II

52 6 22
                                    

The Krisps' 12:15 P.M

"Kau benar benar terobsesi dengan French Toast? Saat makan siang? Allie, yang benar saja.", protes Hazel saat kedua matanya menatap kearah gadis berkacamata dihadapannya.

"Really? Haz? Apakah kau memiliki cermin atau semacamnya? Tell me, sudah berapa kali kau memesan Carribean Roast itu selama sebulan ini?", jawab Allison santai sambil sesekali merapikan rambut berwarna gingernya yang terjatuh begitu saja diwajahnya.

"Okay..okay...hanya saja, moment Allie..moment.", Hazel yang kini tampak menikmati sandwich ditangannya kembali meluncurkan protes secara tak langsung.

"Hazel, aku bisa memakan sereal pada jam delapan malam dan kau bisa memesan whiskey di jam tujuh pagi. Aku tak mengerti, mengapa orang orang menganggap bahwa mereka hanya bisa memakan makanan ini dan itu di waktu tertentu. It doesn't make any sense. Jika aku menginginkan satu loyang pizza sebagai sarapan, aku akan lakukan itu and no one can stop me.", jemari wanita itu terlihat berhiaskan french tip yang masih terlihat baru. Ia terus menyibukkan tangan dan mulutnya untuk menyantap hidangan dihadapannya.

"Allie, kita sudah sepakat untuk melupakan insiden whiskey itu.", Hazel memutar bola matanya tatkala ingatan menggelikan itu kembali mengisi otaknya. Saat seluruh saraf otaknya terasa begitu jenuh dan memutuskan untuk melakukan hal konyol.

"C'mon Haz, cerita itu sudah melegenda di perusahaan, dan segala usahamu untuk menutupi itu akan sia sia saja. Berbanggalah sedikit, tak semua orang bisa melakukan hal berprestasi seperti itu.", ujar Allison dengan nada jahil yang diikuti dengan dengusan nafas kesal dari lawan bicaranya

Hazel hanya bisa tersenyum kecil mendengar hal itu.
"Yup. Prestasi yang membuat Mr. Felton tua itu menyuruhku menghabiskan 30 menit di balkon depan. Berdiri dan merenungi betapa tololnya aku waktu itu."

"That's the point, Haz. Tak ada yang pernah membuat kesalahan....maksudku, mengukir prestasi seperti itu sebelumnya. Kau harus bangga akan hal itu.", Allison kembali menggigit potongan roti yang dilumuri oleh madu.

"Enough. Aku sudah memutuskan untuk meluoakan semua itu, dan kau mencoba untuk mengingatkanku lagi? Big thanks to you, Al.", Hazel kembali menggerutu ambil memasang ekspresi wajah kesal.

"Ayolah Haz, ini bukan pertama kali orang lain mengungkit masalah ini bukan?", pancing Allie lagi yang diikuti dengan tatapan membunuh dari gadis dihadapannya.

"Allie, I've had enough. Kau seharusnya menjadi orang yang berada di daftar terakhir dalam hal mempermalukanku. Ganti topik pembicaraan ini. Now.", Hazel memijat kepalanya yang mulai terasa berputar.

"You haven't changed since back then, Haz.", Allison tertawa kecil sambil menikmati segelas orange juice dingin yang dipesannya.

Mendengar hal itu, Hazel hanya bisa mengangkat alis, mengisyaratkan bahwa ia tak mengerti apapun yang dibicarakan sahabatnya itu.

"Maksudku, sifatmu yang aneh itu masih belum berubah. Sejak kita berdua masih sekolah dulu, sebelum kita berdua pindah kesini dan memutuskan untuk bekerja di nerak....maksudku, perusahaan ini.", jelas Allison setelah menghela nafas.

Hazel hanya tersenyum kecil mendengar hal itu. Allison adalah sahabatnya sejak kecil, beberapa tahun lalu mereka memutuskan untuk berpindah dari Indonesia untuk mengejar karir di negara lain, hingga akhirnya mereka menginjakkan kaki di kota hujan ini.

"Kau tahu? Aku tak menyangka bahwa aku harus berkerja di satu tenpat yang sama denganmu. I'm sick of seeing your face, kau tahu itu kan?", canda Hazel sambil memberikan ekspresi mengejek.

"Oh, C'mon Haz. Aku tahu kalau kau begitu mengagumiku. Berhentilah bersikap seakan kau tak menyadari itu.", tukas Allison lagi sambil memasukkan suapan terakhir ke mulutnya.

"Terserah apa katamu, loser.", timpal Hazel tak mau kalah sambil melepaskan ikat rambut yang sedaritadi dipakainya.

"Okay, okay. Ayo ganti topik pembicaraan. Kurasa aku juga sudah mulai muak dengan perdebatan aneh ini.", Allison menyandarkan dagunya diatas kedua tangannya. Masih ada waktu sekitar dua pulih menit sebelum waktu makan siang usai.

