Rahasia yang Terbongkar

69 23 2
                                    

Audy tengah menyiapkan buku dan mata pelajaran untuk besok pagi. Ketika ia memasukkan salah satu bukunya ke dalam tas, ponsel dengan case biru laut bergetar di meja belajarnya. Penasaran, Audy lalu menghampiri ponselnya.

Saat melihat nama Fina tertera di layar ponselnya, Audy malah mengerutkan dahi. Tumben ni anak ngajak video call, batinnya. Tanpa menunggu lama Audy menggeser tombol hijau di ponselnya.

“Hai, Dy!” sapa Fina dari seberang saat wajah Audy ada di layar ponselnya.

“Hai,” Audy membalas sapaan Fina dengan wajah datar.

“Tumben lo nelpon, ada apa?”

“Kangen sama lo.”

“Idih. Serius deh, Fin. Gue tau lo itu irit banget sama kuota dan nggak bakal ngajakin video call kalau itu nggak penting.”

Gimana kencan lo sama Revan, lancar?

“Apaan sih, gue nggak kencan.”

“Lha, kalau bukan kencan jadi apa?”

“Jalan-jalan.”

Terlihat dari layar ponsel Fina terkekeh pelan. Namun, sedetik kemudian raut wajahnya kembali menegang.

“Dy …,”

“Hm?”

“Gue mau ngomongin sesuatu.”

“Apa?” Audy makin penasaran. Sementara Fina di ujung sana tengah mengatur napasnya. “Ini soal Sila."

“Sila?” tanya Audy sembari membetulkan tatanan rambutnya.

Iya. Lo ngerasa nggak, belakangan ini dia agak beda?”

“Enggak tuh, beda gimana?”

Ah, udahlah. Susah gue jelasin ke elo. Intinya, Sila suka sama Revan.”

Ada jeda setelah Fina mengatakan itu.
Sedetik. Dua detik. Tiga detik.

“Jangan ngawur deh, Fin. Gue nggak semudah itu percaya sama guyonan lo.”

“Gue serius, Audy. Lo sendiri, kan yang bilang kalau gue itu orangnya irit kuota? Ngapain juga gue musti nelpon lo kalau cuma buat bercanda doang?”

“Lo juga tau kan, kalau sebelumnya Sila udah lama kenal Revan? Bahkan sebelum kenal lo, Revan deket sama Sila karena mereka satu les.”

“Gue tahu, Fin, gue tahu,” ucap Audy masih dalam keadaan shock. Buku dan tas sekolah yang masih tergeletak di lantai menjadi saksi keterjutan Audy saat ini. “Tapi gue nggak pernah dengar Revan cerita tentang Sila atau Sila cerita tentang Revan ke kita, ya, kan?”

“Kalau sama gue, sih, pernah sekali, tapi gue sama sekali nggak tau kalau Sila suka sama Revan. Dan gue baru tau saat lo ditembak Revan di kelas kemarin. Gue liat gimana ekspresi Sila saat itu. dari tatapannya pun gue udah tau, kalau sebenarnya Sila terluka.”

Kembali ada jeda sesaat setelah Fina mengatakan itu.

“Jadi … gue harus gimana?” Audy bertanya ragu-ragu.

“Oke. Gue paham kok, Dy, gimana posisi lo sekarang. Di satu sisi lo ngerasa nggak enak sama Sila, tapi di sisi lain lo nggak mau mutusin Revan karena lo juga udah terlanjur sayang sama dia, kan?”

“Gue nggak bisa maksa, Dy. Apa pun keputusannya, itu semua ada di lo, dan gue nggak berhak ikut campur. Gue cerita ini ke lo supaya lo tau gimana perasaan Sila yang sebenarnya. Oh ya, seenggaknya lo harus inget sama ini, ‘pacaran itu ada masa kadaluwarsanya, Dy. Ketika lo ditinggal Revan pergi, lo bisa curhat ke sahabat lo, tapi saat sahabat lo sendiri yang pergi, lo bisa apa?”

“Gue nggak maksa, kok. Gue cuma minta pertimbangkan. Lagipula, status gue di sini cuma sebagai penengah dan nggak membela siapa pun, ehe.”

“Ahhh Finaaa kok lo baru ngasih tau gue, si— ”

Tittt.

Panggilan video berakhir.

Audy mengumpat kesal karena wajah Fina yang telah tergantikan oleh foto Kim Sejeong, yang sengaja ia jadikan sebagai wallpaper di ponselnya.

Kayaknya kuota Fina habis, deh, batin Audy. Atau jangan-jangan sengaja dimatiin, tambahnya lagi.
Audy mengacak rambutnya frustasi. Bagaimana bisa dia pacaran dengan orang yang disukai sahabatnya sendiri? Biar bagaimana pun, dirinya adalah orang egois di mata Sila. Bahkan menurut pendapat Audy sendiri, dirinya adalah manusia paling kejam di dunia. Hanya orang-orang sabar yang bisa bertahan di dekatnya, dan Sila adalah salah satu dari orang-orang yang sabar menurut pandangan Audy.

Dan malam itu dihabiskan Audy untuk merutuki dirinya sendiri, menyalahkan diri sendiri karena sudah bertindak terlalu jauh yang dapat menghancurkan persahabatannya. Sila bisa saja berpura-pura kuat selama tiga hari ini, tapi Audy tidak tahu kedepannya Sila akan bersikap seperti apa. Bisa jadi Sila akan mendiamkannya, pergi, dan menghilang dari kehidupannya.

Dan Audy sama sekali tidak menginginkan hal itu terjadi.

Audy meraih ponselnya dan mengirimi Sila pesan kepada via aplikasi Line.

Audymar : “Sil …”

Ia tidak tahu sedang apa Sila di rumahnya sekarang. Audy menunggu tidak sabar karena ternyata kali ini Sila cukup lama membalas pesannya.

Drrt … drrt …

Audy segera meraih ponselnya kembali. Senyumnya mengembang saat mengetahui Sila membalas pesannya.

Assila Mwrdn : “Hm?”

Audymar : “Lg ngapain?”

Assila Mwrdn : “Lg ngrjain pr mtk.”

Audymar : “Gue ganggu g?”

Assila Mwrdn : “Nggak, sih, kenapa emgnya?”

Audymar : “Gpp, gue kangen lo, Sil.”

Assila Mwrdn : “Dih, apaan, sih. jgn2 bnr kalau lo sebenarnya LGBT?”

Audymar : “Nggak gitu.”

Assila Mwrdn : “Lahh trs?”

Audymar : “Kira-kira gue ini msh jd sahabat lo, nggak?”

Assila Mwrdn : “Apaan dah, alay.”

Audymar : “Jawab, Sil. w serius.”

Assila Mwrdn : “Ya masihlah, dodol.”

Audymar : “Apa pun yang terjadi kita msh temenan, kan?”

Assila Mwrdn : “Yaelah. Gue tebak, lo lg berantem sm Revan, ya?”

Mendengar nama Revan  disebut, hati Audy jadi memanas. Gadis itu makin merasa bersalah karena telah melakukan sesuau yang menurut sudut pandangnya adaah salah. Dengan segera Audy mengetikkan balasan pesan dari Sila.

Audymar : “Nggak-lah, kita nggak lagi berantem.”

Assila Mwrdn : “Bagus deh kalau gitu."

Audymar : “Iya. Udahan dl ya, sil, dah ngantuk nih. Gnight ma bestie.”

Assila Mwrdn : “Night too, ma bestie.”

Setelah mendapat balasan terakhir dari Sila, Audy menarik selimutnya dan tidur. Hatinya bisa sedikit lega mengetahui bahwa Sila masih merespon pesannya dengan baik seperti biasanya. Audy memejamkan matanya dan berdoa, berharap agar persahabatan mereka akan baik-baik saja sampai akhir. 

---

L O V O R E NTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang