1/2

5.2K 61 5
                                    



Tahukah kau?

Aku masih mencintaimu,

amat sangat mencintaimu...

Pedulikah kau?

Aku yang terjaga setiap malam karenamu...

Memikirkanmu dan masa lalu kita.

Namun, tak sanggup kukatakan semua itu padamu...

Mengapa semua ini terjadi?

Adakah salahku padamu tak termaafkan?

Jangan pergi...

Kembalilah,

Karena aku

terus menunggumu,

dan akan selalu begitu...

Katakan 'tidak' pada mereka,

Sebab kau...

adalah milikku...

***

"Kita... sampai di sini saja, ya. Kau tahu, kita sudah tidak cocok lagi. Akupun sedih, tapi apa boleh buat, 'kan? Sudah ya. Bye."

Kalimat-kalimat itu terus terngiang di kepalaku. Bagai laut yang tak pernah mengering, membawa kembali kenangan-kenangan. Membawa segala sesuatu yang pernah terjadi diantara aku dengan dirinya.

Hubungan yang aku pertahankan dengan begitu kerasnya, berakhir dalam empat setengah bulan. Apakah karena usahaku mempertahankan hubunganku dengannya mengendur seiring berjalannya waktu? Tidak. Apa karena rasa sayangku padanya memudar? Sama sekali bukan itu.

Lalu apa salahku sampai ia mengakhiri hubungan kami? Aku tak tahu. Aku yakin bukan karena 'kita-sudah-tidak-cocok-lagi'. Pasti ada alasan lain. Tapi aku tak pernah berani mencari tahu. Aku terlalu takut akan kenyataan yang menyakitkan, lebih baik tenggelam dalam ketidaktahuan dibandingkan mengetahui sesuatu yang akan merenggut semangatku untuk menjalani hari. Aku tahu aku pengecut, tapi... aku benar-benar tidak bisa.

Kupikir, dialah benang merahku. Seorang laki-laki yang berdiri di garis hidupku untuk menghabiskan sisa hidupku bersamanya. Satu-satunya yang disediakan Tuhan untukku. Kenapa semuanya berakhir di tengah-tengah dengan begini tragis?

Perjuanganku untuk mempertahankan hubunganku dengannya tidaklah ringan. Banyak batu-batu besar di sana-sini, dan aku harus melompatinya... sendirian. Tidakkah ini menyedihkan?

Aku selalu mengalah saat 'penyakit mingguan' Reinhard kambuh. Tidak, ia tidak mengidap penyakit berbahaya yang mematikan layaknya kanker atau hepatitis dan sebagainya, tapi penyakitnya berbahaya bagi kesehatan mentalku. Ya, penyakit 'keegoisan-tingkat-tinggi'-nya itu bisa membuatku gila. Tapi aku selalu berusaha bersabar dan mengatasi semuanya sendirian. Terbayang seberapa berat usahaku, 'kan?

Belum lagi saat sahabat-sahabatku, Aelke dan Variska, yang tidak pernah menyetujui hubunganku dengan Reinhard.

"Apa sih bagusnya Reinhard, Riss? Cowok tipe-tipe begitu mah banyak kali di pasar ayam." Variska yang jelas-jelas tidak pernah menyetujui hubunganku berkata begitu.

"Dia baik kok, tampang lumayan, otak standar. Duit? Cukup kok. Hehehe." Aku berusaha membela.

"Tapi dia playboy, lo bukannya nggak suka cowok playboy, Ris?" Aelke mengingatkan. Entah sudah berapa ratus kali aku mendengarnya.

"Kalian belum kenal dia, 'kan? Terserah kalian deh, menurut gue dia baik, kok." Entah berapa ratus kali juga aku membuat mereka berdua mendengar kalimatku.

"Terserah lo, deh!" kata mereka berdua mendengus kesal dengan tampang cemberut. Aku tahu mereka bosan mendengar kalimatku yang satu itu, akupun bosan diceramahi mereka hampir setiap kali aku membahas Reinhard di depan mereka. Apa yang salah dari menyayangi seseorang?

Aku hanya bisa tertawa pahit dan mengalihkan pembicaraan mereka. Pertanyaan, siapa yang suka kalau pacarnya dijelek-jelekan?

Dia playboy? Aku tahu. Aku tahu. Mereka tak perlu mengucapkannya secara langsung. AKU TAHU. Tapi apa dayaku?

Aku tak pernah bisa melepaskannya dari pikiranku. Sedetik saja aku punya waktu bebas, pikiran tentangnya segera merasuk dalam pikiranku. Semenit saja aku merenung, segala sesuatu tentangnya langsung terlintas dalam pikiranku, yang membuatku makin tenggelam dalam sesuatu yang disebut 'cinta'.

Ya, aku tak akan pernah bisa melupakannya, dan akan selalu mencintainya. Dialah pertama dan terakhirku.

Itulah prinsip yang selalu aku pegang dan laksanakan, bahkan sampai sekarang.

Tapi ternyata, baginya... aku hanyalah satu dari mantan-mantan kekasihnya.

Sakit, saat hati ini terus memanggil namanya. Gelisah, saat mata ini terus mencari keberadaannya. Perih, saat melihat senyumnya yang bukan untukku. Entah sudah berapa banyak airmataku yang kupersembahkan hanya untuknya. Tapi baginya, mungkin itu tidak cukup. Ya, tidak akan pernah cukup.

GalauTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang