Early Happiness and Destruction

1K 36 1
                                    

Kehidupan telah membawaku
Ke masa lalu
Aku dikelilingi oleh kenangan
Yang tak terhitung jumlahnya

Sekarang aku menemukan
Jawaban yang kucari
Apa yang kurindukan
Dan apa yang kuterima

Aku diperintahkan untuk terus hidup
Tapi tanpamu
Namun dalam hatiku
Api cinta selalu membakar
Untukmu

.
.
.
...

Tak pernah disangka-sangka akan menjadi seperti ini. Hinata tidak percaya akan ketahuan bahwa putri cantik bertopeng saat itu yang tak lain adalah dia. Juga Naruto pun tidak percaya bahwa dia memang jatuh cinta pada gadis di depannya yang tak lain adalah pelayannya sendiri.
Entah takdir atau memang hanya kebetulan. Seolah-olah mereka harus dan memang dipertemukan untuk dipersatukan oleh Tuhan. Pertemuan dan kebersamaan yang mereka alami membuat hati mereka merasakan sesuatu yang tak biasa saat keduanya saling bertemu.
“Kenapa kau melakukan ini, Hinata?” tanya Naruto.
“Ano…”
“Kenapa kau berbohong?”
“Saya tahu saya tidak pantas untuk Anda. Saya hanyalah seorang anak pembantu dan juga pelayan. Sedangkan Anda adalah seorang bangsawan kaya raya yang akan bersanding dengan wanita yang sederajat dengan Anda.”
Bukan itu maksudnya! Ingin sekali Naruto membantah semua perkataan Hinata. Namun entah kenapa lidahnya terasa kelu.
“Gomenasai, Naruto-sama! Saya harap, Anda melupakan kejadian itu.”
Setelah itu, Hinata berjalan keluar meninggalkan Naruto yang menatap sedih Hinata dengan hati yang penuh dengan perasaan bersalah. Hinata telah salah paham tentang dirinya. Padahal Naruto ingin mengatakan bahwa sebenarnya mencintai Hinata.

Beberapa hari ini hubungannya dengan sang pelayan seperti berjarak. Meski Hinata selalu melakukan tugasnya dengan baik, tapi Naruto merasakan kalau dia seperti menghindarinya. Hinata tidak pernah lagi menyapanya atau bahkan sekedar basa-basi. Padahal hubungan mereka sudah seperti teman dekat, namun sekarang tak lebih dari majikan dan pelayan.
Walaupun Hinata berusaha bersikap sopan kepadanya, Naruto merasa ada yang hampa di antara mereka. Sikap Hinata yang seperti itu terlalu kaku untuknya. Dia merindukan sikap pelayannya yang dulu, yang perhatian dan penuh canda tawa. Yang wajahnya selalu memerah tiap kali dia goda. Tapi sekarang, untuk tersenyum pun seakan hilang di telan bumi.
Bahkan sekarang pun Hinata tidak berbicara apapun saat dia memasuki kamarnya untuk mengantarkan sarapan pagi.
“Hinata!” panggil Naruto.
Gadis yang dipanggilnya itu menoleh dan langsung menghentikan langkahnya. “Ya, Naruto-sama?” sahutnya. “Ada lagi yang Anda butuhkan?” bahkan saat berbicara pun dia menundukkan kepalanya tanpa mau menatap majikannya.
Naruto menyimpan gelas kopinya lalu berjalan mendekati pelayannya.
“Ada apa denganmu?” tanya Naruto.
“Apa maksud Anda?” yang ditanya malah bertanya balik.
Tangan Naruto terulur untuk memegang kedua lengan Hinata.
“Kumohon… kumohon jangan seperti ini!” ucapnya. “Kemana Hinata yang kukenal?” lanjutnya. “Hatiku sakit melihat perempuan yang kucintai seperti ini.”
Kata-kata Naruto seakan menjadi mantra baginya. Hinata langsung mengangkat kepalanya. Kedua iris lavendernya menatap sang majikan dengan tatapan tidak percaya.
“Apa yang barusan Anda katakan, Naruto-sama?”
“…”
Pria itu malah terdiam. Kedua mata sapphire-nya masih menatap sang pelayan dengan tatapan yang dalam. Dia menutup matanya lalu membukanya lagi. Kedua tangannya mencengkram kedua lengan Hinata lebih erat lagi.
“Tolong jangan panggil aku dengan suffix ‘sama’ lagi. Dan jangan bersikap dan berbicara formal di saat kita sedang berdua.” Kata Naruto.
“Kenapa?” tanya Hinata bingung.
“Karena…”
‘Arrrghhhh!!! Kenapa sulit sekali! Kuso!’ ucapnya dalam hati.
“Hinata… watashi wa anatagasuki. Iie, watashi wa anata o aishite!”
Mata Hinata terbelalak mendengar pengakuan itu.

Sudah seminggu sejak kejadian di kamar Naruto, dan pengakuan dari sang majikan, hubungan Hinata dengannya menjadi lebih baik. Meski agak canggung, tapi ini lebih baik dari pada waktu itu.
Dari Hati Hinata yang terdalam, dia mengakui kalau dia juga mencintai Naruto. Tidak bisa dibohongi, tapi dia memang mencintai majikannya sendiri. Namun, Hinata belum mengatakannya pada Naruto. Bukannya tidak mau, tapi dia belum punya keberanian untuk itu. padahal Naruto sendiri sudah menantikan ucapan itu dari mulut Hinata sendiri. Hinata sendiri menjadi tidak enak karena sudah seperti memberikan Naruto sebuah harapan palsu.
Untuk pertama kalinya, Naruto merasakan bahwa Hinata begitu memukau. Dimatanya, pelayannya itu terlihat sangat cantik. Entah apa yang terjadi padanya sehingga ketika hari ini Hinata datang ke kamarnya tanpa memakai baju pelayan tapi memakai gaun tidur, ada semacam hasrat liar yang sudah lama ia pendam, dan sekarang ia tidak bisa menahannya.
Mungkin karena malam ini, kedua orang tuanya pergi. Sehingga Naruto lebih leluasa bermanja-manja pada pelayannya. dan untuk pertama kalinya pula, mereka saling memiliki, bersentuhan yang sangat dekat sehingga tidak ada jarak lagi di antara mereka. Hinata merasakan sakit yang luar biasa ketika kesuciannya telah hilang. Dia tidak menyesali itu karena memberikannya pada pria yang ia cintai. Meski bukan suaminya, setidaknya jika mereka tidak bisa bersama, Hinata mempunyai kenangan manis bersama Naruto.
Kedua saling berpelukan di bawah sinar rembulan. Tidak ada pakaian yang membalut tubuh keduanya. Hanya selimut yang menutupi tubuh mereka.
“Hinata!” panggil Naruto.
Hinata menoleh. “Ya?”
“Apakah kau mencintaiku?”
Raut wajah Hinata berubah seketika. Namun dia mencoba berusaha untuk menghilangkan keraguan di hatinya dan kembali menampilkan wajah yang tersenyum lembut. Dengan penuh keyakinan, dia berkata, “Ya, Naruto-kun! Aishiteru! Sangat… aku menyukaimu sejak dulu. Dan sekarang aku semakin mencintaimu.”
Kepala Hinata di tempatkan di dada bidang Naruto. Kedua tangannya memeluk tubuh majikannya. Sedangkan kedua tangan kokoh Naruto memeluk tubuh ramping pelayannya. Keduanya seakan tidak ingin kehilangan. Dengan penuh sayang, Naruto mengecup puncak kepala Hinata.
“Meski kita terpisahkan oleh kedudukan dan kasta, aku yakin kita akan bersama. Tak peduli kau pelayanku atau hanya rakyat jelata, tak peduli jika orang tuaku menentang hubungan kita, aku akan selalu mencintaimu. Karena kau adalah tulang rusukku. Tak akan ada yang bisa menggantikan dirimu.” Ucapnya jujur dengan penuh ketulusan.
“Hontou ni?” tanyanya menatap Naruto.
Lama mereka terdiam, Naruto kembali memeluk Hinata. “Hai! Aku percaya takdir. Takdirlah yang telah mempertemukan kita, membawa kita sampai sejauh ini. Meski akhirnya kita terpisah, aku yakin kita akan bersatu lagi.”
Kata-kata tersebut memang kejujuran hatinya, bukan hanya gombalan belaka. Hinata pun percaya itu. jika Tuhan telah menentukan bahwa mereka berjodoh, saat kematian menjemput pun mereka akhirnya akan bersama. Tuhan akan melakukan segala cara agar mereka bersatu dan tidak akan berpisah.

Anata no TameniTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang