"Pernah berpikir, kenapa awan hadir lebih dulu setiap kali hujan akan turun?"
"Tidak."
"Bukankah artinya sudah jelas, hujan akan turun setelah awan mendung muncul di langit?"
"Aku punya filosofi sendiri."
"Apa itu?"
"Karena awan yang paling setia. Menemani hujan hadir untuk bumi, walau setelahnya hujan berlalu begitu saja, meninggalkan awan di atas sana."
Obrolan tersebut melintas begitu saja di kepalaku. Hujan di luar turun cukup deras. Mungkin karena itulah, aku teringat obrolan dengan Sofie bertahun-tahun yang lalu. Saat aku masih menganggap dia sebagai wanita biasa-biasa saja. Yang tidak pernah membuatku tertarik. Yang kuantarkan pulang hanya karena aku merasa kasihan padanya karena harus menunggu hujan reda di depan sekolah.
Kami mengobrol banyak saat itu. Lalu entah kenapa, aku yang berfilosofi tentang kesetiaan awan pada hujan, menanyakan pertanyaan picisan seperti itu. Aku selalu suka dengan filosofinya, suka dengan kesetiaan awan yang menemani hujan.
Setia...
Setia...
Awan yang paling setia.
Mungkin... seperti itulah Sofie.
Aku membuang napas. "Sudahlah, dia sudah pergi," batinku. Bukankah dia pergi juga karena aku? Karena ucapanku dan keegoisanku? Jadi, kalau sekarang aku memikirkannya, mengharapkan kedatangannya kembali, rasanya tak pernah adil.
***
Musim dingin telah datang sepenuhnya. Langit lebih gelap. Dulu, aku selalu memandang ke luar rumah, dan menikmati pucatnya salju yang memenuhi jalan dan atap rumah. Aku suka berjalan di blok-blok kota Amsterdam kala malam. Cuaca begitu dingin, tapi suasananya hangat. Banyak orang dengan mantel tebal dan scarf yang melingkar di leher berlalu-lalang, toko juga tetap buka seperti biasa. Lampu-lampu jalan dan depan toko bercahaya keemasan. Indah sekali.
Tapi sekarang aku tidak bisa menikmatinya lagi.
Warna yang kulihat hanyal satu. Hitam.
Aku bangkit dari dudukku, berjalan dengan bantuan tongkat menuju pintu depan.
"Anthony, kau akan ke mana?"
Itu Will, sepupuku, yang sekarang tinggal di sini.
Aku tidak bisa melakukan apa-apa sendirian, aku memerlukan bantuan orang lain, dan Will bersedia membantuku dan tinggal di sini. Aku cukup terbantu dengan keberadaannya. Hhh... kalau saja usiaku sudah lanjut, aku akan memilih tinggal di panti. Tapi, usiaku bahkan masih sangat muda. Aku masih bisa melakukan banyak hal. Aku hanya perlu waktu untuk terbiasa.
"Aku akan keluar sebentar," jawabku.
"Kau harus hati-hati. Ini musim dingin, jalanan tidak seperti biasanya."
"Ya. Aku mengerti."
Aku meninggalkan rumah, aku hanya ingin keluar sebentar, menikmati 'rasa' musim dingin.
Hampir tiga puluh menit aku di luar rumah. Berjalan di blok-blok Kota Amsterdam. Cukup sulit memang. Beberapa orang membantuku jika aku kesulitan. Hhh... aku bersyukur untuk yang satu itu.
Sekarang aku duduk di sebuah bangku besi panjang. Bangku ini terasa dingin dan sedikit lembap. Aku menyentuh sandarannya yang sedikit basah. Lalu menyandarkan punggungku ke sana. Duduk sendirian.
Bermenit-menit lamanya.
Sebuah tangan menggenggam punggung tanganku yang dingin. Tangan tersebut terasa hangat dengan sarung tangan rajut dari bahan wol. Siapa orang ini?
Aku menengok, walau tak bisa melihat wajahnya. Lama, tak ada suara.
"Apa kabar Anthony?" akhirnya ia bersuara.
Sofie? Aku mengenalinya.
"Sofie?"
"Ini aku."
Aku membuka kedua lenganku. Spontan.
Sofie menjatuhkan tubuhnya dan memelukku hangat. Kami tak bersuara, cukup lama. Apa yang bisa aku rasakan? Aku pun susah menggambarkannya. Kau bisa menjelaskannya sendiri dengan caramu.
"Kau datang untuk liburan?" tanyaku, setelah kami lama terdiam dalam pelukan.
"Iya."
"Hanya untuk liburan?" tanyaku lagi.
"Untuk apa lagi? Untukmu?" jawab Sofie, aku tahu dia tersenyum saat mengucapkannya. Aku bisa merasakannya.
Sofie menjatuhkan kepalanya di pundakku.
Ada rasa nyaman yang menyesap pelan di dadaku. Perasaan tenang dan damai. Rasa khawatir, marah, takut kehilangan, rindu, dan sebagainya yang bercampur menjadi satu dan melebur menjadi satu kata saja, mungkin... itu cinta?
Sofie, dia datang lagi. Meski dulu perkataanku telah menyakiti perasaannya. Mungkinkah ini karena... sebuah kesetiaan? Lalu, jika Sofie memang telah melakukannya, kenapa aku harus diam saja? Kenapa aku tak membuatnya tetap berada di sini, di sampingku? Harusnya aku tahu, Sofie adalah satu-satunya yang paling mungkin untuk menjadi tempat berbagi. Selama ini, dialah yang paling setia. Seperti awan yang setia pada hujan.
Sofie mengangkat kepalanya dari pundakku.
"Anthony." Aku meraih tangan Sofie, menggenggamnya.
"Jangan pergi lagi. Jangan. Kali ini aku yang meminta," aku menggenggam tangan Sofie lebih erat.
KAMU SEDANG MEMBACA
If The Rain Ever Ask
Short StoryKesetiaan seperti awan, menemani hujan sepanjang zaman. Setia, adalah alasan kecilku untuk tetap mencintaimu