Nappeun (Part 1)

1.9K 151 2
                                    

Semua akan indah pada waktunya, hanya saja waktu yang tak mengindahkannya--

Mata ku menatap lekat cermin yang terpaku indah di depan ku, bukan cermin yang menjadi pusat perhatian ku saat ini, melainkan bayangan ku, tubuhku.

Kucoba menutupi luka lebam di tubuh ku, yang sebenarnya tak bisa disembunyikan hanya dengan seragam sekolah berlengan pendek. Nafas berat ku pun terbuang. Bagaimana ini? Haruskah aku memakai mantel di musim panas ini?

"Sooyoung-aa, cepat. kau bisa terlambat nak!!",teriak seorang dari luar. Ku lirik pintu kamar ku, takut takut orang itu akan membukanya.

Pandangan ku kembali ke cermin, berusaha melatih senyuman termanis ku. Walau dengan luka lebam di sekujur tubuh dan sakit hati yang terasa sangat menyengat hingga membuat ku memilih mati dari pada merasakannya, setidaknya aku harus tersenyum. Demi orang yang ku panggil 'eomma', satu satunya semangat hidup ku.

"eoh! Aku selesai eomma", teriak ku dari dalam kamar.

Setelah mengambil 2 lembar roti tawar yang ada di meja aku memilih pergi. Tanpa menemui ibu yang sedang mencuci piring di dapur.

"eomma aku berangkat" ,teriak ku setelah berhasil melewati pintu rumah. Aku yakin ibu akan mengomel setelah tau aku tak menyentuh nasi goreng yang dia buat. Tak apa, aku hanya tak ingin dia cemas melihat luka di yang tak bisa ku tutupi.

#flashback

"PYARR!!",sebuah vas bunga melayang bebas dan membentur kepala ku yang kini meringkuk di sudut ruang tamu. Untung saja kedua tangan yang sedari tadi ku gunakan sebagai pelindung kepala tak pernah ku lepas, sehingga vas bunga yang terbuat dari keramik itu tak membuat kepalanku bocor.

"DASAR ANAK SI*LAN!! BERANINYA KAU-" "KAU PIKIR AKU INI SIAPA MU HAH?!!"

"apa? Kau bertanya siapa kau bagi ku? Apa kau benar seorang ayah? Bagaimana bisa seorang ayah mengumpat dan bersumpah kepada anaknya? Bahkan kau tak segan melayangkan vas bunga ke kepala ku!", teriak batin ku. Aku terlalu pengecut untuk mengucapkannya. Selama ini aku hanya menteorikan saja perlawanan ku, sungguh aku tak bisa mempraktikkannya. Aku terlalu lemah untuk itu.

" B*JINGAN INI BENAR BENAR MEMBUAT KU SAKIT KEPALA,  AISHH LEBIH BAIK KAU MATI SAJA DARI DULU!!"

"SINI KAU!! AKU AKAN MEMBERIMU PELAJARAN, AGAR KAU TAU SOPAN SANTUN!!"

"plak!!" "bugh" "dugh"

Tamparan, pukulan, dan tendangan di berikan laki laki yang mengklaim dirinya sebagai ayah kandung ku, ingat ayah kandung yang seharusnya menjaga dan menyayangi anaknya. Dengan gagahnya dia melakukannya berulang ulang, hingga tubuh ku tak kuat merasakan sakit yang teramat yang menjalar ke seluruh tubuh.

Ku rasakan anyir dari sudut bibir ku, aku menangis, badan ku bergetar hebat. Inikah caranya mengajari sopan santun? Kenapa dia memukuli ku? Isak tangis ku tertahan saat ku lihat bingkai foto yang membungkus foto seorang wanita yang sangat cantik. Ibu ku.

"Apa salah ku? Kenapa kau seperti ini pada ku?",gumam ku. Laki laki itu memberikan tendangan terakhirnya pada pinggul ku, sebelum akhirnya pergi meninggalkan ku dengan luka memar dan lebam di sekujur tubuh.

Dengan tertatih ku coba untuk berdiri, melangkah dengan sisa tenaga yang ku miliki. Air mata ku kembali keluar, dada ku sesak. Ini bukan pertama kalinya aku mengalami kejadian ini,dia memukuli ku dari waktu kewaktu, hingga saat ini, saat aku tumbuh menjadi remaja.

Ku raih foto ibu ku, lalu mengusap kaca yang melindungi kertas berharga di dalamnya.

"eomma, nan gwenchana. (ibu, aku gak papa)",aku tersenyum getir, mata ku masih saja tak bisa di ajak kompromi, mereka terus mengeluarkan cairan bening yang membuat ku semakin terlihat sengsara.

"eomma, kenapa nasib mu begitu buruk? Kenapa kau menikah dengan laki laki seperti dia?" ku peluk foto ibu ku, mendekapnya begitu erat, seolah ibu ku lah yang sedang berada di dekapan ku.

Setelah mengingat apa yang dilakukan ayah ku selama ini, membuat hati ku terasa sakit. Setiap malam mabuk mabukan, berjudi, dan bermain wanita. Tak cukupkah hanya ibu ku? Apa kurangnya ibu ku? Ah tidak, bahkan ibu ku terlalu sempurna untuk laki laki br*ngsek seperti dia.

Satu hal yang membuat ku semakin sakit hati, laki itu terus saja melukai hati ibu ku. Astaga!!! Ku rasa dia bukan manusia.
#flashback off

Aku baru saja duduk di kursi, dan meletakkan kepala di meja, sambil menunggu pelajaran di mulai. Sejenak ku istirahatkan mata ku yang terlihat masih membekak karena tangisan ku semalam, mereka terasa berat. Hingga akhirnya seorang mengusik ku.

"Sooyoung-aa, apa kau sakit? Kenapa pakai mantel.di hari sepanas ini,?"

"Diamlah, aku masih mengantuk",ucap ku tanpa melihat siapa lawan bicara ku, karna tanpa melihat pun aku bisa merasakan hawa mistisnya. Dia benar, aku memang sakit. Kalau boleh jujur sekarang ini tubuh ku rasanya remuk.

Kemudian ku benamkan wajahku kelipatan tangan yang menjadi bantal, semakin dalam dan semakin dalam, berharap tak seorang pun menyadari kondisi ku sekarang ini.

"Sooyoung-aa, kau mengabaikan ku eoh?",rengeknya.

"Bicaralah, aku mendengarkan mu"

"Baiklah, aku punya kabar baik, kau ingat perjanjian ku dengan aboji? Jika peringkat ku naik, maka aboji akan memperbolehkan kita pacaran. Dan lihat sekarang, aku masuk 20 besar di sekolahan." "Aigoo, lihatlah aku Sooyoung-aa, aku bekerja keras untuk mu",aku tersenyum.

Yook Sungjae, sahabat sekaligus kekasih ku, dia salah satu alasan ku masih berada di dunia ini. Ibu dan Sungjae, tak akan ku biarkan seorang pun menyakiti mereka.

Ku tatap Sungjae, aku tersenyum manis "Chukkae Sungjae-ya, kau sudah bekerja keras"

Sungjae menatapku khawatir, bodoh. Aku benar benar lupa dengan wajah ku saat ini.

"Sooyoung-aa, gwenchana? Apa dia lagi yang melakukan ini?", Sungjae mengusap luka di ujung bibir ku yang mulai mengering.

"Gwenchana",aku tersenyum lebar, bak mendapat obat mujarap, sakit yang kurasa mulai menghilang tatkala melihat Sungjae saat ini.

Sungjae tersenyum tipis.
~
Sungjae memegang erat tangan ku, baru saja kami memasuki game center, ini adalah janji seorang Yook Sungjae. 'Berkencan seperti pasangan pada umumnya' saat ayah Sungjae sudah memberi lampu hijau untuk kami.

"jahh, pukul ini sekuat tenaga mu, luapkan semua emosi mu, kau bahkan boleh merusakkannya", Sungjae tersenyum Simpul.

"dasar bodoh",gumam ku.

Ku hela nafas, dan mengumpulkan semua kekuatan ku,dan...

'ting'

Aku mendapat skore 16, aku dan Sungjae menukar pandang, akhirnya kami tertawa. Seolah, yang ku lakukan barusan merupakan hal yang lucu.

"Hahaha, Sooyoung-aa, gunakan emosi mu, ayo lakukan sekali lagi",Sungjae menggosok kartu game pada slot kartu.

Sekali lagi, aku mencoba memfokuskan diriku, mengingat kembali apa yang di lakukan ayah ku, saat emosi mulai merasuki ku dan berkumpul menjadi gumpalan di pusat ubun ubun, akhir keluarkan semuanya.

'ting'

80, skore tertinggi yang pernah ku dapat, Sungjae menatap ku takjub, aku tak menyangka mendapat skore begitu banyak.
~
Kami berjalan, bergandengan tangan, sesekali tertawa karena candaan Sungjae yang terlalu garing atau gombalan Sungjae yang terlalu manis membuat siapa saja yang mendengar pasti merasa mual.

Tiba saatnya kami sampai di depan gang menuju rumah sederhana ku, tempat yang ku tinggali selama 17 tahun (umur korea) selama hidup ku.

"Sooyoung-aa, kau yakin sampai disini saja?", Sungjae mempererat genggamannya.

"Eung, lagi pula ini sudah terlalu malam, kau pulang saja", perlahan ku lepaskan genggaman Sungjae, seakan tak rela melepas tautan tangan kami, Sungjae menatap ku seperti anak anjing.

Aku tersenyum, berusaha menyadarkan Sungjae, bahwa apa yang kami takutkan tak akan pernah terjadi, walaupun itu terjadi, aku akan melawannya, itulah keputusan yang kubuat. Harus.

Perlahan Sungjae mengerti dan merelakan perpisahan kami di depan gang gelap menuju rumahku, neraka ku.

"Annyeong Sungjae-ya, saranghae",gumam ku.

Be Stronger [✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang