Bilakah mampu kutanduskan pelupuk?
Mengeringkan telaga nestapa
Yang tlah menggenang dan kubendung di balik diam yang terkulum,
Jika cakra lidahmu yang menikam
Telah meninggalkan sayatan menganga
Yang tak akan teruruk
Badai pasir gurun sahara
Ataupun mengering di terik sang surya.Tapi kan kubiarkan itu
Menjadi ukiran pada wajah sukma
Lalu menjelma prasasti
Tentang sebuah prahara lembaran silam
Pada riwayat seorang pengembara
Yang pernah mencoba
Mengulum tawa di pembaringannya
Di antara nafas-nafas yang menghembuskan aroma kesakitan.Terkapar tanpa daya
Karena sebuah pengorbanan kecil
Yang hina pada sepasang mata
Demi bertahta di singgasanamu...
wahai merak kayangan...!!Namun apa kata hendak kujawabkan,
Ketika aku kian terkulai
Lalu roboh di pembaringan panjangSeketika kau hantarkan selarik ucap tuk sambangi kaparanku
Kau katakan bahwa aku tengah bersandiwara
Bahwa aku memainkan sebuah drama
Yang tak semestinya ada pada jiwa yang dewasa.
Serendah itukah aku di matamu, wahai merak kayangan?Dan kini kau terus agungkan dirimu
Seakan itu bukan satu dosa yang harus kusesalkan.
Hingga akupun acap berkelahi dengan akalku
Coba membenarkan bahwa kau mungkin tak bersungguh-sungguh melukaiku
Meski selalu kuturut semilir ke ufuk sunyi nan senyap,
Lalu meraungkan pekik tangis dari palung telaga nestapa.
Tanpa air mata dan tanpa suara
Agar tak ada sesiapa melihat, pun mendengar jeritan itu
Termasuk kau.Dan biarlah ini menjadi risalah tentang sebuah rahasia.
Antara aku sang pengembara
Dan luka
Yang tak berdarah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Luka Yang Tak Berdarah
PoetryTapi kan kubiarkan itu, menjadi ukiran pada wajah sukma~ Lalu menjelma prasasti tentang sebuah prahara lembaran silam~ Pada riwayat seorang pengembara. Yang pernah mencoba mengulum tawa di pembaringannya~Di antara nafas-nafas yang menghembuskan arom...