Part 4

22 0 0
                                    

PART 4
Senyuman itu sungguh membayangi pikiranku, ya aku akui aku memang kagum sejak semester 1 padanya, tapi sebelumnya tak pernah seperti ini. Aku tak pernah melihat dirinya mondar-mandir dalam pikiranku seperti ini. Aku tak pernah menemukan wajahnya dalam setiap pandanganku seperti ini. Dan kenapa setiap mengingat senyum manis itu rongga jiwaku menjadi sangat hangat? rasanya sangat nyaman. Tapi yang jadi masalah kenapa aku selalu tersenyum-senyum sendiri??? Itu sangat memalukan!!!
“Hahaha...masa si mas Azzam gitu mas? Mas Azzam ngelamun di kelas?? Udah gitu senyum-senyum sendiri?? Sampai dibentak bapak Guru??”tanya Reza seolah ia tak percaya atau justru ingin mempertegas betapa memalukan kakaknya ini.
“Dosen Reza, bukan bapak Guru,” terang Frian, teman sekelasku yang kini berada di rumahku untuk menceritakan kisah memalukanku di kampus kemarin pada Reza, adikku.
“Kalo dari gejalanya si ya Za, satu ngalamun, dua senyum-senyum sendiri, sudah bisa di diagnosa kalo kakakmu itu mengidap virus cinta...hahaha,” terangnya seperti sangat puas mengejekku.
“Suka mba-mba gitu maksudnya mas?” tanya Reza dengan wajah yang terlihat sangat lugu. Wah belagaknya Frian bakal mencemari otak adikku dengan hal yang tidak-tidak ini.
“Iya Reza sayang, ya masa suka sama mas-mas. Kalo gitu mas Frian dalam bahaya dong, hahahahah....” tawanya sungguh sangat menggelegar.
“Hahahaha...” dan adikku tertawa mengikuti tawa Frian, ya meskipun sedikit terlambat. Pasti dia hanya ikut-ikutan, dasar anak kecil.
“Hahahaha,, tapi tanda ketiga aku belum liat nih,” ucapnya mengakhiri tawanya dan kemudian menatapku dengan tatapan penuh tanya.
“Tanda ketiga apa mas?? Apaaa??” tanya Reza.
Entahlah kenapa anak kecil ini menjadi sangat antusias dengan urusan semacam ini.
“Tanda ketiga itu, seharusnya kakakmu ini udah sering pegang HP, sms-an gitu atau telponan kek. Tapi kayaknya aku belum liat tanda ketiga itu,” ucap Frian berlaga seperti detektif.
“Ada mas, ada.....tanda ketiga itu ada,” teriak Reza dengan penuh semangat seolah dia baru saja memecahkan masalah besar.
“Dari kemarin pulang kuliah, mas Azzam pegang HP terus. Buka kunci, mati kunci buka kunci, mati kunci. Kaya lagi nunggu sms gitu mas,” terang Reza mengejutkanku.
Apa kemarin aku seperti itu??? Oh sungguh memalukan, dan kenapa Reza bisa memperhatikanku sedetail itu. Ya memang dari kemarin hingga saat ini aku menunggu Reina menghubungiku. Karena sebelumnya dia bilang akan menghubungiku untuk membahas permintaannya kemarin. Aku memang tertarik dengan kasus yang ia ceritakan, bagaimanapun juga ibu kandunglah yang memiliki hak penuh pada anak yang ia kandung dan ia lahirkan. Akan sangat menyakitkan bagi ibu dan anak itu bila harus dipisahkan. Meski selain itu, entah kenapa aku berharap Reina segera menghubungiku.
“That’s Right, udah bisa jadi Hipotesis yang 99% tepat ini. Sekarang kita tinggal cari tahu kebenarannya dari orang yang bersangkutan,” ucap Frian mantap dan kali ini ia bergaya seolah dia detektif profesional atau mahasiswa angkatan tua yang ingin menyelesaikan penelitian skripsinya.
Dan sekarang tatapan mereka seperti ingin memakanku hidup-hidup.
“Siapa Zam??”tanya Frian tanpa basa basi lagi.
“Siapa mas, siapa mba-mba-nya??”teriak Reza memecah telingaku.
Mereka terus saja berteriak menanyakan siapa wanita itu. Teriakan mereka sungguh membuat telingaku sakit. Tapi masa ia aku harus bilang dengan gamblang, wanita itu adalah Reina. Konyol sekali rasanya.
Di tengah teriakkan mereka tiba-tiba handphone-ku berdering. Reina...dia meneleponku. Aku harus segera mengangkatnya, tapi bagaimana aku bisa kabur dari dua orang ini??

Apa Jadinya Indonesia Dengan Generasi Muda Apatis?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang