"Din, Dini."
Gadis belia berkacamata itu menoleh ke belakang. Rambutnya yang pendek sebahu agak tersibak akibat reaksinya atas panggilan seorang teman. "Apaan sih?" jawab gadis dengan nama 'Dini Rahmania" yang tertera di seragamnya itu.
"Tuh, dicariin cowok kelas sebelah. Ada pesan dari Bu Hani katanya."
"Bu Hani nitipin tugas lagi?" kilah Dini, "Kamu aja yang ambil deh."
"Tapi ini Alvan lho, Alvan yang itu."
Luar biasa, mendengar nama 'Alvan yang itu' sontak membuat Dini langsung bangkit berdiri dan memasang senyum terbaik miliknya saat melenggang ke pintu kelas.
"A-Alvan, tumben mampir ke kelas." wajarlah ketika Dini terbata-bata. Kedatangan si 'Alvan' yang tiba-tiba jadi membuatnya tak sempat menyiapkan segelintir kalimat akrab nan ampuh sebagai amunisi.
"Din, Bu Hani nitipin tugas. Temen-temenmu bikin esai berbahasa inggris dari buku-buku populer, ya." Panggilan akrab dari seorang Alvanur Rinanta, cowok populer di sekolah itu sudah biasa di telinga teman-teman sekelasnya. Apalagi karena cowok itu mengenal Dini sebagai anggota komite humas OSIS.
"I-i-iya. Nanti kusampaikan, deh. Makasih udah repot-repot y-ya." Dini masih saja tergagap tutur katanya.
"Santai aja lagi, Din. Dah." Dijawab seperlunya, dan Alvan pun berlalu begitu saja meninggalkan Dini yang masih menatap punggung Alvan tanpa sepatah kata.
Dini masih tersipu-sipu ketika bahunya ditepuk dari belakang. "Hayo, batal pedekate lagi?" goda siswi yang mengagetkannya itu.
"Brisik, Cha."
"Canggung dipiara." desis Annisa Noverina, yang tak lama mengusap ubun-ubun Dini.
"Ugh." Dini tak mampu membalas tonjokan batin yang satu itu. Tak terhitung sudah berapa kali Dini hanya sanggup manut-manut saja begitu bertatap muka dengan Alvanur Rinanta. Tak berdaya rasanya ketika mata siswi teladan satu kelas itu bertemu dengan mata sang siswa teladan satu sekolah.
"Udah deh, jangan baper dulu. Pengumuman di depan, sana!" Annisa melangkah lebih dulu ke papan tulis untuk mengusir anak-anak cowok yang usil menggambar berbagai macam perempuan cyborg dan menghapusnya bersih. Berbagai macam 'yaah' dan 'huu' terdengar dari mereka yang meninggalkan karya semunya.
Dini merasakan kepalanya seolah-olah berdenyut kencang. Kegagalan tetaplah terasa menohok meski sudah dialaminya berkali-kali. Ah sudahlah, mungkin bisa dilampiaskan lewat pengumuman.
***
"Din, Dini."
Dini Rahmania kini menyeruput kuah mi ayam dari sendoknya. Annisa yang duduk di seberangnya menyunggingkan senyuman penuh arti, "Apa?" tanya Dini sinis.
"Kapan pedekate?"
"Nggak segampang itu, Cha." Mi yang sedari tadi terjalin oleh garpu Dini kini sudah masuk ke mulutnya. Saus sambal yang sudah bercampur dengan kadar yang pas semakin menggugah rasanya semenjak dikunyah hingga ditelan. Dengan jeda yang pendek itu Dini pun melanjutkan kalimatnya, "Pertama, masih ada gerombolan hyena disitu tuh." Tak jauh dari mereka bermacam-macam kata Alvan terdengar dari sekelompok perempuan yang duduk bersama di meja makan.
"Ah, yang gitu biarin aja. Mereka bisanya ngomong doang." Tepis Annisa.
"Tapi tahu kan si Cindy?"
"Emang ada apaan dengan Cindy?"
"Nggak ada sih."
"Najis." Dini terkekeh melihat respon temannya yang mendadak serius barusan. Alhasil tisu yang dilempar ke wajahnya nyaris jatuh ke mangkok mi ayam itu kalau saja tak segera ditangkap.
Dini sekali lagi menyendok potongan kecil semur ayam di mangkoknya dan lanjut menjelaskan, "Terus, aku nggak yakin sih kalo Alvan nggak punya pacar."
"Maksudmu dia homo?"
"Nggak gitu juga kali, Cha." Kilah Dini, "Kali aja kan, kalo benernya dia udah punya cewe di luar sekolah?"
"Bisa aja sih, tapi itu kan baru asumsi. Masa kalah sama tembok bikinan sendiri?" balas Annisa.
Sekali lagi Dini berpaling dari temannya dan menoleh ke empat orang yang hanya menyusur melewati kantin. Satu Alvan dan tiga orang non-Alvan. Tak terlihat tanda-tanda hati yang kasmaran yang lazim terdapat pada gadis-gadis sebaya di wajahnya, tapi tentu saja Annisa tahu kalau Dini hanya berpaling kalau ada hal yang benar-benar menarik di matanya. Alvan misalnya.
"Tuh, meleng lagi." selembar tisu pun mencium Dini bersamaan dengan hardikan Annisa.
***
"Punya sopir enak ya..."
Dini Rahmania yang menunggu di halte hanya bisa memandangi sebuah mobil sedan berisi Alvanur Rinanta berlalu.
Jalurnya beda daripada biasanya. Tumben kali ini mobil itu berbelok ke kiri di persimpangan halte alih-alih lurus ke depan. Pindah rumah? Batin Dini. Annisa sudah pulang duluan lewat jalur bus yang berbeda, dan kini tinggal Dini bersama siswa-siswi tak dikenal beserta sekelompok perempuan yang mengerubungi seseorang. Mendengar mereka memanggil-manggil "Kak Meka! Kak Meka!" kontan membuat Dini menebak lelaki rambut pendek berkacamata bingkai tebal itu adalah Kak Meka yang mereka maksud.
Lagi Dini membatin, "Ya nggak mungkin juga langsung nembak 'Aku suka kamu waktu ketemuan di kantor OSIS.' gitu kali sih."
Sudah jam setengah empat. Pasti gara-gara motor dan mobil yang naik ke jalur bus lagi.
Turun tiga halte kemudian, dan Dini kini berjalan kaki menuju kosnya. Tak lupa gadis itu mampir sejenak ke mini market di dekat halte itu untuk membeli sebungkus mi goreng instan. Tumben lagi, mobil yang mirip baru saja berpapasan melewatinya meski tak ada Alvan di dalamnya.
Sampai di dekat sebuah bangunan kos dua tingkat yang bukan merupakan tempat tinggalnya. Punya Ibu salah seorang siswi sekolahnya, Arin Liarizka Yang Teramat Bersih dari 10-A julukannya. Anak seksi kebersihan kalau ada kegiatan sekolah. Tak seperti biasanya, Arin tak terlihat sedang menyapu di dekat rumahnya yang jelas sekali di seberang rumah kos tersebut. Barangkali sedang ganti baju.
Dini melirik jam tangannya dan masih ada lima belas menit sebelum pukul lima sore. Kicauan burung dan langit cokelat muda yang luas itu terasa jauh di matanya. Langkah kaki gadis itu berhenti di sebuah rumah satu tingkat dengan tulisan 'kos wanita' di dinding teras. Dilihatnya lagi barisan sepatu di samping keset kaki sesaat sebelum masuk melewati seorang wanita paruh baya yang pamit pergi dan mengeluarkan kunci pintu kamar kosnya.
Belum ada penghuni baru semenjak Dini datang dan penghuni yang satunya lagi pulang kampung. "Mbak?" tampaknya si-"Mbak" pemilik kos itu pun sudah pulang ke rumahnya, meninggalkan Dini sendirian di tempat ini. Merdeka.
***
Seraya membuka pintu salah satu kamar, Dini Rahmania melempar tasnya ke atas tempat tidur dan duduk berselonjor di kursi dekat meja belajarnya.
"Duh. Tiga bulan dan belum ada perkembangan..." Dini memandangi layar laptopnya yang belum menyala. Satu lagi hari dimana Dini merenungkan akibat sikap pasifnya. "Apa Alvan lagi suka sama seseorang ya?" lamunnya.
"Masa kalah sama tembok bikinan sendiri?" Hardikan Annisa masih terngiang-ngiang di kepala Dini. Lebih baik dibawa tidur.
KAMU SEDANG MEMBACA
From The Sidelines (A Me VS Big Slacker Baby Fan Fiction)
Teen FictionDini Rahmania bukanlah siapa-siapa. Dia hanya seorang siswi yang kebetulan saja jatuh cinta dengan seorang bintang sekolah. Sayang, Dini bukanlah tokoh utamanya. Dan tak ada yang mampu mengubah itu. (Berdasarkan komik Me VS Big Slacker Baby dari Re:...