7.

1.6K 107 32
                                    

"Heiz! Terserahmu, tapi hari ini kau akan jadi anak ibu!" pekikan seorang wanita terdengar nyaring dari arah kamar, lantas aku menoleh. "Bagaimana bisa ia begitu mirip denganmu, eoh? Song Joo Won benar-benar anak Song Joong Ki!" ocehnya seraya menjatuhkan diri disampingku.

Aku yang tengah menikmati nyanyian rintikan hujan ditemani secangkir teh panas, mau tak mau ikut tersenyum. "Benarkah dia mirip denganku? Saat sedang bersamaku, tingkah lakunya sama persis dengan sifatmu, bukankah dia anakmu?" kutarik pelan ujung hidung wanita itu saking gemasnya.

"YAK YAK! Oppa! Jika anakmu melihat, dia akan langsung mempraktikan pada teman-temannya. Jika guru TK memanggilku karena Joo Won mengusili temannya lagi, aku tidak mau datang. Dia kan anakmu, kau saja yang datang" omelnya tak jelas.

"Ibu macam apa yang selalu melempar tanggung jawab seperti ini, eoh?" aku ikut mendengus.

Tentu saja, kami tidak sungguhan bertengkar. Kami hanya tidak habis pikir bagaimana mungkin bocah berusia enam tahun yang tengah berusaha menelusupkan kepalanya ke dalam kerah kaus itu bisa begitu mirip dengan kami.

Tawa kami memecah damainya pagi ini. Menambah nikmat dari aroma basah yang menguar dari tanah sisa hujan semalam.

"Gerimis," gumamku sambil menunjuk ke arah jendela ketika tawa kami mereda. "Perlu aku mengantar kau dan Joo Won ke rumah ibu?"

"Tidak perlu. Kau akan memutar jauh jika harus mengantar kami terlebih dahulu," tolaknya cepat. "Aku sudah memesan taksi,"

"Jangan lupa payungmu," aku mengingatkan.

Ia mengangguk tanpa memudarkan senyumnya. Senyum yang selalu menyambut pagiku tujuh tahun ini.

"Ah ya, aku mendapat pesan dari Kangseo Florist, mereka bilang Daisy yang kau pesan bisa dimbil pukul sembilan," ucapnya tiba-tiba.

Daisy..

Riang yang mulanya mendominasi ruang tengah perlahan melesap disapu gerimis.

Diam-diam, senyap melahap kerja saraf motorik kami. Canggung yang mendadak tercipta tak bisa kami hindari meski aku berusaha bertingkah sebiasa mungkin.

"Sudah tahun kedelapan. Kau pasti sangat merindukannya," terkanya, lirih.

Kujawab praduganya dengan senyum simpul.

"Kau tahu, Oppa," setengah menit kemudian ia kembali berbicara. "Merindu memang menyiksa, tapi memiliki orang yang selalu dirindukan adalah kenikmatan. Selalu kukatakan ini padamu jika kau tak perlu merasa bersalah padaku. Setiap orang memiliki keinginan untuk kembali ke satu waktu tertentu, setiap orang memiliki orang yang selalu dirindukan, setiap orang punya masa lalu yang tak bisa dihapus. Itu yang disebut perjalanan hidup. Ada saat dimana kita harus menoleh ke belakang agar kita ingat, darimana memulai, apa yang sudah kita lewati dan sudah sejauh mana kita melangkah," jelasnya dengan kelembutan yang konstan, menenangkan "Aku tidak pernah merasa dibayang-bayangi, Oppa karena aku tahu, kau sudah berdamai dengan masa lalumu,"

Riuh gerimis diluar sana bersinergi dengan lembut vokalnya. Kalimat yang ia lontarkan membuatku tertegun.

"Andai kau diberi kesempatan untuk menghapus salah satu ingatanmu, apa kau ingin mengambil kesempatan itu?" tanyaku.

Terkadang keinginan itu terlintas dipikiranku. Kemampuan untuk memilih memori mana yang bisa kusimpan dan mana bisa kubuang agar aku tidak perlu hidup dalam lara lagi.

Tanpa terkejut, ia mencoba menimbangya. Mengambil jeda beberapa sekon untuk memberi jawaban. "Tidak," jawabnya lugas. "Orang yang pernah menyakitimu sangat dalam adalah orang yang paling dalam mencintaimu. Ingatan manis atau ingatan paling menyakitkan sekalipun, aku memilih untuk menyimpannya. Aku tak ingin ia terlupakan. Dengan begitu, di dalam sini, ia akan tetap hidup," tunjuknya ke arah dadaku, hatiku.

R E A L L YTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang