Chapter 3

2.4K 278 18
                                    

Erin tersenyum melihat sebuah nama yang tertera di layar ponselnya.
"Halo ...." Ia segera menyapa setelah memencet tombol 'ok'.

"Halo, bisa bicara dengan wanita tercantik di muka bumi ini?" Suara Mingyu terdengar renyah dari seberang sana. Erin terkekeh.

"Ya, kau sedang berbicara dengan wanita tercantik di muka bumi ini. Jadi, bersikaplah lebih sopan," jawabnya.
Mingyu tertawa.
"Yes, madam. Aku akan selalu sopan. Kau pulang dengan baik hari ini? Motormu tak mogok lagi? Jam berapa kau sampai di rumah? Kau baik-baik saja 'kan?"

"Bisakah kau bertanya satu persatu?"

"Tidak." Jawab Mingyu cepat.

Erin mendesis sebelum menjawab. "Aku sudah di rumah dan ya, aku pulang dengan baik hari ini. Ada lagi?"

"Maaf tidak bisa mengantarkanmu pulang. Aku harus menemui dokter praktek di Rumah Sakit. Masalah magang," jawab Mingyu lagi.

Erin pernah menanyakan kepada Mingyu alasan ia belajar ilmu kedokteran, padahal ia adalah calon pewaris sebuah kerajaan bisnis milik ayahnya. Ia pernah bertanya kenapa ia tak mengambil jurusan bisnis saja. Tapi Mingyu bilang, menjadi dokter adalah impiannya. Bahkan jika kelak ia menjadi pewaris perusahaan keluarganya, ia tetap ingin belajar ilmu kedokteran.

"Sedang apa?"

"Belajar,"

"Erin, ini week-end. Berhentilah belajar dan ayo kita keluar jalan-jalan,"

"Kemana?"

"Jalan-jalan saja. Ayolah, aku bosan di rumah. Ku jemput ya?" Mingyu merajuk.

"Mingyu, excusez-moi. Je n'ai pas le temps. (Maaf. Aku tak punya waktu). Setelah ini aku harus mengantarkan ibu ke rumah saudara. Ada kepentingan,"

"Kalau begitu, biar aku yang mengantarkanmu dan ibumu. Ya? Ya?"

"Terima kasih. Tapi tak usah,"

"Bohong. Itu pasti hanya alasanmu saja untuk menolak ajakanku 'kan?"

"No, that's true. Beberapa hari yang lalu 'kan aku sudah menemanimu makan siang. Apa sekarang kau ingin memintaku menemani makan malam?"

"Ya, asal kau tahu, Erin. Jika mungkin, aku ingin makan dengan ditemani olehmu. Setiap waktu, seumur hidupku," suara Mingyu terdengar meninggi.

"Kapan-kapan saja ya?"
Terdengar Mingyu menarik nafas kesal.

"Ya sudah, kapan-kapan juga boleh. Semoga kau tak membohongiku,"

"Maaf,"

"Well, you've done this to me so many times. And I still feel okay,"
Mingyu memutus pembicaraan.

Erin mendesah. Maafkan aku, Ia menggumam dalam hati.

Beberapa saat kemudian, ibunya masuk ke kamar.
"Ada tamu," ucap perempuan setengah baya itu.
Erin mengernyitkan dahinya. "Siapa? Mingyu?" Ia segera menebak. Ibu Erin menggeleng.
"Bukan. Temuilah dulu,"
Erin merapikan rambutnya dan segera beranjak menuju ruang tamu. Seorang pria tampan duduk di salah satu kursi kayu di ruang tamu.

"Bobby? Tumben ke sini. Ada perlu apa?" Erin menyapa ramah seraya duduk di kursi di dekat Bobby.
Pria itu tersenyum lalu balas menyapa. Setelah itu Ia mengeluarkan beberapa novel berbahasa perancis dari dalam tasnya.
"Aku tahu selama ini kau suka membaca novel berbahasa perancis dan bahasa inggris. Jadi aku membawakanmu ini," ujarnya sambil menyodorkan beberapa novel di depan Erin. Gadis itu sempat melongo.
"Astaga, sebanyak ini? Darimana kau mendapatkannya? Yang kau pinjamkan padaku terakhir kali itupun belum selesai kubaca,"

Bobby tersenyum. "It's okay. Kau bisa menjadikannya stok kalo yang kemarin sudah selesai kau baca," ujarnya.
Erin juga tersenyum. "Thanks," ucapnya, tulus.

"Kau sibuk?" Tanya Bobby lagi. Erin menggeleng. "Tidak. Kenapa?"
"Bisa minta bantuannya?"
"Apa?"
"Besok adikku ulang tahun. Maukah menemaniku mencari kado buat dia? Aku bingung harus memberi apa. Selama ini 'kan kau dekat dengannya, jadi kau pasti lebih tahu apa yang dia suka,"
"Adikmu ulang tahun?" Erin memastikan.
Bobby mengangguk.

"Wah, sepertinya aku juga harus membelikannya sesuatu. Kapan kita mencari kado?"
"Sekarang. Bisa?"
Erin terdiam sesaat. Tampak ragu.
"Kesempatan kita mencari kado tinggal sore ini, Erin," Bobby seakan mengingatkan.
Akhirnya, setelah sempat berpikir sesaat, Erin mengangguk
"Oke, aku ganti baju dulu ya." Jawabnya.
Dan sore itu ia memutuskan untuk pergi ke Mall bersama Bobby.

***

"Bagaimana dengan yang itu? Sepertinya itu cocok untuk adikku," ujar Bobby sembari menunjuk blouse atasan berwarna biru muda. Erin menggeleng.
"Adikmu itu agak tomboy. Dia tak akan suka dengan kado semacam itu,"
"Lantas?"
Erin melihat sekelilingnya sesaat. "Mmm, agak mahal sih, tapi sepertinya dia akan suka," ia sempat ragu.
"Apa?" Bobby bertanya antusias.
"Gitar," jawab Erin.

Bobby terdiam sesaat. Perlahan ia manggut-manggut. "Iya deh," Ia menarik tangan Erin lalu mengajaknya ke stand penjualan alat musik. Dan akhirnya, jadilah ia membeli sebuah gitar untuk adik Bobby.

"Aku ingin membelikannya sebuah sepatu olah raga. Tidak mahal sih, tapi aku yakin bisa memilihkan yang bagus untuk dia," ujar Erin kemudian.
"Oke, akan kuantarkan kau membelinya," sahut Bobby.

Ketika mereka sedang asyik memilih sebuah sepatu olahraga, tatapan Erin menangkap sesosok tubuh jangkung yang berdiri tak jauh dari tempat mereka berada dan menatap mereka dengan tatapan tak suka.
Bola mata Erin melebar. "Mingyu?" desisnya.
Ia meletakkan kembali sepasang sepatu yang tadi ia pegang ke tempatnya semula, lalu beranjak dan berniat menghampiri sosok itu. Tapi pria itu berbalik dan segera menghilang di antara kerumunan orang.

"Erin?" Panggil Bobby. "Ada apa?" Ia menghampiri gadis tersebut.
"Ah, tidak apa-apa," jawab Erin sedikit terbata-bata.
"Setelah ini, aku ingin mengajakmu makan. Kau ingin makan apa?"
"Makan? Mmm, apa saja deh," jawab Erin gelagapan. Kening Bobby mengerut.
"Erin, ada sesuatu?" Tanya Bobby keheranan ketika menyadari konsentrasi Erin tengah kacau. Gadis itu cepat-cepat tersenyum.
"Aku akan melanjutkan memilih sepatu." Cepat-cepat ia kembali memilih sepatu demi untuk mengalihkan pikirannya dari Mingyu.

"Besok aku tak bisa datang ke ulang tahun adikmu, jadi kadonya kutitipkan padamu saja ya?" Ujar Erin setelah ia selesai memilih sepatu yang akan ia beli untuk adik Bobby.
"Kenapa begitu? Dia pasti akan senang kalau kau bersedia datang ke pesta ulang tahunnya,"
Erin tersenyum penuh penyesalan. "Maaf, tapi besok aku akan sangat repot sekali," jawabnya kemudian.
Bobby manggut-manggut, tampak kecewa.

**
to be continued

The Chaebol's Son and MeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang