TIGA ALIEN

189 41 27
                                    

"YEAYY!!!" koor anak-anak sekelas kompak ketika bel berdering sebanyak empat kali. Bu Mardiana, guru sejarah yang sedang menerangkan materi di depan terpaksa harus menghentikan kegiatannya tersebut.

"Ibu tutup dulu penjelasan untuk hari ini. Kita sambung lagi minggu depan, ya."

"Siap, Iya!" jawab anak-anak kompak.

Ketua kelas minggu ini, Alif, sudah berdiri lebih dulu mengambil aba-aba untuk memimpin yang lain memberi salam kepada Bu Mar. Setelah selesai, anak-anak X1 tersebut keluar kelas dengan langkah yang tergesa-gesa.

"Gila, belajar sejarah dua jam bikin gue ngantuk banget," gerutu Fina. "Ga tahan sumpah."

"Udah ngantuk, gerah lagi. Persis kayak di neraka. Pokonya sehabis apel ini kita wajib mampir ke basecamp." Audy, yang berada di sebelah Fina juga ikut mengompori hal itu.

"Cepet ih, lambat banget kalian berdua. Pemimpin apel udah stand by, tuh." Sementara Sila memilih berjalan lebih dulu daripada harus mendengar ocehan sahabatnya yang bisa bikin telinganya meledak.

"Ihh sabar tau, nenek sihir!"

"Cielah, nenek sihir ngambek."

*** *** ***

Udara yang panas seakan terganti ketika mereka masuk ke kedai es pisang. Mereka yang dimaksud yaitu Audy, Fina, dan Sila. Sementara kedai es pisang adalah sebuah café mini yang letaknya di perempatan dekat dengan sekolah mereka. Kedai es pisang di sana benar-benar elit. Meskipun hanya menjual es buah dan beberapa ice cream, tapi interiornya terasa seperti café-café khas anak remaja. Makanya, tempat ini selalu dijadikan basecamp anak-anak SMA Pelita, termasuk Audy, Fina, dan Sila.

"Gimana, Dy, masih gerah?" Tanya Sila sembari melepas earphone-nya.

"Tadi sih, iya. Sekarang udah mendingan," balas Audy. "Eh, bentar, gue mau nanya sesuatu."

"Hm?" Sila menaikkan kedua alisnya, merasa aneh dengan apa yang dikatakan Audy barusan. Audy mau nanya sesuatu, tapi apa? Biasanya dia langsung ceplas-ceplos aja kalau ngomong.

"Gue mau nanya, nenek sihir."

"Yaudah, silakan."

"Lo suka sama siapa?"

"Hah?" Sila merasa aneh untuk kedua kalinya, "kok nanyanya gitu, sih? Nggak biasa banget."

"Jangan-jangan ... lo suka sama Sila, ya?" celetuk Fina yang membuat Audy melayangkan cubitan khasnya, cubitan kecil di lengan dengan kuku-kukunya yang panjang.

"Sakit, Dy! Masya Allah, kidding gue mah."

"Ya, enggaklah. Ngapain juga suka sesama jenis.. Lo pikir gue LGBT, gitu?"

Fina dan Sila sama-sama tidak bisa menahan tawa mereka saat membayangkan sahabatnya menjadi penyuka sesama jenis.

"Gue cuma heran aja, di antara kita bertiga yang paling sering cerita masalah pribadi itu Cuma gue. Gue suka siapa dan gue benci siapa kalian tau, sedangkan gue sama sekali nggak tau orang seperti apa yang kalian suka. Kan nggak adil banget."

"Okelah kalau Fina mah labil, hari ini benci tau-tau besok suka. Kayak si anu, tuh."

"Siapa, sih, Dy," tukas Fina. "Kalau punya mulut tolong dijaga ya, mbak."

"Lah kalau lo Sil, gue nggak tau apa-apa. Lo mah kelewat jaim, tapi giliran lagi bertiga gini baru keluar kumatnya."

"Enak aja! Gue nggak pernah sok jaim, loh, ya. Jangan salah persepsi. Gue aduin ke pangeran gue biar kalian kena batunya."

"Pangeran lo? Siapa? Dih, pede alay banget, sih."

"Adadeh."

Sila mnegerjapkan matanya. Pipinya mendadak bersemu merah dan jadi malu sendiri. Audy dan Fina yang melihatnya hanya geleng-geleng kepala, sepertinya mereka sudah biasa dengan tingkah Sila yang seperti ini.

L O V O R E NTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang