalu ia menarik kursi meja makan dan menempelkan bokongnya dikursi tersebut.

Syukurlah hari ini, mereka bangun pagi ini lebih cepat dari biasanya. Anehnya, mereka bangun sendiri tanpa bantuan Bianca. Impossible tapi memang begitulah realnya. Biasanya mereka akan dibangunkan oleh Bianca untuk melakukan shalat Subuh lalu menyuruh mereka mandi. Tapi lain halnya hari ini. Berkat keberuntangan itulah makanya mereka sekarang bisa santai dan menyempatkan sarapan dengan sepiring nasi goreng spesial. Padahal biasanya mereka hanya sarapan dengan sehelai roti.

Something WrongTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang