Prolog.

3.3K 152 9
                                    

Suara derik pintu geser terdengar bersamaan dengan kedatangan wanita paruh baya bermata sayu. Kuangkat tubuhku dari bangku seraya menghampiri Nyoya Kim - wanita berusia kepala enam yang sudah kuanggap sebagai ibu kandungku sendiri.

"Pulanglah, ibu akan menjaganya malam ini," ucapnya tanpa basa - basi begitu aku bangkit dari bangku. Ia mencoba menyunggingkan senyum meski lejar terlihat jelas di wajahnya yang pasi.

Kuhelakan nafas berat. Rasanya sungkan meninggalkan ruangan ini meski tak bisa kupungkiri jika aku telah lelah meski yang kulakukan sejak enam jam lalu hanya duduk tanpa juntrungan. Kutimbang permintaan Nyonya Kim sejenak sambil melirik pada tubuh kurus yang terkulai di atas tempat tidur berbalut piyama rumah sakit.

Kuanggukan kepalaku pada Nyonya Kim setelah memastikan wanita paruh baya itu akan baik - baik saja menemani seorang pasien di ruang rawat ini seorang diri.

"Joong Ki-ya," panggilnya lagi, selangkah sebelum aku menjejak batas pintu, keluar dari ruangan rawat bernomor 22 ini.

Lalu, aku menoleh kembali.

Nyonya Kim membuang nafas beratnya terlebih dahulu sebelum berkata; "Tolong pertimbangkan kembali ucapan kami,"

Aku tercekat. Suara Nyonya Kim terdengar parau. Ia kehilangan keberanian untuk menatapku.

Kujawab kalimatnya dengan decak terang - terangan. "Aku memang lelah, benar - benar lelah. Aku menjadi kuat karena Ibu dan Ayah menunjukan padaku jika menggantungkan segalanya pada Tuhan adalah hal terbaik yang bisa kita lakukan sat ini. Ibu sendiri yang mengatakan padaku jika Ibu mempercayai keajaiban. Ibu dan Ayah adalah orang tua paling tegar dan paling kuat yang pernah kutemui. Lalu mengapa ibu dan ayah mendadak bertingkah seperti ini? Apa karena Dokter Jo mengatakan sudah tak ada lagi harapan bagi Hyo Joo untuk hidup?" cecarku, tanpa sadar meninggikan suaraku pada calon ibu mertuaku.

Kubuang pandangku ketika menyadari mata Nyonya Kim mulai berkaca.

"Jika Ibu dan Ayah ingin menyerah, menyerahlah. Biarkan aku tetap berharap. Biarkan aku tetap disini bersama Hyo Joo sampai ia sendiri memutuskan untuk tetap tinggal atau -" kalimatku menggantung, sesuatu mendadak mencekik leherku, "-untuk pergi."

.

Sudah lewat tiga puluh menit dari pukul dua belas malam. Lobby rumah sakit yang kusinggahi sejak satu jam lalu telah senyap. Hanya ada beberapa orang yang kuduga menunggu pasien sepertiku, seorang suster penjaga yang tengah terkantuk - kantuk di balik meja informasi dan seorang petugas kebersihan yang baru saja merapihkan perkakas bersih - bersihnya di bawah tangga.

Kurenggangkan otot - ototku yang menegang setelah berjam - jam tak melakukan pergerakan signifikan.

Aku tak menganggap bangunan beraroma alkohol ini sebagai rumah keduaku, tapi gedung inilah yang menjadi tujuan utamaku ketika pekan berakhir atau selepas pulang kerja.

Dua tahun lalu tepatnya.

Hari - hariku berjalan lambat sejak seperempat windu lalu, lebih tetapnya, sejak aku mendapat kabar jika tunanganku menjadi salah satu korban kecelakaan maut yang terjadi dua puluh empat bulan lalu di salah satu ruas tol dipinggiran Seoul.

Benturan keras dikepalanya menimbulkan pendarahan di otaknya. Beruntungnya, tunanganku tidak masuk ke daftar korban tewas. Tidak beruntungnya, ia juga tidak kembali ke dunia fana ini. Orang - orang berkata, Han Hyo Joo tengah menikmati hidupnya di batas dua dunia. Koma.

Aku tak mengerti seindah apa dunia baru yang Hyo Joo tinggali saat ini hingga ia belum juga kembali. Aku tak tahu seindah apa mimpinya hingga ia belum ingin terbangun dari mimpinya.

R E A L L YTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang