"He was so close to me, but he is untouchable, Lis," ucapku sambil meminum kopiku yang sudah kuminum setengah itu.
"Ya mau gimana lagi, Ran? Dia juga punya keputusannya sendiri sih. Jadi lo gak bisa maksain kehendak lo gitu aja," balas Elis. "Udah juga udah bilang dari awal kalo lo seharusnya gak pernah jatuh cinta sama dia. I told you he's an asshole, tapi lo selalu bilang kalo semua orang berhak punya kesempatannya sendiri," sambungnya.
"Dia berubah, Lis. Berubah. Dia gak kayak Nanda yang dulu. Nanda yang pacarin cewek, terus ditinggalin gitu aja. Nanda yang ini lebih baik, Lis," belaku karena aku tau kalo dia benar-benar berubah. "I know he wanted to stay, tapi dia gak bisa," aku menghela nafas berat.
"Tapi udah terlambat," ucapku sambil menunduk sedih. Tak terasa setitik air mata sudah jatuh di pipiku. Aku menunduk makin dalam dan berusaha menahan isakkanku, tapi percuma.
Aku merasakan tubuhku dipeluk oleh seseorang, entah siapa. Aku menyandarkan kepalaku di tubuh orang yang memelukku dan menangis sejadi-jadinya.
"Jangan nangis terus, Ran."
Suara itu membuatku membeku. Suara yang selalu kuharapkan berbicara denganku dulu. Suara yang bisa membuatku berdebar. Suara yang bisa..... membuatku jatuh cinta.
Tanpa kusadari, aku mengingat saat-saat aku pertama kali berbicara dengannya.
Dengan Nanda.
Kejadian ini berlangsung beberapa bulan yang lalu, saat ada pembagian formulir untuk mengikuti sebuah organisasi. Aku sudah berada di dalam organisasi itu, bahkan kami yang mensortir anggota baru kami.
Saat pulang sekolah, ia memanggilku lalu tertawa-tawa.
"Formulir lo, Ran," ucapnya lalu memberi selembar kertas itu kepadaku. Aku hanya bisa mengambilnya dan membaca.
Nama: Rani
Tujuan hidup: tidak ada
Dorongan untuk memasuki organisasi: ditendang teman saya
Kelebihan: sepertinya tidak ada
Aku hanya tersenyum membaca formulir yang diisi asal itu.
Berbulan-bulan kemudian, sekolah kami mengadakan Open House. Kami melakukan persiapan dengan Nanda dibagian ketua acara.
Dua hari sebelum hari itu, kami melakukan persiapan rumah hantu, salah satu andalan kami. Aku ikut membantu membereskan ruangan, membuat boneka dari koran dan dibungkus plastik, atau sekedar berjalan-jalan dan memberikan lakban kepada orang-orang.
Nanda ada disana, menunggu backdrop yang ia pesan jadi. Tapi apa daya, baru jadi besok.
Kami berada di sekolah hingga pukul 5 sore, mungkin setengah 6. Aku tidak tau harus pulang dengan siapa. Elis menawarkanku untuk pulang dengan Nanda. Karena tidak ada pilihan lain, aku akhirnya menyetujui.
Sepanjang jalan kami mengobrol, tertawa, dan sebagainya. Aku iseng menanyakan sebuah pertanyaan waktu itu.
"Lo bisa jemput gue gak pas Open House nanti? Kasian bokap gue kalo nganterin jem 5 pagi," ucapku.
Ia menjawab bisa.
Mulai dari hari itu, kami berchat ria. Entah aku yang memulai, atau dia yang memulai.
Sehari setelah Open House, aku ingat ia sempat menanyakanku tentang..... bisa dibilang mantan gebetanku. Disaat aku tanya kenapa, ia hanya menjawab singkat, padat, dan jelas.
"Nanti lo juga tau sendiri,"
"Gue gak mau cuman gara-gara satu kalimat yang bakal gue kasih ke lo malah bikin pertemanan kita hancur."
Disitu aku tau satu hal.
Nanda suka padaku.
Awalnya aku tidak perduli, tapi sikap manis dan lucu Nanda membuatku senyum-senyum tanpa sebab. Ia selalu mengucapkan selamat pagi atau malam padaku. Setiap hari.
Pernah aku tertidur karena menunggu balasan dari Nanda. Keesokan paginya, aku menerima beberapa pesan darinya.
"Sudah tidur ya?"
"Kalo udah, good night ya. Sweet dream too.."
"Love you :* "
Ingatanku kembali lagi saat Nanda melepas pelukannya. Ia mengangkat wajahku untuk melihatnya, lalu menghapus air mataku.
"Jangan nangis, Ran. Aku berasa bajingan banget kalo kamu nangis," ucapnya lalu mengelus pipiku halus.
"Gak bisa, Nan," ucapku lalu mendorong Nanda untuk menjauh dariku. "Pergi Nan," usirku lalu aku berlari ke toilet.
Beberapa orang menatapku, tapi aku tidak perduli. Aku tetap berjalan ke dalam toilet dan memasuki salah satu biliknya. Aku menangis lagi. Aku sudah mengkhianati janjiku sendiri.
"Tidak akan pernah nangis karena orang yang sama."
Tapi aku baru saja melakukannya. Menangis lagi setiap kali mengingat momen menyakitkan itu. Aku mengatur nafasku lalu menghapus air mataku.
Setelah membasahi wajahku dengan air dan mengeringkannya, aku melihat pantulan diriku di cermin.
Miris.
Aku memasang senyum terbaikku lalu berjalan keluar dari toilet. Aku berjalan menuju mejaku dan Elis. Nanda sudah tidak ada.
Saat aku duduk, Elis hanya diam saja lalu memberikanku selembar tissue yang dilipat empat. Aku membukanya perlahan dan menemukan tulisan yang aku kenal itu.
Hai, Rani.
I know I'm a jerk. I'm so sorry, Ran.
Aku gak bermaksud buat mainin kamu. Aku kira kita bisa temenan doang, tapi aku engga. Aku sayang sama kamu. Aku cinta sama kamu, Ran.
Aku terus nyalahin diri aku sendiri. Bilang kalau aku seharusnya gak pernah deketin kamu, biar kamu gak tersiksa. Biar aku aja yang tersiksa. Tapi aku bebal. Aku tetep deketin kamu.
Waktu kamu di deketin sama cowok lain, aku cemburu, Ran. Aku marah, tapi aku bisa apa? Aku cuman bisa senyum sambil dadah waktu kamu balik sama dia.
Sekarang kamu jangan nangis lagi, ya..
Tunggu aku, Ran.
I still love you.
Tertanda,
Nanda.Aku tersenyum kecil.
Pasti, Nan...
===================================
[a/n]
Halo Rani! Gimana? Suka gak? :D
Gak tau moodnya dapet apa engga. Kasih komen ya!!
Yang mau minta dibikinin, boleh komen juga kok :D
Nama:
Lawan Pemain:
Sad/happy ending:
Request khusus:tinggal diisi.
MAKASIH!
-dawei-
KAMU SEDANG MEMBACA
Unparalleled
ContoKadang kita tidak pernah tahu bagaimana suasana diluar sana, bagaimana rasanya menjadi orang lain, bagaimana rasanya berada di tempat lain. Kadang yang kita butuhkan hanya satu, satu langkah untuk menghilangkan semua rasa penasaran kita. Karena kita...