Alunan-alunan kawih sunda melantun dengan merdunya dari radio usang milik Ayu. Sambil menikamati sepotong pisang goreng hangat dan hujan yang mengguyur wilayah kami sejak siang tadi, aku, Ayu, Didin, dan Dadang tak henti-hentinya tertawa terbahak-bahak karena gurauan yang Didin berikan kepada kami, walaupun kau tahu? Dadang adalah sasaran terbaik Didin untuk dijadikan bahan gurauan. Mulai dari kejadian enam tahun yang lalu saat Dadang mengalami insiden buang air besar di kelas karena takut kepada guru matematika, terjatuh dari sepeda dan terjebur ke dalam empang, sampai-sampai pada saat Dadang mengalami demam karena disapa oleh gadis kesukaannya sewaktu sekolah menengah pertama. Terkadang aku bersyukur karena aku tidak pernah sekali pun dijadikan bahan gurauan oleh Didin, dan aku harap aku tidak pernah.
"Oh iya, Sri, kamu teh kumaha soal ekskul paskibra eta?*" tawaku sesaat berhenti ketika mendengar pertanyaan itu, walau harus ku akui terkadang pendengaranku sangat sensitif jika mendengar kata paskibra.
"Oh iya, gimana tuh, Sri? Denger-dengar mah katanya nanti bakalan ngibarin di kecamatan nya?" timpal Didin yang juga mulai penasaran denganku.
"gak gimana-gimana." Jawabku singkat yang kini mengambil sepotong pisang goreng entah untuk yang keberapa kalinya.
"hih, masa iya gak gimana-gimana, aneh da kamu mah." Ucap Dadang yang kini juga mulai ikut-ikutan dengan rasa penasaran Ayu dan Didin, "kalau sekolah kita beneran diutus buat tampil di kantor kecamatan nanti, keren tuh."
"iya Sri, aku setuju sama Dadang. Kalau saran aku sih kamu terima aja tawaran kakak kelas tadi. Cuma angkatan ini loh yang dapet undangan dari kecamatan." Tambah Ayu yang pada akhir kalimatnya diberikan sedikit penekanan.
"aku juga maunya sih gitu, tapi ya kalian kan tahu aku gimana. Mun abi teu ngijinin ya teu tiasa** ikut, Abi juga sebelumnya udah bilang kalau aku enggak boleh ikutan kayak begitu." Ucapku dengan sedikit berat hati, mengingat larangan yang telah Abi ucapkan saat tahun ajaran baru beberapa minggu yang lalu.
"yahelah, Sri. Kita ini sudah besar, saatnya kita merajut sendiri jati diri kita, merajut mimpi-mimpi kita, dan menentukan mau jadi apa kita nantinya." Ucap Didin yang sebenarnya membuatku kaget dan hampir tersedak oleh pisang goreng. Bayangkan saja, bagaimana aku tidak kaget jika saat Didin mengucapkan kata-kata tadi sambil berdiri dan bergaya layaknya seseorang yang sedang membaca sebuah puisi atau mementaskan drama? Pemandangan yang aneh, pikirku.
"kamu nih, sok ngomong-ngomong mimpi, kayak punya mimpi aja, Din." ledek Ayu yang seketika membuat kami tertawa terkecuali Didin. Namun dengan gerakan yang super cepat, Didin sudah kembali pada tempat duduknya dan berkata dengan nada yang serius dan berat, "aku ingin menjadi seorang musisi terkenal seperti Roma Irama." Ucap Didin tegas. Glek. Baru kali ini, aku melihat sorot mata Didin yang menunjukkan keyakinan dan keambiusan. Kami terdiam, tak ada satu pun dari kami yang membuka suara, begitu juga dengan Didin.
"aku ingin menjadi seorang satrawan layaknya Chairil Anwar." Dadang, adalah satu-satunya yang angkat bicara setelah dua menit kebisuan kami, yang kemudian disusul oleh Ayu dengan tatapan keoptimistisannya yang juga terlihat di sorot mata Dadang, "aku ingin menjadi seorang pelukis hebat seperti Raden Saleh."
Ayu, Didin, dan Dadang menatapku. Menunggu diriku untuk ikut mengutarakan mimpi terbesarku. Aku menelan ludahku, terpaku karena tatapan sahabat-sahabatku yang seolah-olah mengharapkanku – seolah-olah(?), "Aku....ingin menjadi seorang baki, perempuan cantik yang membawa bendera merah putih yang akan dikibarkan di Istana Merdeka."
**
Aku berjalan menelusuri lorong-lorong sekolah yang saling berhubungan. Sesekali mataku mencari-cari Teh Siti, senior ekstrakulikuler paskibra sekolahku yang kemarin datang ke kelasku dan memilihku untuk menjadi salah satu anggotanya. Menurutku, walaupun sekolah ini tidak terlalu luas, tapi untuk mencari sosok Teh Siti yang tidak terlalu ku ingat betul wajahnya sangatlah tidak mudah. Beruntungnya aku mendapatkan satu petunjuk tempat dimana dia sering berada ketika jam istirahat.
"punten, Teh Siti.***" Aku sedikit membungkukkan badanku, tersenyum dengan penuh rasa kikuk.
Teh Siti mendongkakkan wajahnya, melihatku dengan tatapan bertanya-tanya dan tersenyum, "iya, siapa ya?"
"hm, aku Sri, anak 10 IPA 1 yang kemarin teteh pilih untuk jadi anggota paskibra." Jawabku yang panjang dan jelas, menghindari terlalu banyak berbasa-basi. Dari sorot matanya aku dapat melihat bahwa sepertinya Teh Siti sedang mengingat-ingat, cukup lama tapi ya...."Ah iya teteh inget, ada apa?"
"gini teh, setelah aku pertimbangin matang-matang, aku mutusin buat gabung sama ekskul paskibra. Boleh kan Teh?" tanyaku sedikit ragu dan juga yakin.
"ya boleh atuh, Sri. Yaudah nanti hari sabtu dateng aja ya ke ruang kelas 11 IPA 2, kita bakalan ngadain pertemuan sama anggota baru." Jawab Teh Siti dengan senyum yang menurutku manis.
"iya, Teh? Okedeh. Nuhun nya, Teh." Ucapku dengan nada yang terdengar gembira dan berlalu meninggalkan Teh Siti yang kembali asyik dengan bacaannya, Hujan Bulan Juni karya Sapardi Djoko Damono.
* = Bagaimana
** = Kalau Ayah enggak ngizinin
*** = Permisi
**
Hai, kembali lagi dengan pena di bagian dua. Enggak terlalu panjang tapi semoga aja kalian suka ya sama cerita ini. Part ini aku dedikasikan buat seseorang yang kutahu suka dengan buku Hujan Bulan Juni hihihi. Kritik dan sarannya ditunggu, jangan lupa vote juga ya, terima kasih.
KAMU SEDANG MEMBACA
SENJA DI UFUK BARAT
Ficção AdolescenteAyu, Didin, Dadang, dan aku tersenyum memandangi langit sore yang berwarna kemerahan, memberikan tanda bahwa matahari akan segera menghilang di balik gelapnya langit malam. Ini adalah kisah kami. Empat anak kampung Bojong yang berusaha mengejar mimp...