Dalam segala keterbatasan, setia mengalahkan segalanya.
Sofie pov's
Angin musim dingin selalu membawaku pulang ke Amsterdam, seperti saat ini. Tapi ada yang berbeda dengan kepulanganku ke Amsterdam kali ini. Pertama, kedua orang tuaku tidak ikut. Mereka tetap di Indonesia, karena berencana untuk pindah dan menetap di Amsterdam mulai bulan depan. Jadi, mereka tengah menyiapkan segala sesuatunya di sana. Kedua, aku tak punya aktivitas apa-apa untuk dilakukan di sini tanpa kedua orang tuaku. Kemungkinan terbesar, paling hanya megunjungi rumah saudara-saudara sepupuku. Ketiga, entah bisa dibilang pulang atau tidak, kalau sebenarnya aku tidak betul-betul ingin datang kesini. Karena... aku tak mau lagi bertemu dengan seseorang. Seseorang yang tak pernah menganggap kehadiranku di sisinya adalah penting. Anthony.
Cukup bosan rasanya jika harus berdiam diri di rumah saja. Aku menyibukkan diri dengan pergi berbelanja bahan makanan ke supermarket, naik sepeda ke pinggiran kota, atau pergi ke kanal-kanal untuk sekedar melihat perahu yang tertambat di tepi-tepinya. Atau, makan kue di cafe pinggir jalan dan minum cokelat panas. Tapi rasanya, itu semua belum cukup mengusir sepi dan jenuh yang ada dalam hatiku. Apa yang salah?
Lalu aku memutuskan membawa sepedaku kembali, menyusuri jalan, dan... tiba-tiba saja aku merasa mengenal dengan baik semua tempat yang telah aku kunjungi tadi. Semuanya... pernah aku datangi. Bersama Anthony.
Anthony lagi. Anthony lagi. Dan lagi.
Kenapa dalam segala hal aku masih selalu mengingatnya? Apa sebenarnya, aku hanya terlalu mencintainya? Terlalu terbiasa menyimpan perasaan tentangnya? Terlalu sering membawa namanya pergi ke mana pun bersamaku? Sehingga... begini?
Anthony. Sebenarnya aku sudah tidak mau peduli lagi. Tapi aku tidak bisa.
Malam musim dingin selalu indah di Amsterdam. Tapi, tidak kali ini. Hampa dan sepi yang menjajah sejak siang tadi belum juga pergi. Ditambah rumah yang hanya kutempati sendirian, membuat hening bertambah mencekam perasaan.
Bimbang. Tapi akhirnya aku memutuskan untuk pergi.
Aku mengambil mantel tebalku, scarf, dan sarung tangan rajut dari bahan wol. Meskipun tidak berharap untuk bertemu Anthony, tapi berada di luar dan menemukan keramaian semoga bisa meramaikan suasana hatiku untuk saat ini.
Aku menyimpan kedua tanganku dalam saku, menyusuri blok-blok Kota Amsterdam yang berangin dingin. Pendar lampu keemasan menuntun jalanku di antara salju-salju pucat yang tersiram cahaya.
Aku tak tahu akan kemana. Aku hanya berjalan menuruti kemauan kakiku melangkah. Sampai akhirnya, aku tiba di sebuah taman kecil yang teduh. Ada pohon oak besar dan beberapa bangku besi panjang, beberapa meter dari tempatku berdiri sekarang. Seorang lelaki duduk di sana sendirian.
Aku menghampirinya, merasa mengenali sosok yang diam di sana. Dan, ketika jarak kami hanya tinggal beberapa sentimeter saja, aku terhenyak. Dia adalah... orang yang begitu kukenal. Lelaki yang mati-matian berusaha kulupakan-tapi tak pernah bisa.
Ragu. Tapi akhirnya aku duduk di sampingnya, meletakkan tanganku di atas punggung tangannya.
"Apa kabar Anthony?" aku tak pernah berniat begitu, tapi justru aku melakukannya-tanpa marah sedikit pun, tidak seperti saat aku berusaha mengumpulkan benci untuknya.
Kami bicara akhirnya, bertanya kabar, singkat, begitu saja. Tapi... aku merasa hangat, betul-betul hangat. Seperti ada di rumah dan duduk dengan selimut tebal, merasa damai dan nyaman. Inikah yang disebut dengan 'pulang' dalam artian yang sebenarnya?
"Jangan pergi lagi. Jangan. Kali ini aku yang meminta." Anthony menggenggam tanganku erat, aku memandang wajahnya. Bola matanya yang tak menatap ke arahku, tapi aku tahu kepada siapa hatinya tertuju.
Tiba-tiba saja aku merasa, aku tak ingin pergi dari sisinya, tak ingin pergi dari sisi Anthony selamanya. Tidak pernah. Aku memeluk Anthony, menumpahkan segala perasaan yang bertahun-tahun tak tercurah.
"Aku bersamamu Anthony, sekarang dan seterusnya."
***
Antony pov's
"Aku mau menikahimu, Sofie," ucapku.
Itu sudah jadi keputusanku. Kalau akhirnya ada orang yang pantas menemaniku selamanya, orang itu adalah Sofie. Kesetiaan telah teruji, ia bahkan... bisa dibilang terlalu setia untuk diriku yang egois.
"Maukah kau membantuku memilihkan cincin untukmu, karena... aku tidak bisa melihat."
Sofie tertawa kecil mendengar ucapanku.
Siang ini, udara masih dingin. Tapi kami berdua tidak lagi merasakan kekosongan seperti musim dingin yang melenyapkan hangat matahari sama sekali. Karena ada sesuatu yang telah mengisi. Menyusup hangat ke dalam hati kami masing-masing, yaitu cinta.
"Anthony."
"Ya?"
"Seandainya aku pulang ke Indonesia...?"
"Kau punya rencana untuk kembali ke sana?"
"Ya. Tapi tidak sendirian. Bagaimana kalau kau ikut serta? Aku ingin mengenalkanmu sebagai... suamiku."
"Ummm..."
"Tidak ada pilihan. Kau harus bilang 'iya'"
Aku menggulum senyum. Aku sudah beberapa kali mendengar tentang Indonesia dari Sofie. Tapi benar-benar menjejakkan kaki ke sana, tampaknya akan jadi pengalaman yang menyenangkan.
Tiba-tiba Sofie menarik tanganku ke luar rumah.
"Anthony, coba kau dengar suaranya."
"Hujan?"
"Iya."
Aku menjulurkan tanganku, tetes-tetes air jatuh menimpa telapak tanganku, aku merasakan sejuknya. Sofie memelukku dari samping.
"Masih ingat soal filosofi awan dan hujan?" tanyanya.
"Tentu. Itu filosofi yang aku buat."
"Kesetiaan seperti awan, menemani hujan sepanjang zaman, tak tergantikan," lanjut Sofie.
"Kau yang paling setia, Sofie."
"Seperti awan?"
"Bukan. Seperti bulan pada malam."
"Filosofi baru?"
"Tidak. Aku tidak perlu filosofi lagi sekarang. Aku hanya perlu kamu, menjadikan kesetiaan dalam segala keterbatasanku."
"Aku mencintaimu. Anthony."
"Apakah aku perlu mengatakan hal yang sama, kalaupun hujan sudah jatuh ke bumi dan meninggalkan awan?"
"Jika hujan pernah bertanya pada awan. Kenapa awan setia menemaninya?"
"Tidak perlu. Kesetiaan tak tergantikan. Sepanjang zaman."
TAMAT
KAMU SEDANG MEMBACA
If The Rain Ever Ask
Short StoryKesetiaan seperti awan, menemani hujan sepanjang zaman. Setia, adalah alasan kecilku untuk tetap mencintaimu