Nothing's gonna change my world
Nothing's gonna change my word
Alunan lagu keluar dari piringan hitam yang tidak berhenti berputar. Mengalun menyelimuti seluruh udara dalam ruangan kayu lapuk. Sang pemilik selalu memainkannya setiap saat, tak pernah sekalipun lagunya dibiarkan berhenti walau sedetik. Meskipun dia tidak sedang berada dalam ruangannya, suara tersebut akan terus berkumandang mengisi kekosongan yang ada.
Meja kayu panjang berbaris di tengah ruangan yang tak begitu besar. Benda-benda kotak bertumpuk di atasnya. Layarnya menyala, menampilkan suatu gambar yang hidup. Berbagai macam tombol tertata rapi di bagian bawah. Mungkin orang awam akan kerepotan mengenali benda tersebut. Tampaknya hanya sang pemiliklah satu-satunya yang dapat mengerti, untuk apa benda-benda tersebut berada di tempat itu.
Keadaan di dalam ruangan pasti membuat bingung siapapun yang melihat. Bagaimanapun alat canggih di atas meja terlihat kontras dengan kayu-kayu hampir bobrok di sekitarnya. Tumpukan kertas usang terlihat berantakan. Tidak ada yang berusaha untuk membereskannya. Atau mungkin angin dari jendelalah yang membuat mereka bertebaran di mana-mana.
Berbagai macam buku bacaan serta file berisi data yang entah apa bertumpuk, menjulang tinggi menyerupai gunungan kertas. Salah satu di antaranya berbunyi 'Data Meissa. Tahun ke-48'.
Pintu kayu berdecit, menandakan dirinya sedang dibuka dengan susah payah. Umurnya yang sudah tidak lagi muda membuat kayu-kayu tersebut mulai lapuk. Serpihannya semakin mengotori lantai, bertumpuk dengan debu dan sedikit daun kering.
Butiran debu terlihat jelas berkat cahaya matahari. Menari perlahan di udara seakan menikmati melodi dari lagu yang sedang diputar.
"Hati-hati dengan pintu itu, Will! Kau membuatnya semakin buruk."
Akhirnya pintu dibiarkan tetap menganga.
"Ingin sekali kuhancurkan benda ini agar bisa diganti dengan yang baru."
"Kau tahu ayah tidak akan membiarkannya."
"Dia tetap saja menjadi pria tua yang tidak memiliki selera."
"Hati-hati kalau bicara!" seorang lelaki lain berdiri di belakang dua lelaki yang pertama kali datang.
"Selamat pagi, Sam."
Nothing's gonna change my world
Nothing's gonna change my word
"Ck! Semakin lama aku semakin tidak suka mendengar lagu itu. Tidak bisakah kita mematikannya hingga ayah kembali ke sini?"
"Kamu tidak akan senang jika melihatnya marah."
"Hargailah ayah kita itu! Meski aku setuju denganmu, tapi tidak seharusnya kamu berkata buruk tentangnya."
"Ya, ya, ya. Aku sedang tidak ingin mendengarkan ceramahmu."
"Akan tetap kulakukan jika kamu masih terus seperti itu."
Ketiga lelaki muda tersebut berjalan ke arah layar-layar yang ada. Duduk di atas kursi yang tersedia. Salah satunya yang tertua meraih sebuah file, menuliskan sesuatu di dalamnya. Satunya yang duduk di tengah mengoperasikan tombol-tombol di hadapannya. Sementara lelaki di kursi paling kiri merapikan ceceran kertas pada meja.
"Bahkan angin pun bisa menyelinap dari balik jendela lapuk itu. Semua kertas ini tidak pernah bisa rapi!"
"Daripada terus menggerutu, lebih baik kamu mencari sesuatu untuk mengganjalnya," komentar Jason sambil tetap sibuk dengan keyboard-nya.
"Ada sesuatu yang baru?"
"Hmm, sejauh ini belum ada. Semua masih bergerak seperti biasanya. Tenang, damai..."
"Komputer-komputer ini sudah terlalu tua. Bahkan kameranya tidak bisa merekam dengan baik."
"Apa ayah akan memperbolehkan kita untuk mengganti semua dengan yang lebih bagus?"
"Sepertinya tidak. Mustahil untuk melakukan itu sekarang."
"Hmm.. ya, kamu benar."
Sam menyandarkan punggungnya pada senderan kursi yang empuk. Dia melipat tangannya di depan dada, lalu memperhatikan satu-persatu monitor di hadapannya. Dua dari enam monitor yang ada hanya menampilkan warna hitam. Menandakan bahwa benda tersebut sudah tidak dapat digunakan lagi.
"Hei, Sam! Apa kita masih memerlukan ini?" Will melemparkan sebuah file berwarna biru tua.
Dilihatlah file tersebut oleh Sam dengan seksama. Judulnya kali ini berbunyi 'Bellatrix. Tahun ke-59'. Dibukanya perlahan kertas berisi banyak tulisan tersebut hingga terlihat lembaran yang mulai kosong di tengahnya. Entah si penulis memang belum menuliskan apapun, atau justru sudah berhenti melakukannya.
"Bagaimanapun kita masih memerlukannya. Tulis saja di lembaran paling belakang, kata-kata 'objek telah hancur'. Lalu simpan benda itu di lemari berkas dengan yang lain!" dilemparkan kembali benda tersebut ke tangan Jason.
"Aku benci sekali hal yang membuat pekerjaan kita semakin bertambah. Sekarang ayah kalang-kabut dibuatnya."
"Kamu hanya terlalu mendramatisir. Semua itu bukan masalah besar, Will."
"Tetap saja aku menyayangkannya."
"Diamlah, Will! Hari ini kamu terlalu banyak berkomentar."
"Bukankah kamu yang terlalu serius? Santailah sesekali!" Will meregangkan otot punggungnya.
"Kenyataannya, kamulah yang terlalu santai."
Keadaan perlahan menjadi tenang dan semakin tenang. Bahkan mereka bertiga sudah berhenti berdebat. Hanya lagu yang sama mengalun pelan di tengah keheningan. "Nothing's gonna change the world," Will turut menyanyikan liriknya dengan pelan.
"Sekarang kamu mulai menyanyikan lagu yang kamu anggap menyebalkan itu." Sam sedikit tertawa.
"Aku hanya berusaha untuk tidak merasa bosan," Will memberikan jeda sesaat sambil menaruh kakinya di atas meja. "Tapi, aku masih tidak menyukai lagunya."
"Apa yang membuatmu tidak menyukainya?"
"Lagu itu terlalu mengada-ada. Tidak mungkin dunia ini akan tetap seperti sekarang tanpa berubah sama sekali. Kamu pikir kenapa ayah sangat menyukai lagu ini?"
Sam hanya menjawabnya dengan mengangkat kedua bahu. Tidak tertarik untuk memperpanjang pembicaraan seakan tidak terlalu senang terhadap topik yang diangkat.
Tak lama, suara decitan lantai kayu mulai terdengar mendekat. Seorang lelaki muda lain memasuki ruangan. Berjalan menuju salah satu kursi yang kosong.
"Santai sekali hari ini? Apa karena kamu tahu ayah sedang pergi?"
"Sayangnya aku tetap bekerja meski ada di dalam kamar."
"Ada sesuatu yang kamu pikirkan?" tanya Sam saat melihat rona kehitaman di bawah mata lelaki tersebut.
"Ya, hal itu membuatku mengulang-ulang rekaman sepanjang malam."
"Apa yang terjadi?"
"Sejak awal sepertinya semua satelit kita tidak pernah berpindah tempat. Aku khawatir hal tersebut akan mulai membahayakan keberadaannya. Sepertinya kita harus memindahkannya."
"Tapi, apa hal itu tidak akan mengganggu sinyal semua kamera?
"Sepertinya aku bisa mengatasi hal itu, meski butuh waktu untuk mencobanya."
"Baiklah. Kalau begitu, tunjukkancaranya padaku, Chris!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Aster [The Last Adventure]
Science FictionBook 3 of Aster Trilogy Aster (Higest rank #4 in science fiction - 8/1/17) Petualangan terakhir Aster di kota Dione masih tetap menyisakan berbagai misteri yang mengganjal dalam hatinya Siapakah Orion? Dan di mana ayah serta adiknya berada? Aster t...