Chapter 2

3K 312 8
                                    

Ketika sampai di parkiran, Erin berpapasan dengan sahabat baiknya, Seo Hyun.
"Erin? Kenapa mukamu kusut begitu?"
"Tidak," jawab Erin malas-malasan seraya meraih helmnya.
"Bertengkar dengan Mingyu?"
Erin mengernyitkan dahi dan menatap Seo Hyun.
"Bagimana kau tahu?" Ia ganti bertanya.

"Aku melihat kalian sedikit adu argumen di taman," jawab gadis bertubuh tinggi tersebut.
Erin menarik nafas panjang seraya memakai helmnya.
"Dia membelikanku sebuah sepeda motor dan aku memintanya untuk mengambilnya kembali," jawabnya.
Seo Hyun melotot.
"APA!? Dia membelikanmu sepeda motor?"
Erin mengangguk. "Ya, dia membelikanku sebuah sepeda motor. Tapi sudah ku tolak. Dia pasti sudah gila." jawabnya.

Seo Hyun menatap Rrin dengan sebal.
"Gila? Ya, kurasa kaulah yang gila. Seorang pangeran tampan, calon dokter, kaya raya, putra tunggal salah satu orang terkaya di Korea, mencintaimu dengan tulus, tapi kau? Kau malah menolaknya! Kurasa kaulah yang gila!" Seo Hyun berteriak. "Dia membelikanmu mobil, kau menolak. Sekarang kau dibelikan sepeda motor, kau juga menolak lagi? Apa kepalamu pernah terbentur sesuatu? Hah?" lanjutnya sebal.

Erin mendelik.

"Mingyu itu pria yang sangat baik, Erin. Dia mencintaimu dengan tulus. Aku yakin dia mampu membuatmu bahagia baik dari segi materi ataupun yang lainnya. Tapi, kau malah menolaknya? Bukankah berarti kau yang gila? Aku mau jungkir balik demi bisa berada di posisimu. Dicintai putra chaebol terkemuka di negeri ini." Seo Hyun mencibir sahabat baiknya itu.

Erin kembali mendesah.
"Ah, sudahlah. Jangan bicarakan hal-hal tak penting seperti itu. Aku pulang dulu. Bye," Erin menyalakan sepeda motor bututnya.
"Kesempatan tidak datang dua kali, Erin. Kuharap kau tak menyesalinya," Seo Hyun berteriak. Erin tersenyum kecut seraya menjalankan kendaraannya dengan perlahan.

Dan ia kembali teringat akan Kim Mingyu.

Ya, ia tahu bahwa Mingyu mencintainya dengan sungguh-sungguh. Beberapa kali lelaki itu mengungkapkan perasaannya secara jujur, sejak lama. Tapi, Erin benar-benar tak bisa menerimanya.

Bukan karena ia tak mencintai pria jangkung bermata teduh itu. Jika harus jujur, Erin benar-benar menyukainya. Ia jatuh cinta pada pria itu pada pandangan pertama. Hanya saja, ia merasa Mingyu terlalu tinggi untuk digapai.

Ia merasa tak punya kepercayaan diri untuk meraih lelaki itu dengan tangannya yang kecil.

Seo Hyun benar sepenuhnya. Mingyu berasal dari keluarga kaya, putra tunggal salah satu orang terkaya di negara ini. Ia bisa mendapatkan apa yang ia mau dengan mudah tanpa harus bersusah payah. Apa yang kurang dari dirinya? Tidak ada.

Tapi, ia benar-benar tak bisa menerimanya.

Siapakah dirinya? Dia hanya seorang gadis biasa. Keluarganya miskin. Ayahnya sudah meninggal ketika ia masih kecil dan ibunya hanyalah buruh pabrik. Mereka bahkan masih tinggal di rumah kontrakan. Dia sendiri harus bekerja paruh waktu di sebuah restoran cepat saji. Sebandingkah dia dengan pria itu? Tidak.

Erin tak berani membayangkannya. Dunia mereka terlalu jauh berbeda. Mingyu takkan pernah bisa memasuki dunianya, begitu pula sebaliknya.

Dan Erin sudah bertekad untuk mencintai Mingyu dengan caranya sendiri!

***

Ponsel itu berdering berkali-kali. Dan Erin baru memutuskan menjawabnya di dering yang ke-6.
"Halo..." Ia menyapa.

"Kau masih marah?" Suara dari seberang sana langsung menjawab dengan pertanyaan.
Mingyu.

"Sedikit." Jawab Erin.

"Maaf, aku takkan mengulanginya lagi. Aku sudah mengambil motor itu. Jadi, berhentilah marah padaku. Oke?" ujar Mingyu lagi.

Erin tak langsung menjawab.
"Oke, ku maafkan." Jawabnya kemudian.

"Benarkah? Kau sudah memaafkanku?"

"Eoh." Jawab Erin singkat. Terdengar Mingyu mendesah lega.

"Ah, syukurlah. Aku lega sekarang. Kau tahu, kemarahanmu itu benar-benar sebuah mimpi buruk bagiku. Aku dilanda stress berkepanjangan. Aku tak bisa tidur dengan nyenyak. Aku tak bisa makan dengan lahap. Aku bahkan tak bisa hidup dengan tenang. Berat badanku turun drastis. Aku makin kurus sekarang."

Erin terkikik mendengar kata-kata lelaki tersebut.
"Kita bahkan hanya marahan selama dua hari, bagaimana mungkin kau langsung mendadak kurus?" ujarnya, diselingi tawa kecil.

"Kau tak percaya? Oke, kalau begitu buka jendelamu dan lihatlah keluar. Kau akan tahu kalau aku makin kurus."

Erin membelalak. "Kau di luar?"
"Iya." Jawab Mingyu cepat.

Erin berjingkat dari tempat tidurnya, menyingkap tirai jendela lalu melihat keluar. Dan tampak Mingyu sudah berdiri di depan rumahnya. Pria itu menyeringai seraya melambaikan tangannya ke arah Erin.

"Hai." Ia berteriak dengan wajah sumringah.

Erin menutup telepon lalu segera berlari keluar rumah dan menemui Mingyu yang masih berdiri di pinggir jalan.
"Malam-malam begini untuk apa kau ke sini?" gadis itu bertanya bingung.
"Untuk menemuimu."
"Lalu?"
"Memberikan ini." Mingyu menyodorkan sekotak pizza ke arahnya. "Pizza. Sebagai ungkapan permintaan maaf." Lanjutnya, nyengir.
"Suap?"
"Iya. Kau boleh menolak mobil ataupun sepeda motor, tapi jangan menolak pizza. Oke? Ayolah, Erin, ini hanya makanan." Desak Mingyu.

Bibir Erin mengerut. "Oke deh. Thanks." Ia menerima makanan tersebut, lalu menatap Mingyu dari ujung kepala hingga ujung kaki.
"Dan ... apa benar berat badanmu berkurang?" tanyanya. Mingyu kembali menyeringai.
"Iya, berat badanku berkurang. Kau mau menemaniku makan siang? Ayolah, sudah lama kita tidak makan bersama? Besok ya? Sepulang kuliah? Oke?" Pria itu nyerocos hingga membuat Erin kembali tertawa.

Perlahan ia mengangguk.
"Oke, tapi aku hanya menerima ajakan makan siang. Tidak ke tempat yang lain. Tidak ke mall, tidak ke boutique, tidak ke toko perhiasan, tidak ke tempat-tempat seperti itu lagi,"
Bola mata Mingyu melebar dengan indah. "Sungguh? Baiklah, besok kita makan siang bareng." Ia berujar dengan girang.
"Kalau begitu aku pulang dulu ya. Bye," ia pamit.

Tapi sebelum itu, ia sempat memeluk Erin dengan tiba-tiba lalu mencium pipinya dengan dalam hingga menimbulkan suara. Setelah itu ia tertawa seraya berlari menjauhi Erin yang tampak bengong.

Gadis itu melotot.
"Yyaak! Jika kau melakukannya lagi, tamat riwayatmu!" teriaknya.
Mingyu hanya terkikik seraya melambaikan tangannya ke arah Erin sebelum akhirnya ia kembali berlari ke arah mobil hitam yang telah menunggunya di pinggir jalan. Dan kendaraan mewah itu segera meluncur meninggalkan komplek perumahan Erin.

***

"Whooaa, kau nampak ceria hari ini? Apa kau sudah berbaikan dengan Mingyu?" Seo Hyun langsung menyapa Erin ketika gadis itu baru saja menginjakkan kakinya di teras kampus.
Erin hanya tersenyum dan mengangguk.

"Hah, kalian ini aneh? Kalian bilang kalian hanya berteman. Tapi setiap kali bertengkar, kalian seperti sepasang kekasih."
Erin mencibir dan Seo Hyun malah manyun.

"Oh iya, tadi ada yang mencarimu."
"Siapa?" tanya Erin.
"Bobby." Jawab Seo Hyun acuh.
"Oh, anak fakultas hukum itu?"
"Iya, calon pengacara. Putra pengacara terbaik di negara ini. Kaya, baik hati, pintar, tampan, oh astaga, bagaimana kau bisa kenal dia Erin? Kalian kenal baik?"
Erin manggut-manggut. "Lumayan, aku sudah agak lama mengenalnya. Kami 'kan satu organisasi,"
"Kok aku tak tahu?"
Erin tersenyum. "Kau 'kan sudah sibuk pacaran. Makanya tak pernah dengar ceritaku lagi," Erin terus beranjak. Seo Hyun mengekor.

"Ah, aku iri padamu Erin. Kenapa hidupmu dikelilingi oleh beberapa pria tampan, kaya raya, dan baik hati semua? Padahal kau tak terlalu cantik,"
"Yyak!" Erin berteriak sebal.
"Lalu bagaimana ceritanya kau bisa kenal baik dengan Bobby?"

"Aku memberikan les privat bahasa Perancis pada adiknya," jawab Erin sambil terus melangkah.

***

to be continued

The Chaebol's Son and MeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang