Sekian lama kami tidak pernah bertemu lagi. Aku kembali ke Indonesia, dan Anthony tetap di Belanda. Dan hampir tiga tahun kemudian, ketika aku sedang berlibur, aku bertemu Anthony kembali. Hari itu hujan turun. Aku berteduh di depan sebuah sekolah dasar. Aku tidak membawa payung dan mantelku bukan berbahan parasut yang tak tembus air. Maka kupikir berteduh adalah cara terbaik agar aku tidak basah dan jatuh sakit. Hampir lima belas menit berlalu ketika seseorang membuka pintu kaca sekolah dan keluar dengan payung besar yang mampu menampung 2 orang. Dan rasanya, aku kenal siapa lelaki itu. Anthony.
Hampir sulit mengenalinya lagi selain karena pertemuan kami yang sangat singkat kala itu, dan juga tiga tahun masa kami tidak bertemu. Tapi aku bisa mengenalinya dari sesuatu, sorot matanya yang teduh. Maka, ketika aku melihatnya dengan penampilan baru berupa kumis dan rambut halus yang melintasi tepi pipinya, aku tetap bisa mengenalinya. Dan anehnya, Anthony sempat melemparkan pandangannya ke sekeliling sekolah dan menemukan aku di sana.
Ia menghampiriku.
"Maaf, kau hendak pulang?"
"Ya. Rumahku 3 blok dari sini."
"Kurasa kau bisa ikut denganku."
"Jika kau tidak keberatan."
"Tentu tidak."
Aku pun melompat dari tempatku berteduh dan segera berlindung di bawah payung yang di genggam Antony. Ku kira ia sudah lupa padaku.
"Jadi, kau kehilangan kunci lagi hari ini?"
Hening. Aku terkesiap.
"Anthony masih ingat tentang itu?" tanyaku dalam hati.
"Tidak sulit mengingat perempuan berpenampilan biasa-biasa saja di antara banyak perempuan cantik di Amsterdam ini. Apalagi kau... penampilanmu jelas berbeda dari wanita-wanita Belanda," jelas Anthony, seolah menangkap tanda tanyaku barusan.
"Aku hanya perlu... menanyakan namamu. Itu satu-satunya yang aku lupa. Maaf, aku kurang pintar dalam hal mengingat nama."
"Sofie," jawabku cepat.
"Ya. Sofie."
"Kau kehilangan kunci?" tanya Anthony lagi.
"Bukan. Payung."
"Ah, kehilangan payung ternyata."
"Bukan. Aku, tidak bawa."
"Oh...," bibir Anthony membulat.
Kami berjalan bersisian, di bawah hujan yang mengguyur Amsterdam. Hampir musim dingin. Udara bertambah sejuk. Langit sedikit gelap dengan warna abu-abunya yang khas. Obrolan kami berhenti sampai di depan rumahku. Itu kali pertama ia mengantarku sampai rumah orang tuaku.
***
Aku tidak pernah menyangka kalau kemudian Anthony akan datang berkunjung ke rumahku. Suatu sore, angin dingin bertiup kencang, bel di depan pintu rumah kedua orang tuaku dibunyikan. Ibuku keluar dan menemui tamu yang datang tersebut. Itu Anthony. Aku tahu kemudian. Ibuku masuk ke dalam dan memanggilku.
"Seorang lelaki mencarimu, Sofie," katanya dalam bahasa Indonesia.
"Siapa?"
"Aku lupa menanyakan namanya. Dia mengenakan mantel cokelat. Dari caranya menyebutkan namamu, sepertinya dia sudah kenal baik denganmu."
"Anthony?" tanyaku, menduga. Karena memang hanya Anthony, laki-laki yang aku kenal di Amsterdam. Siapa lagi? Aku hanya ke sini di musim liburan. Dan hampir jarang bermain karena tak banyak orang yang kukenali selain sepupu-sepupu dari keluarga ayahku.
Aku menuju pintu, menemui... Anthony, ya, benar, itu memang Anthony. Dia berdiri di ambang pintu, menyembunyikan tangannya di saku mantel, karena dingin.
"Hai Sofie, aku mau mengajakmu jalan-jalan berkeliling."
"Jalan-jalan?". Aku sedikit bengong ketika Anthony mengajakku. Bukan, bukan karena Anthony. Tapi, ajakan untuk pergi jalan berdua dengan seorang lelaki memang hampir belum pernah mampir di telingaku.
"Bagaimana?" tanya Anthony lagi, menunggu jawabanku.
Aku mengangguk satu kali, sebelum akhirnya menjawab, "Oke. Aku ambil mantelku dulu," jawabku sambil menghambur ke dalam rumah. Penuh senyum.
Anthony mengajakku ke pinggiran Kota Amsterdam. Melihat kanal-kanal dan perahu yang tertambat di tepinya, minum cokelat panas dan jangan lupakan roti dan kejunya, juga mengunjungi rumah-rumah tradisional di pinggir kolam-kolam besar berair jernih, sayang tak ada bunga tulip yang mekar sekarang. Tapi tak apa, aku menyukai semuanya. Dan tentunya satu hal, bersepeda. Berbeda dengan Indonesia, sepeda adalah alat transportasi yang sangat populer di sini.
"Jangan tinggalkan sepedamu sebelum menguncinya, Sofie," seru Anthony. Katanya, di Belanda sini lebih dari 1000 sepeda hilang setiap tahunnya karena dicuri.
Oke, lupakan soal pencurian sepeda. Tapi menikmati suasana kota dengan berjalan lambat di atas sepeda sangatlah menyenangkan, ketimbang naik trem atau bus dan kau akan kehilangan banyak tempat yang bisa kau lihat berlama-lama. Dan lagi, udara di sini cukup segar untuk dilewatkan begitu saja.
Kami kembali setelah hari gelap. Dan, itulah pertemuan ketigaku dengan Anthony. Pertemuan yang berbeda. Anthony jauh lebih hangat dan ramah, senyumnya lebih tulus, obrolan dengannya lebih menyenangkan meskipun aku masih dengan kegagalanku yang lama, canda tawa kami terurai lebih segar. Tapi ada yang lebih dari itu semua. Hatiku.
Hatiku merasa lebih nyaman bersamanya. Saat itu.
Tapi kemudian, aku kembali berpisah selama 2 tahun karena kepulanganku kembali ke Indonesia.
Sejujurnya aku belum mau berpisah, setelah perjalanan kami hari itu.
***
Dua tahun, perpisahan yang kedua setelah bertemu dengan Anthony. Tapi kali ini ada sesuatu yang berbeda. Entah kenapa, aku merindukan Anthony. Atau mungkin, perasaanku yang sebenarnya lebih dalam dari itu?
KAMU SEDANG MEMBACA
If The Rain Ever Ask
Short StoryKesetiaan seperti awan, menemani hujan sepanjang zaman. Setia, adalah alasan kecilku untuk tetap mencintaimu