Pola wajah itu, bisakah otakku terus merekam setiap lekuknya? Pola yang akan kusukai seterusnya.
55:55
*****
SUDAH dua puluh menit yang lalu, bel pulang SMA Bhakti Nusa berdering sangat nyaring. Pertanda bahwa dibukanya gerbang untuk melangkah siap ke dunia luar.
Penat pikiran serta raga, begitulah keluhan penderitaan siswa-siswi SMA Bhakti Nusa berusia remaja tersenandungkan. Seakan jika mereka tidak membagi kepenatan tersebut, akan terasa lima kali lipat beratnya. Walau hanya sekedar berkeluh kesah ataupun bercerita tentang hal apa yang mereka lewati hari ini, bagi mereka itu sudah sangat cukup dan sedikit melegakan hati mereka.
Suara gesekan alat tulis dengan selembaran kertas terdengar diruangan ini. Kelas X MIPA 2. Tersisa dua orang gadis yang saling berlomba secepat mungkin menyelesaikan tugas mereka dengan tepat.
"DONE!" teriak Gissel frustasi. Walau terlonjak kaget, dengan cepat Alana menetralkan napas dan keadaan tubuhnya lalu melanjutkan kembali tulisannya yang tertunda.
Selesai memasukkan tempat pensil dengan kawan-kawannya. Gissel kini menatap Alana, "Lo balik sama siapa?"
"Siapa lagi coba, yang mau nganterin gu-" iris mata Alana mulai berbinar, bahagia serta sejahtera lagi. "UDAH SELESAI DONG GUE, GILA GILA!" diangkatnya lembaran kertas itu tinggi-tinggi seolah lembaran kertas berisikan rangkuman sejarah itu menjadi piagam bagi dirinya yang telah selesai menjalankan tugas dengan begitu baik.
"Berisik lo! Gue yang menang tadi." ujar Gissel kesal. "Jadi, lo sekarang balik sama siapa, Nona Alana Dwidwiyan?" tanya Gissel lagi.
"Oh iya lupa gue hehe," Alana berdehem pelan, "Lagian lo tau sendiri kan, yang mau nganterin gue sampe rumah dengan selamat sentausa tuh ya cuman Abang gue. Ya walaupun gue tau dia kepaksa. But, not problemlah" ujar Alana yang mulai memasukkan barang-barangnya ke dalam tas.
"Terus gue balik sama siapa dong? Gue gak mau sendiri, Alanaaaa!" rengek Gissel sembari memajukan bibirnya sekitar dua senti.
Alana memutar bola matanya malas, pusing jika Gissel sudah merengek layaknya bocah berusia sepuluh tahun.
"Alay lo ah, Susanti!" Alana memukul pelan bahu kiri Gissel, "Biasanya juga lo mau kan balik sama Gevo? Ngapa tiba-tiba laga lo jadi begini?"
Gissel mendengus kasar, "Gue lagi gak mau sama dia, ish. Dia tuh suka modus minta digampar tau gak?!" emosi, Gissel melampiaskannya sambil menghentakkan kakinya.
Alana mengangkat sebelah alisnya, "Ya mana gue taulah, gue kan gak pernah balik sama tuh kulit yogurt," sebelum Gissel menimpal kalimat Alana, lebih dulu Alana menambahkan, "LO SUKA YA DIMODUSIN SAMA SI GEONG?!" tuduh Alana semangat dengan ekspresi yang tidak dapat diartikan oleh Gissel.
"NGGAK LAH, GILA!" buru-buru Gissel menyangkal fitnah kejaman Alana, "Jijik banget gue seneng modusan tuh kaleng cincau. Lo juga! Kalo mau fitnah tuh agak elitan dikit napa, Na!" seketika mood Gissel hancur ketika mendengar tuduhan manis Alana, lain dengan Gissel, Alana hanya menyengir ria didalam sunyinya kelas mereka.
"MEKUM!" Alana maupun Gissel terlonjak kaget. Mereka tau ini suara siapa. Dapat mereka perkirakan satu detik lagi akan ada sosok makhluk ghaib yang akan masuk ke kelas mereka. Dan, right!
"Gevo telah tiba, Gevo telah tiba. Hatiku gembira~" Gevo tiba dikelas mereka dengan begitu riangnya, disusul dengan Deryl dibelakang Gevo, "Tapi bohong!" seru Deryl.
KAMU SEDANG MEMBACA
Something Wrong
Teen FictionLucu memang. Takdir seolah permainan yang entah diawali oleh siapa. Yang tanpa sadar membuat orang lainlah yang menjadi korban dari takdir tersebut. "Gue benci sendiri." -Alana Dwiarwan "Don't worry. Lo punya gue." -Brian L...