Chapter 5

2.1K 281 16
                                    


"Apa yang kau lakukan?!" Erin berteriak lagi.
Bukannya jera, Mingyu malah mengulangi perbuatannya.
Ia kembali bergerak mendekati Erin, merengkuh pinggangnya, lalu bibirnya menyambar bibir Erin, melumatnya kasar.

"Ming ...,"
Erin tak berkutik. Mingyu menarik tengkuk perempuan tersebut lalu memperdalam ciumannya. Lidahnya menukik tajam, menembus gigi-gigi milik Erin, memaksanya membuka mulut, sehingga lidah Mingyu leluasa menyapu rongga, dan menjilat setiap inci dari mulutnya.

Kehabisan nafas, pemuda itu baru menyudahi ciumannya.
Erin buru-buru mendorong tubuh Mingyu, lalu dengan terhuyung ia mundur beberapa langkah.
Perempuan itu menelan ludah, merasakan sedikit perih di bibirnya.

Sambil menatap Erin yang nampak tersengal, Mingyu mengusap bibirnya sendiri lalu tersenyum sinis.
“Kau lihat ‘kan? Aku bisa menyentuhmu, memelukmu dan menciummu. Lantas, dinding mana yang kau maksud?” suaranya bergetar.

Erin mematung. Hingga membuat Mingyu kembali tersenyum getir.
“Oke kalau begitu, cukup. Pembicaraan hari ini sudah menyelesaikan segalanya. Kau benar, tak ada lagi yang harus dibahas,”  ucapnya kemudian.

Erin mengernyitkan dahinya bingung.
“Setelah ini, jangan menemuiku lagi, Erin. Aku akan sangat sibuk sekali. Aku banyak pekerjaan. Aku harus belajar,”
“Kau ada ujian?”
“Tidak, aku sedang belajar untuk menghindarimu. Aku sedang belajar untuk jauh darimu. Meskipun aku tahu bahwa hidup jauh darimu sama seperti hidup dengan separuh nyawaku,” kalimat Mingyu luruh.

Erin terkesiap. Kata-kata Mingyu seolah menohok jantungnya hingga membuat dadanya terasa sesak seketika.
Gadis itu baru saja akan mengatakan sesuatu, tapi urung ketika sebuah mobil mewah berhenti tak jauh dari mereka. Seorang lelaki setengah baya keluar dari mobil tersebut lalu menghampiri Mingyu.

“Paman, aku akan pulang naik taksi. Tolong antarkan dia pulang. Jika dia menolak, seret dan paksa dia. Yang jelas, dia harus sampai rumah dengan keadaan baik-baik saja,” Mingyu membuka suara terlebih dahulu. Lelaki setengah baya itu mengangguk patuh.

Erin mengernyitkan dahinya. Ia menatap ke arah lelaki setengah baya itu lalu ke arah Mingyu dengan bingung.

“Tak perlu takut. Dia sopirku. Dia yang akan mengantarkanmu pulang. Aku akan naik taksi saja. Selamat malam dan jaga dirimu baik-baik,” Mingyu beranjak, menghentikan taksi yang sedang melintas, masuk ke dalamnya lalu segera meluncur meninggalkan tempat tersebut tanpa memberi kesempatan pada Erin untuk mengatakan sesuatu.

Perempuan itu hanya mematung menatap kepergiannya.
“Mari,” sopir Mingyu menyilakan Erin dengan sopan.

***

Erin memarkir sepeda motornya dengan perlahan. Sudah 3 hari ia tak ke kampus. Sepulang dari pertemuannya dengan Mingyu beberapa hari yang lalu, ia langsung jatuh sakit. Dan sejak saat itu pula, ia tak bertemu dengan Mingyu.

Pesan pendek yang sering ia kirimkan pada lelaki itu tak ada satupun yang dibalas. Panggilan telponnyapun tak pernah  dijawab. Dulu ketika Erin sakit, Mingyu selalu datang mengunjunginya tiap hari. Tapi kemarin, tidak lagi. Mingyu seakan menghilang di telan bumi. Dan Erin merasa sangat kesepian. Ia merindukannya…

“Kau sudah baikan? Mukamu masih pucat sekali,” sapa Seo Hyun.
Erin tersenyum. “Aku sudah sehat. Hanya demam biasa saja. Oh iya, kau sudah bertemu Mingyu?” Erin langsung bertanya.
Seo Hyun menggeleng.
“Beberapa hari ini aku juga tak melihatnya di kampus. Apa kalian belum baikan?” jawabnya.

Erin menggeleng dengan tak bersemangat. “Kemana dia? Jangan-jangan dia juga sakit?” ia menggumam.
“Aku akan ke kelasnya,” ia menambahkan. Seo Hyun hanya mengekor.
Ketika mereka menyusuri lorong kelas, tanpa sengaja ia berpapasan dengan Do Joon, teman sekelas Mingyu. Dan tanpa membuang-buang waktu, ia segera menanyakan perihal Mingyu padanya.

“Mingyu? Jadi kau belum tahu ya?” Do Joon menatap Erin dengan heran. Gadis yang di tatap juga balik menatap tak kalah heran. “Tahu apa?” desisnya, bingung.

“Mingyu sudah pindah ke Amerika. Ia berangkat dua hari yang lalu,” jawab Do Joon lagi.
Bola mata Erin melebar.
“Dia akan melanjutkan pendidikan di sana. Dan dia bilang, dia tidak akan kembali lagi ke Korea. Tunggu, apa dia tidak pamit padamu?”

Pertanyaan Do Joon seakan berputar-putar saja di kepala Erin. Ia merasa kakinya tak berpijak lagi di bumi. Dan akhirnya, gadis itu ambruk tak sadarkan diri.

***

Dia telah pergi…
Membawa hatiku …
Membawa cintaku …
Dan, membawa separuh dari jiwaku ….

***

to be continued

The Chaebol's Son and MeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang