10. Semanis Latte Buatannya

34.8K 3.6K 470
                                    

Aku menggenggam tiket di tanganku dengan debar jantung sedikit lebih cepat dari biasanya. Suara desingan gesekan besi dengan rel, klakson yang nyaring, serta denting bel juga suara petugas stasiun membuat ritme jantungku kian cepat hampir tiap menitnya.

Cuaca di luar cerah, cenderung terik, tapi aku terus meniup tanganku yang terasa dingin di balik kardigan tipisku demi menghangatkannya. Sesekali kepalaku menoleh ke kiri lima detik, pandanganku menelusuri, lalu beralih menoleh ke kanan dengan durasi yang lebih panjang sambil tetap menulusuri setiap wajah di sekitarku.

Beberapa orang mungkin berpikir aku baru pertama kali datang ke stasiun. Memang benar. Ini akan jadi pengalaman pertamaku menjelajah perjalanan darat dengan menggunakan transportasi bernama kereta api.

Tidak ada alasan khusus dan tidak ada sangkut pautnya dengan masa laluku. Hanya memang belum pernah ada yang mengajakku untuk berpergian dengan menggunakan kereta. Baru dia.

Koper-koper berjejeran di sepanjang peron. Suara pluit masinis memekakkan telingaku. Suara pengumuman hilir mudik kereta yang datang berulang kali terdengar dari pengeras suara yang letaknya di pilar tepat di samping koperku. Seharusnya keretaku akan datang sepuluh menit lagi, tapi orang yang akan pergi bersamaku belum datang.

Aku masih sempat memperhatikan beberapa tipikal wajah pengunjung stasiun. Bukan cuma satu-dua wajah menunggu dengan tak sabaran kutemukan, tapi dibalik rasa tak sabar itu, ada rasa tergesa-gesa, kebahagiaan yang tersimpan, serta rindu yang memuncak bersama mereka yang membawa koper-koper besar untuk menemui siapapun orang yang ingin mereka temui. Dan entah kenapa, hal itu menjadi hiburan tersendiri bagiku sementara menunggu Rezka.

Aku belum pernah menaiki kereta untuk perjalanan panjang demi menemui seseorang yang mungkin membuatku menyimpan kebahagiaan yang terpendam disertai rasa rindu yang memuncak untuk menemui mereka. Kalaupun memang suatu saat hal itu benar-benar terjadi padaku, aku harap--selain keluargaku--orang itu adalah Rezka dan akan selalu begitu.

Sebuah tepukan mendarat di pundakku, disusul dengan genggaman erat di telapak tanganku. Aku spontan menoleh, dan ritme jantungku yang semula terkejut berangsur rileks melihat senyuman cerah di wajah Rezka.

Lelaki itu memamerkan senyum kasual seperti caranya berpakaian pagi ini. Kaus putih polos dibalik jaket parka warna biru gelap, jeans senada warna jaketnya dan Adidas matchcourt skate shoes warna putih melengkapi sepasang kaki yang kini berbaris sejajar dengan kakiku.

"Hai," sapaan itu lolos dari bibir Rezka, "Maaf, ya, jadi kamu yang nunggu. Tadi ada lukisan yang harus saya antar terlebih dahulu. Pesanan khusus."

Aku mengangguk, memaklumi alasan Rezka datang lebih lama dariku. Rezka beralih meraih koperku ketika suara pengeras di dekat kami kembali mengumumkan bahwa keretaku dan Rezka akan segera tiba di peron.

Kami duduk sejajar setelah merapikan barang bawaan kami ke kabin. Rezka sempat menanyakan apakah posisi dudukku sudah nyaman. Sedikit-banyak aku tahu bahwa lelaki yang sedang berusaha melakukan penjajakan kepadaku itu adalah tipe lelaki yang perhatian. Poin plus lagi untuk Rezka.

Setelah yakin aku telah nyaman dalam posisiku dan mulai terlarut dengan pemandangan di luar jendela kereta, Rezka mengeluarkan sebuah buku dari dalam tas ranselnya. Aku melirik penasaran judul buku yang dibacanya. Dari tampilan luar dan judulnya tampak seperti buku berbau thriller psikologi. "The Girl On The Train" karya Paula Hawkins. Dari sampulnya, sepertinya buku itu sangat diminati sampai-sampai akan segera diangkat ke layar lebar.

Aku sendiri bukan penikmat buku. Aku mulai berhenti membaca buku sejak mulai bekerja. Saat SMA dulu, aku masih suka meminjam koleksi novel Alana--dia punya banyak koleksi novel, tapi semenjak menemukan hobi baruku--belanja--aku memutuskan bahwa ketimbang baca buku, rasa penat akan lebih cepat hilang dengan berbelanja. Tapi, aku belum pernah membaca buku-buku seperti yang dibaca Rezka sekarang.

The Bridesmaids Tale #2: Portrait of a LadyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang