Suara bel karena pintu terbuka membangunkan tidur lelapku. Aku mendengar suara orang datang dari arah belakangku. Dari posisiku berada, aku tidak dapat melihat siapakah orang itu. Tapi berkat bantuan cermin dipojok ruangan, aku dapat melihat sekilas orang yang melewati pintu masuk.
Orang itu sedikit bungkuk. Rambut putih serta wajah keriput bisa menunjukkan berapa umur orang itu.
Itu Edward, pemilik toko kelontong tempatku berada selama kurang lebih satu tahun.
Sekarang jam delapan, waktunya toko buka. Aku tersenyum kecil, memperhatikan Edward yang sedang membalikkan lambang "tutup" menjadi "buka".
Sudah hampir satu tahun aku melihat Edward yang membalikkan lambang itu. Sudah setahun aku berharap seseorang membeliku. Setahun berharap, tapi setahun juga aku dijatuhkan.
Harapan itu muncul lagi. Mungkin ini hari keberuntunganku, batinku dalam hati.
***
Edward lagi-lagi tertidur di kursi kasir. Tahu dari mana? Dari suara dengkuran kencangnya. Aku menghela nafas berat. Jam sudah mengarah ke arah lima, sedangkan aku masih disini. Aku mendengar suara hujan deras diluar toko kelontong.
Hilang sudah harapanku hari ini.
Tapi, tidak apa. Masih ada hari esok. Aku yakin. Suatu saat, aku akan dibeli oleh seseorang.
Aku memejamkan mataku dan mengistirahatkan tubuhku yang renta ini. Beberapa menit setelah aku terpejam, suara bel pintu toko kelontong berbunyi lagi, tapi aku terlalu lelah untuk membuka mataku.
"Kami sudah tutup," ucap Edward kasar agar ia bisa beristirahat lagi.
"Aku tahu," balas pria itu. "Tapi aku sedang terburu-buru dan aku butuh sesuatu. Aku harus berada disuatu tempat dalam kurun waktu setengah jam."
"Bukan urusanku," balas Edward kasar.
"Tolong, Tuan," pinta pria itu. Mau beli apa sebenarnya orang ini?
Edward terdengar seperti sedang membetulkan posisi duduknya. "Mau beli apa?"
"Sebuah payung-" ada nada kelegaan pada suara pria itu saat Edward menanggapinya. "Dan sebuah sepatu."
Mataku langsung terjaga. Sepatu? Untuk apa pria itu membeli sepatu?
"Sebentar," balas Edward lalu mengambil barang yang dibutuhkan.
Edward mengambil payung lipat yang berada di sisi ruangan lain, lalu mengarah ke tempatku, deretan sepatu.
Aku memandang Edward yang sedang mencari sebuah sepatu yang cocok untuk pria itu. Jarang aku melihat Edward sedekat ini
Tangan Edward bergerak kesana kemari di udara. Gerakannya terhenti sebentar, membuat jantungku berhenti berdetak untuk sesaat. "Ukuran berapa?" tanyanya dengan suara keras walaupun toko kelontong ini sebetulnya kecil.
"Delapan," jawab pria itu.
Semangatku perlahan runtuh. Aku ukuran delapan setengah, setengah ukuran lebih besar daripada kaki pria itu. Aku tidak akan diambil.
Edward mengambil sebuah sepatu kets berukuran delapan dan membawanya ke pria itu. "Ini satu-satunya sepatu dengan ukuran delapan yang aku punya," ucap Edward.
Pria itu menghela nafasnya. "Aku akan pergi ke acara formal. Aku butuh sepatu yang lebih... sopan," balas pria itu.
"Kalau begitu, silahkan lihat deretan sepatu pantofel di belakang toko," balas Edward yang sedikit terdengar kasar untukku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Unparalleled
Historia CortaKadang kita tidak pernah tahu bagaimana suasana diluar sana, bagaimana rasanya menjadi orang lain, bagaimana rasanya berada di tempat lain. Kadang yang kita butuhkan hanya satu, satu langkah untuk menghilangkan semua rasa penasaran kita. Karena kita...