Deretan pasukan berpakaian putih-putih dengan peci hitam, dan derapan langkah kaki yang terdengar begitu tegas dan kompak memenuhi layar televisi berukuran 14 inchi yang sudah berumur hampir 20 tahun, lebih tua lima tahun dariku. Semut-semut yang sepertinya tidak akan hilang dari dalam layar tentunya tidak menghalangi pemandanganku untuk melihat tayangan yang saat ini terpampang di depanku, pemandangan akan betapa kerennya orang-orang itu. Mataku menatap bulat dengan penuh kekaguman saat aku melihat sosok itu, sosok seorang perempuan dengan wajah cantik layaknya kebanyakan wanita Jawa membawa nampan kosong yang nantinya akan berisikan sebuah bendera yang diberikan oleh presiden negara ini. Ya, kau tahu? Pemimpin tertinggi di negara ini, Negara Indonesia.
Lima tahun lalu, ketika semua teman-temanku sedang asyik megikuti lomba tahunan yang diselenggarakan pada hari kemerdekaan Negara Indonesia, aku dengan malangnya harus menerima nasibku untuk tetap berada di rumah, meratapi cacar yang menyerangku hampir dua minggu itu. Aku masih ingat, ketika itu aku dengan bosannya mencoba untuk menonton televisi, berharap kartun kesukaanku Chibi Maruko Chan akan tayang di hari libur ini, namun setelah berkali-kali aku mengganti saluran televisi, yang aku dapatkan hanya tayangan berupa orang-orang aneh berpakaian putih-putih yang berjalan seperti seorang pengibar bendera yang selalu aku lihat setiap upacara di hari senin sekolahku. Aku menghela nafas, benar-benar membuatku bosan. Dengan berat hati pun akhirnya aku mengikuti tayangan tersebut, walaupun kau tahu? Aku sungguh tidak mengerti mereka itu siapa sehingga mereka bisa tampil di semua saluran televisi. Namun, penilaianku seakan berubah, bahkan aku rasa bukan hanya penilaianku tentang orang-orang aneh tersebut, tetapi juga duniaku. Kedua mataku menatap lekat pada televisi usang milik keluargaku, menangkap sosok perempuan cantik sedang membawa sebuah nampan yang ditutupi oleh kain berwarna kuning kunyit dengan lambang pancasila di depannya. Cantik. Aku ingin menjadi seperti dia, perempuan pembawa nampan.
**
Suara lonceng yang seperti biasa dibunyikan oleh Pak Bibin menyaring mengarungi lorong-lorong sekolah yang tidak terlalu besar ini, memberikan tanda bahwa kegiatan belajar mengajar untuk hari ini sudah berakhir. Beratus-ratus pasang kaki melangkah dengan riangnya meninggalkan ruang kelas yang dindingnya sudah tidak lagi berwarna, memberikan kesan kelam pada ruangan tersebut. Aku merapihkan buku-buku ku yang bersampulkan kain koran dan memasukkannya ke dalam tas berwarna biru tua, sedangkan Ayu, Didin, dan Dadang jauh lebih cepat daripada diriku. Didin dan Dadang sudah berjalan menuju pintu, disusul oleh Ayu yang kini berlari meninggalkan ruang kelas dengan terburu-buru.
Oh ya, aku bahkan sampai lupa mengenalkan mereka kepada kalian. Gadis yang tadi berlari dengan terburu-buru, dia adalah Ayu, sahabatku sejak kami masih berada dalam rahim, tidak, tidak, aku hanya bercanda. Aku dan Ayu sudah berteman sejak kami kecil, selain karena kami berada di taman kanak-kanak yang sama, jarak rumahku dan Ayu juga tidaklah jauh, oleh karena itu aku selalu saja bermain kerumahnya setiap kali pulang sekolah. Sedangkan Didin dan Dadang, mereka adalah sahabatku sejak sekolah dasar. Tunggu, jika kalian berpikir bahwa mereka adalah kembar, kalian salah besar, sangat besar. Aku tidak bisa membayangkan jika mereka berdua merupakan sepasang kembaran, sungguh sangat bertolak belakang pribadi mereka. Didin dengan sifat pemalasnya, sedangkan Dadang dengan otaknya yang pintar diantara kami berempat, bahkan satu sekolah.
“Yu, rek kamana?*” teriakku yang kini berlari menyusul Ayu yang sudah berada lima meter di depanku. Sungguh aku tidak peduli dengan Didin yang tadi kutabrak karena mengejar Ayu dan menyebabkan rotinya terjatuh.
“Rek pulang, Sri. Ambu hari ini minta tolong aku buat bantu-bantu jualan sayur.” Jawab Ayu menengokkan kepalanya ke arahku tanpa berhenti berlari. Oh iya, aku lupa – lagi. Kami di cerita ini bukanlah sekumpulan anak-anak remaja yang berasal dari kalangan menengah ke atas, bahkan bisa dibilang kehidupan kami jauh dari kata menengah, terutama bagi Ayu, Didin, dan juga Dadang. Ayu merupakan anak dari seorang penjual sayur keliling, Didin merupakan anak dari seorang penambal ban, Dadang adalah anak dari seorang kuli bangunan, sedangkan aku adalah anak dari ulama setempat.
Aku menghentikan langkahku, membiarkan Ayu pergi dan menatap ke arah Didin dan Dadang yang masih berjarak satu meter di belakangku. Dari sorot mata Didin aku tahu akan ada perang dunia ketiga, tapi apa? Astaga, aku baru ingat kalau aku menjatuhkan roti – tepatnya menabrak Didin dan membuat rotinya terjatu – milik Didin yang sudah ia simpan sejak istirahat tadi. Aku mengangkat bahuku tegak – walaupun tepatnya saat ini terlihat tegang – dan mengambil langkah mundur dengan perlahan. Aku hendak membalikkan badanku dan berjalan mendahului mereka sebelum akhirnya aku merasakan sesuatu yang besar dan berat berada tepat di bahuku.
“Rek kamana?” Astaga, suara itu begitu berat menakutkan, bahkan terdengar seperti seorang pembunuh yang berhasil menangkap targetnya.
Aku terpaku di tempatku berdiri, dengan perasaan takut aku membalikkan tubuhku ke arah suara itu datang. Dengan keberanian penuh dan tampang yang tidak berdosa, aku memberikan Didin sebuah senyuman khas diriku yang aku tahu merupakan jurus terbaikku untuk melunakkan hati orang lain, “gak kemana-mana kok Aa Didin nu kasep**.” Jawabku yang kini terkekeh melihat raut wajah Didin.
Aku menatap kepada Dadang yang berdiri di samping Didin dengan tatapan ‘minta tolong’ berharap agar ada seorang pangeran berkuda putih yang menolongku agar terbebas dari genggaman raksasa jelek, tapi....harapanku seakan runtuh ketika aku tak mendapat balasan tatapan ‘minta tolong’ dari Dadang yang justru lebih memilih untuk menatap dengan tidak acuh ke arah depan. Cih, umpatku dalam hati.“Balikin roti gue, Sri. Gue laper, tadi istirahat gak bisa makan.” Perintah Didin tiba-tiba yang kembali membuat mentalku menciut.
“Ya atuh kenapa gak ngerjain pr biologi tadi malem? Jadi weh kitu.***” Balasku tak mau kalah dan dengan keberanian yang entah dari mana datang aku melepaskan tangan horor Didin dari bahuku.
“ari bapak teu nyeri awak oge gue ngerjain, Sri.****” Oke, sampai di sini aku cukup mengerti alasan Didin tidak mengerjakan pr biologi.
“ah embung ah, meuli weh dewek.*****” Ledekku dengan senang dan berjalan meninggalkan Didin dan Dadang yang kini sudah menyamakan langkahnya dengan langkahku.
“ih jangan gitu, gue laper, Sri. Belum makan dari tadi pagi, itu roti satu-satunya.” Ucap Didin yang kini terdengar marah karena suaranya meningkat satu oktaf.
Aku yang memang berniat untuk membuat Didin marah akhirnya mengalihkan obrolanku kepada Dadang yang aku tahu dengan jelas tidak akan berjalan mulus, “Dang, ada buku bacaan baru?”
“ada.” Jawabnya singkat, padat, dan jelas. Aku sangat tidak heran dengan sikapnya yang satu ini, untung saja aku tidak pernah menyesal berteman dengannya sejak dulu.
“iya? Judulnya apa? Mau pinjem atuh. Ntar aku ambil ke rumah kamu, ya.” Ucapku panjang lebar kepada Dadang dan menghiraukan Didin yang sedari tadi mendumel bahkan sesekali merengek kepadaku soal rotinya itu. Aku tahu aku jahat, tapi terkadang aku suka ketika melihat Didin seperti itu, dan aku rasa Dadang juga menyukainya. Tawaku dan Dadang pun lepas, diikuti oleh hujanan umpatan dari Didin yang menemani perjalanan pulang kami siang ini.
**
*) = Mau kemana
**) = Yang ganteng
***) = Aja begitu
****) = Kalau bapak enggak sakit badan juga
*****) = Ah enggak mau ah beli aja sendiri**
Haiiiiii, akhirnya bagian satu update jugaaa!!:D selamat membaca yaa, jangan lupa vote dan juga komen, karna saran dari kalian sangat berarti buat aku. Thx - Pena
KAMU SEDANG MEMBACA
SENJA DI UFUK BARAT
Teen FictionAyu, Didin, Dadang, dan aku tersenyum memandangi langit sore yang berwarna kemerahan, memberikan tanda bahwa matahari akan segera menghilang di balik gelapnya langit malam. Ini adalah kisah kami. Empat anak kampung Bojong yang berusaha mengejar mimp...