“Riani!” aku tersentak mendengar seorang laki-laki memanggil namaku dengan suara tegasnya, “sudah berapa kali akang bilang ke kamu, konsentrasi, konsentrasi!” aku terdiam mendengar omelan yang keluar dari mulut laki-laki tersebut, “Riani! Dengar apa kata akang tidak?!” teriaknya kini semakin kencang, memenuhi seisi lapangan yang sudah sepi karena kegiatan belajar mengajar sudah berakhir sejak tiga jam yang lalu.
“Siap! Mengerti, Kang!” jawabku dengan tegas.
Hari ke-16 latihan, masih sama seperti hari-hari lainnya, dimana aku selalu saja membuat kesalahan yang sama, juga membuat kekesalan yang sama kepada orang yang sama, Kang Uji. Sebenarnya, harus ku akui bahwa aku memang agak lemot soal baris-berbaris, tetapi menurut sepengetahuanku, yang membuat kesalahan di dalam barisan bukan hanya aku saja, melainkan juga teman-temanku yang lain, tapi mengapa hanya aku yang selalu saja diomeli oleh Kang Uji? Menyebalkan.
Aku melirik pada jam tangan yang melingkar di pergelangan tangan kiriku, jam 16.45. Latihan hari ini berakhir lebih cepat dari hari-hari sebelumnya, walaupun hanya 15 menit, setidaknya aku bersyukur karena aku masih bisa memanfaatkan 15 menitku untuk sekedar melihat danau buatan yang terletak tidak jauh dari sekolah.
“Sri, aku pulang duluan, Ya.” Pamit Fitri kepadaku, meninggalkanku sendiri – karena anggota yang lain sudah pulang – yang saat ini masih merapikan barang-barang bawaanku. Sungguh aku mengutuki diriku yang lamban ini.
Aku hendak membalikkan badanku dan meninggalkan ruang kelas 11 IPA 2, namun langkahku terhenti ketika aku melihat Kang Uji berjalan memasuki ruang kelas sambil melepaskan topi hitam dengan lambang paskibra sekolah di bagian depannya. Aku terdiam, takut sekaligus malu. Dengan gerakan yang – menurutku – cepat, aku berjalan dengan menundukkan kepala saat melewati seniorku itu.
“Riani.” Panggilnya dengan suara berat dan misterius. Oh iya aku bahkan lupa menjelaskan soal ini. Riani, adalah nama paskibraku. Karena ya.. kau tahu? Dalam paskibra tidak diperbolehkan ada dua nama yang sama, sedangkan namaku Sri Fitriani. Nama Sri, sudah memiliki kepemilikan atas seniorku angkatan 19, sedangkan Fitri, sudah dipatenkan kepada anggota seangkatanku, itu loh yang tadi pamit kepadaku.
“Iya, Kang.” Jawabku singkat dan membalikkan badanku ke arah Kang Uji dengan sekuat tenaga. Rasanya aku bisa mendengar getaran ketakutan di dalam suaraku sendiri.
Aku tahu dengan jelas bahwa saat ini Kang Uji sedang menatapku tajam-tajam, namun dengan ketakutanku yang sebesar ini, aku sama sekali tidak mampu untuk balik menatapnya.
“Hati-hati di jalan.” Aku terkejut mendegarnya. Hati-hati di jalan adalah empat kata yang keluar dari mulut seniorku beberapa detik yang lalu. Aku bergeming, tidak menjawab juga tidak menatap wajahnya, lalu dengan sedikit keberanian aku menggumam dan berlalu meninggalkannya.
**
Pagi ini, seperti hari-hari sebelumnya, kelas 10 IPA 1 selalu ramai dengan tawa canda dari penghuninya. Tak pernah sekali pun aku menemukan seorang anak perempuan yang berdiam diri di sudut belakang kelas karena tak memiliki teman seperti yang biasa kulihat di dalam tayangan sinetron indonesia. Di kelas ini, kami semua bahagia, kami semua tertawa, juga bergurau canda-ria.
“Didin kemana? Kok udah jam segini belum dateng?” tanyaku kepada Dadang yang sedang asyik dengan pinjaman buku barunya.
“Oh iya, ya. Tumben banget anak itu belum dateng.” Timpal Ayu yang kini juga membalikkan badannya menghadap meja di belakangku dan Ayu.
“Nanti juga dateng.” Lagi; singkat, padat, dan jelas.
Aku memajukan bibirku, kesal dengan respon Dadang yang cuek. Baru saja aku dan Ayu ingin membalikkan tubuh kami ke arah depan, tiba-tiba satu kelas dihebohkan oleh teriakkan seorang laki-laki, yang aku tahu betul siapa dia.
KAMU SEDANG MEMBACA
SENJA DI UFUK BARAT
Novela JuvenilAyu, Didin, Dadang, dan aku tersenyum memandangi langit sore yang berwarna kemerahan, memberikan tanda bahwa matahari akan segera menghilang di balik gelapnya langit malam. Ini adalah kisah kami. Empat anak kampung Bojong yang berusaha mengejar mimp...