"Apa yang mau kau bicarakan? Selama itu bukan urusan kantor, aku takkan menolak."

Hazel mengedipkan sebelah matanya dengan ekspresi jahil. Sahabatnya hanya bisa membalas dengan tatapan yang seolah berkata 'Mengapa aku harus mengenalmu.'

"Hentikan itu. Apa kau tak memiliki topik untuk kau bicarakan? How boring your life must be.", ejek Allie sambil memutar bola matanya.

"Kau tahu keseharianku lebih dari siapapun, Al."

"Oh Hazel Genevieve, itulah sebabnya aku memintamu untuk mulai mencari pasangan hidup. Kau tahu? Untuk sekedar memberikan perubahan di hidupmu.", keluh Allison lagi setelah ia mendengar jawaban Hazel.

"Kurasa ini belum waktunya, Al. Aku belum siap, dan jikalau aku telah siap, aku tak yakin apakah aku bisa menarik perhatian para pria. Kau tahu, akhir akhir ini pria juga menyeleksi dengan sangat cermat. Menyebalkan.", sahut Hazel dengan nada ketus.

"Hazel Genevieve. Berapa usiamu sekarang?" , tanya Allison.

"Dua puluh tiga tahun.", jawab Hazel sembari menundukkan kepala.

"Ya. Exactly. Dan selama dua puluh tiga tahun hidupmu, tidak sekalipun aku melihatmu dekat atau berhubungan khusus dengan seorang pria. Apakah kau yakin kau ingin mempertahankan status single itu selamanya?", Allison kembali berceloteh mengenai topik ini untuk entah yang keberapa kalinya.

"Allison Grant, aku rasa selama aku tak merasa kesepian, maka tak ada salahnya untuk hidup sendiri. Lagipula, tidak satupun dari pria itu yang mau mendekatiku. Satu lagi, selama Kyle masih bersamaku, aku tak membutuhkan para pria.", Hazel kembali menghela nafas.

Ekspresi gemas lansung terlihat di wajah Allison. Jika saja mereka tidak sedang berada di tempat umum, ia pasti sudah memberikan satu pukulan di kepala sahabatnya itu.

"Sekarang coba jelaskan padaku, bagaimana mungkin mereka mau mendekatimu jika kau masih bertingkah laku layaknya seorang ahli gulat? Terlebih lagi raut wajahmu yang sama sekali tak ramah. Sepertinya kau perlu melakukan plastic surgery, Haz. Dan satu lagi, Kyle memang sudah tinggal bersamamu selama bertahun tahun. Tapi tetap saja, anjing itu bukan kekasihmu. Kau begitu terobsesi dengannya, kurasa Kyle pun sudah muak dan diam diam berharap agar kau segera mendapatkan seorang kekasih.", oceh Allison dengan nada gemas bercampur kesal.

Entah sudah berapa kali Allison meminta sahabatnya itu untuk sedikit menunjukkan tingkah laku dan sikap feminin. Mulai dari cara berpakaian, cara bicara, bahkan tingkah laku.

Hasilnya? Nol besar.

Di sisi lain meja, Hazel hanya bisa terduduk sambil melipat kedua tangannya. Tawa kecil menyelinap dari kedua bibir yang telah ia pulas dengan warna crimson.

"Aaaw, that's so mean. Biarlah Al, aku belum mempunyai rencana apapun soal ini. Dan katamu wajahku tak ramah? Apakah kau memiliki cermin atau semacamnya? Atau kau bisa melihat wajahmu sendiri di front camera, dan kusarankan agar kau mencoba untuk kembali mengingat ingat siapa karyawan baru yang berhasil membuat orang lain merasa takut di hari pertamanya bekerja karena mereka berpikir bahwa kau adalah seorang executive manager berhati keji."

Hazel menaikkan salah satu alisnya, menandakan bahwa ia telah memenangkan perdebatan ini. Suara erangan frustasi dilontarkan begitu saja oleh Allison yang nampak begitu kesal mendengar jawaban Hazel barusan.

"Enough. Aku tak mau menghancurkan hariku hamya karena seseorang yang keras kepala berusaha untuk memaksaku menerima kenyataan bahwa seekor anjing bisa menjadi pengganti seorang suami.", ungkap Allison sambil memasang ekspresi mengejek.

"Aaww, c'mon. Aku takkan membuat Kylele berubah status menjadi suamiku, Al.", sahut Hazel sambil pelan pelan berdiri, hendak meninggalkan meja itu.

Allison yang kini telah berdiri di samping meja hanya membalas pembelaan sahabatnya itu dengan nada mengejek.

"Remember, siapa yang menyimpan folder album foto anjingnya di laptop dengan nama My Handsome Boyfriend."
.
.
.
.
.

"Al!! Kau berjanji untuk tak membahas hal itu lagi !!"

T.B.C

Hello Again !Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang