Pagi Dini dihabiskan dengan sendirian. Sendiri. Benar juga, pikir Dini. Mulai hari ini dan beberapa hari ke depan, ia akan tinggal sendirian di kos-kosan ini. Beruntung kos ini dulunya merupakan kos eksekutif, sehingga Dini bisa menikmati derasnya pancuran air hangat di kamar mandi. Tentunya dengan uang jajan bulanan yang minim sebagai korbannya.
"Alvan... kapan ya bisa dekat sama dia?" gumam Dini hanyut dimakan desir air yang menetes menuruni tubuhnya. Sejenak gadis itu sadar dan cekikikan, sinetron sekali kalimatnya barusan.
Mi goreng instan kemarin akhirnya berubah menjadi sisa-sisa kecap di piring di atas meja. Berulang kali rasa bumbu yang membuatnya ketagihan itu menggoda si gadis untuk menjilati piring makannya, namun Dini setidaknya masih beradab untuk langsung mencuci piring setelah makan.
Putih abu-abu sudah dikenakan Dini saat ia mengunci pintu kos. Sebelum melangkah ia sempat merapikan letak kacamata alternatifnya yang tak berbingkai. Sepintas bisa saja dikira tipikal kutu buku, tapi jarang laptop yang sering dibiarkan terbuka di atas meja kamarnya itu dimasukkan ke dalam tas.
Earphone berulang kali meneriakkan 'Fuck you I won't do what you're telling me.' di kedua daun telinganya. Bukan untuk kontemplasi ababil, namun sekadar pengisi telinga akibat jalan sendirian. Lehernya pegal juga akibat earphone itu, yang tadi malam dikenakannya sampai tertidur.
"-udah bangun belum?"
Ah, kosan Arin lagi, batinnya. Sayup-sayup seruan "Apa ini?!" dari lantai dua kos itu terdengar menembus musik keras di telinga Dini. "Ada orang baru, toh." asumsi Dini. Kebiasaan Arin di sekolah juga berlaku di lingkungan sekitar. Meski selalu sebatas tegur sapa, pemandangan seperti ini memang sudah lazim di mata tetangga-tetangganya.
Sendiri. Halte bus yang kosong adalah surga pribadi Dini. Dalam situasi begini Dini mematikan pemutar musik di ponselnya dan menikmati suasana sepi itu seperti biasa,
"Apa-apaan sih, Alvan itu!?"
...tidak kali ini, dengan seruan yang membuat Dini refleks memandang ke sumber suara.
Arin Liarizka. "Ah! Eh!? Haahh!?" diluar halte, perempuan itu memaki tak karuan ke ponselnya. Arin? Yang terkenal bersih nomor satu, cowok ke sekian? Dini mengernyitkan alisnya. Terlebih lagi, Dini yakin benar yang dipanggil barusan adalah Alvan, si Alvanur Rinanta.
Dini memanggil seketika Arin masuk ke halte, "Anu..."
"Eh? Ah...aduh, maaf. Kedengaran ya, tadi?" tanya Arin terbata-bata.
"Enggak juga, sih. Tapi.."
"Wah, busnya udah dateng! Yuk!"
Entah mengapa, Dini merasa Arin sengaja mengelak darinya. Faktor ga gitu kenal kali ya, pikir Dini.
***
"Hih! Apaan sih, Nis?"
"Din, jangan ngelamun dong." sejenak Annisa mengagetkan Dini yang sedang bertopang dagu di meja kelasnya, "Mikirin apaan?"
"Bakal sendirian di kosan. Cuman beberapa hari sih." jawab Dini. Pikirannya masih mengembara entah kemana. Sikap seperti itu wajar membuat Annisa masih gemas dengan teman berkacamatanya itu.
Sementara itu, Dini menatap ke sesuatu di luar kelas yang menarik perhatiannya. Lagi-lagi Arin. Di koridor, Arin terlihat memandangi sesuatu... lebih tepatnya seseorang.
"Oh, kepoin Arin ya?" goda Annisa, yang segera memotong pandangannya dalam sekejap, "Kamu lesbian ya, Din?"
"Ya enggak lah, bego." desis Dini kesal.
"Yah, tapi wajar sih..." Annisa ikut melirik ke arah Arin yang masih di sana, melamun entah apa, "Akhir-akhir ini Arin memang lagi sering kelihatan pengen nyamperin Alvan. Ga tahu maunya apa itu anak."
"Lho, kamu kenal Arin Liarizka?"
"Ya dari pertama ujian masuk sih. Awalnya kebetulan satu ruangan waktu seleksi. " balas Annisa, "...tapi yang kamu butuh justru Alvan-nya, kan?" Dini gampang sekali ditebak, begitu maksud dari lanjutan kalimat Annisa. Tak heran kalau Dini tak ingin membalas sindiran itu.
"Hhh. Terserah." Dini melengos.
"Tadi Alvan barusan nolak cewek lagi. Kamu kapan?" Entah Ia harus senang atau muram dengan berita Annisa, karena Dini belum sekalipun mencoba untuk semakin dekat dengan Alvan terlepas dari kegagalan gadis-gadis lainnya.
Antara 'Kapan masuk daftar ditolak Alvan?' atau 'Kapan mau dekat?', Dini enggan berpikir lebih jauh. Sulit menjelaskan rasa yang meluap-luap dalam sanubarinya ini acapkali memikirkan Alvan. Tak semata bahagia, namun juga gundah. Entah apa yang membuatnya gundah, namun bayangan akan dirinya berjalan pulang bersama Alvan saja sudah menjadi bagian dari sakit kepala yang selalu menyerang dengan tiba-tiba.
"Bentar deh, Nis. Aku nggak mau ngomongin itu dulu." sambil memijat dahinya sendiri dengan tangan kirinya, Dini mengembalikan ponselnya yang nyaris tersenggol jatuh kembali ke tengah meja dengan tangan kanannya. Arin sudah hilang dari pandangannya, mungkin gara-gara bel masuk.
***
Bel pulang. Proses kegiatan belajar mengajar jarang menarik untuk diceritakan, bukan? Dini mungkin tenggelam di antara siswa-siswi yang tak sabar ingin keluyuran di mall maupun mengurusi mainannya di rumah, tapi langkah kakinya tak seringan mereka.
Resah menguasai pikirannya ketika tepat di depannya Arin Liarizka berjalan ke arah yang sama. Dini masih tak lupa dengan reaksi berlebihan Arin saat mengutarakan nama Alvan tadi pagi. Memang, Arin selalu kelewatan reaksinya. Tapi semata hanya karena sampah berserakan.
Tak lama lamunannya buyar ketika Ia melihat Arin tiba-tiba ditarik dari sebuah pintu. Perpustakaan. "Hah!?" begitu seruan yang terlontar dari Dini, yang langsung melesat ke sana.
"Ma-mau apa kamu!?" demikian seru Arin kepada lelaki yang menangkapnya.
Alvan.
Sekejap Dini langsung berbalik. Bermacam-macam pertanyaan di benaknya bisa disimpulkan dengan 'kenapa ada Alvan?'.
"Makanya, barang penting seperti itu jangan ditaruh sembara..."
Dini kembali memastikan dengan mengintip ke ruangan itu dan ya, rambut ikal dan wajah memikat itu bukan milik siapapun selain Alvanur Rinanta.
Alvan, yang wajahnya kini dekat sekali dengan sosok Arin Liarizka di depannya.
Oh.
Perlahan pintu ruangan itu tertutup tepat sekali dengan Arin yang bergerak cepat mundur ke belakang. Semoga tak ketahuan, batin Dini. Entah apa yang sedang mereka berdua lakukan di sana, Dini tak mau tahu.
Dini sama sekali tak mau tahu.
Sampai lagi di halte bus. Tampaknya menguping barusan membuat waktu berlalu cepat tanpa dirasa oleh Dini. Kini Dini hanya menunggu sendiri, bukan, berdua bersama pemuda berkacamata kemarin.
Tiba-tiba pemuda disampingnya memecah keheningan,
"Udah jam berapa ya, dek? Sori, lagi apes ini."
"Jam lima."
"O-oh, makasih ya."
"Nggak apa-apa kok, ahaha."
Dini tak sadar senyum di wajahnya membuat lelaki yang kemarin dipanggil 'Kak Meka' itu merasa agak tidak enak. Seakan-akan, pemuda itu yang memaksanya untuk tersenyum.
Tanpa disadarinya, senyum muram itu terus menghiasi wajahnya hingga bus pun datang.
KAMU SEDANG MEMBACA
From The Sidelines (A Me VS Big Slacker Baby Fan Fiction)
Teen FictionDini Rahmania bukanlah siapa-siapa. Dia hanya seorang siswi yang kebetulan saja jatuh cinta dengan seorang bintang sekolah. Sayang, Dini bukanlah tokoh utamanya. Dan tak ada yang mampu mengubah itu. (Berdasarkan komik Me VS Big Slacker Baby dari Re:...