Part 3

25 1 0
                                    

“Iya kan??” tanyanya sambil tersenyum menyindirku.
“Ya...tapi Dirga memang selalu begitu, tak pernah menyerah. Makanya aku yang harus mengalah untuk berkata ‘Ya, Ya, dan Ya’..” ucapku sambil tertawa kecil.
“Hahaha..ya bener banget, Dirga itu memang SDM yang luar biasa bagi organisasi kami,” ucap Reina sambil sesekali kami melihat ke arah Dirga.
“Ehmm tapi kenapa kamu gak tertarik ikut Seminar itu? Pembicaranya Mentri loh, Mentri yang diisukan akan mencalonkan diri sebagai Presiden di bulan April besok,” lanjutnya dan kini aku mulai merasa dia pun sedang bertugas layaknya Dirga.
“Uhhh,, hawa-hawanya kamu udah mulai kaya Dirga ni..” kataku sambil tersenyum simpul.
“Alasannya simple, karena aku gak suka sama hal yang menyangkut politik, terkecuali bila itu menguntungkan untukku. Politik itu hanya alat, alat untuk menguntungkan segilintir orang dengan menghalalkan segala cara termasuk membunuh orang lain. Dan aku gak akan pernah mau jadi bagian dari mereka,” lanjutku.
“Azzam, dari perkataanmu tadi terlihat jelas kamu adalah orang yang baik, kamu ingin tercipta keadilan di Negara ini, hanya saja responmu atas kebenciammu terhadap ketidakadilan ini merubahmu menjadi apatis. Padahal bisa saja kamu menjadi bagian dari agen perubahan Negeri ini. Hanya kita loh, generasi muda yang dimiliki ibu pertiwi yang dia harapkan bisa membawa Indonesia menjadi lebih baik,”ucap Reina.
“Hhh..”ucapku menahan tawa.
“Ya, memang begitu pada umumnya seorang anak muda berpikir karena mereka masih memiliki Idealis. Tapi lihat saja 5 sampai 10 tahun ke depan idealis mereka akan runtuh seiring tingginya jabatan yang mereka miliki. Kamu tahu pejabat-pejabat tinggi yang sekarang ini terkena kasus korupsi, mereka mudanya pun sangat idealis tapi sekarang........,” ucapku membuat Reina menatap tajam diriku.
“Sorry Rein, aku bukan maksud nge-judge kamu seperti itu atau apalah....Aku cuma mau jelasin alasanku gak mau jadi kaya kalian. Eee... maksudnya kaya kalian yang sibuk ngurus ini itu,” lanjutku setelah sadar kata-kataku sebelumnya mungkin sudah terlalu kasar.
“Gak apa-apa kok Zam. Itu prinsip kamu, jalan hidup yang kamu pilih. Hanya saja hati kecilku selalu berkata kamu itu orang yang baik. Aku tahu dan untuk sekarang ini aku akan menghormati keinginanmu untuk tidak terlibat dalam urusan politik. Tapi aku yakin kamu peduli kan sama aksi sosial?” ucap Reina membuatku menjadi penasaran tentang apa sebenarnya yang ingin dia katakan.
“Ada seorang ibu muda, dia baru saja melahirkan seorang bayi laki-laki yang sangat tampan, mungkin setampan ayahnya. Hanya saja ayahnya tak sempat melihat ketampanan putranya, dia meninggal dalam kecelakaan pesawat. Dan kini pihak orang tua dari suaminya menginginkan bayi itu berada di asuhan mereka karena sedari awal mereka tak pernah setuju dengan pernikahan putranya, biasa lah masalah kesederajatan sosial-ekonomi. Sangat kasiankan bila seorang ibu harus dipisahkan dari anak yang baru saja ia lahirkan??” tuturnya.
“Dan aku membutuhkanmu untuk memenangkan persidangannya, aku butuh kemampuanmu dalam berdebat,” lanjutnya menjawab pertanyaan yang sebelumnya tersirat di benakku.
“Azzam ayo masuk, pak Bambang udah datang tuh,”teriak Dirga seraya menarik lenganku.
“Kamu kuliah dulu aja, nanti aku hubungi kamu lagi,”ucap Reina yang kemudian tersenyum manis. Sangat Manis.
Senyum itu yang terakhir aku lihat sebelum aku meninggalkannya dan senyum itu  yang mengakhiri percakapan panas kita. Aku sepertinya benar-benar telah jatuh hati padanya.

Apa Jadinya Indonesia Dengan Generasi Muda Apatis?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang