Langit senja sore di hari jumat 4 Maret 2016, ditelanjangi habis olehnya. Pemandangan yang amat jarang disyukuri oleh tiap insan di ibukota super sibuk dan hiruk pikuk dengan jadwal ketat ditiap sudutnya. Menyusuri jalan setapak dengan sepasang earphone, selalu temani perjalanan pulang. Pulang? Masih sore.
Tapi, memang tidak ada lagi yang dapat Ia kerjakan hari itu. Pulang adalah pilihan terbaik, dapat menikmati empuknya kasur di pinggir jendela menatap langit senja yang mulai kelabu, dan bercengkerama dengan kipas angin tua, bersama segelas kopi hitam sachet yang kan dibelinya di warung sebelah kamar kos. "Damai.." Ucapnya lirih seraya memikirkan lembutnya seprai setelah semalam diambil dari tempat laundry.
Seharian ini hanya berkutat di perpustakaan kampus mencari bahan untuk tugas akhir, cukup menguras batin Alan. Ia bukan ahlinya merangkai kata baku, apalagi duduk seharian di tempat penuh buku karya peneliti jaman batu. Pemuda tanggung yang dikejar target untuk lulus ditahun keempatnya ini memaksakan diri, karena bila bukan dia, siapa lagi kan mau memaksa? Menunda memang salah satu hobinya. Dikala teman-teman sepantarannya telah mulai bekerja paruh waktu di perusahaan ternama, membuka usaha, dan bersiap melanjutkan kuliah di luar negeri, Ia masih saja pulang tiap sore melalui jalan setapak yang sama dengan langit senja yang seolah menyeringai lucu kepadanya. Ah, Ia tak pernah peduli lagi pada langit itu. Sebatas cakrawala genit pemangsa jiwa yang selalu mengendorkan semangat kelulusan, gumamnya. Memang, hobi sendunya bersama langit senja, sambil mengajak secangkir kopi sebagai teman bercengkramanya, sudah mendarah daging di keluarga Alan. Jalan setapak belakang gedung perkantoran sampai hapal suara langkah kakinya yang kadang diseret hanya untuk sekedar penghilang sepi.
Di pertigaan jalan, Alan tersadar bahwa ada sebuah kedai kopi yang baru buka beberapa hari ini. Selama ini Ia jarang memperhatikan sekelilingnya. Bak musafir sajak di gurun besi yang menemukan oasis kopi hitam kental, langsung saja Ia sambangi hingga tak peduli lagi akan kehilangan momen menikmati langit senja genit dari jendela kamar sendiri. "Menikmati senja bisa dari mana saja," pikirnya singkat.
Kedai itu tepat berada di pinggir jalan yang memisahkan kawasan perkantoran dan pemukiman. Dari luar, lebih terlihat seperti rumah kayu kecil yang imut, dengan paduan warna coklat dan hitam, dengan susunan palet-palet kayu penghias kedai kopi mungil yang menyediakan kudapan khas sore hari. Walau berukuran 5x6 meter, namun semerbak aroma panggangan kopi berhasil menghasut banyak pejalan kaki untuk sekedar singgah mencicipi segelas cairan hitam kental itu. Ditambah papan tulis didepannya yang menuliskan kata cacian bagi kemacetan jalanan Jakarta, seolah kedai itu paham apa yang dirasakan manusia dungu pecinta jalan raya. Kedai kecil yang memberi harap bagi sejuta pemimpi liar.
Diiringi musik akustik dengan suara ukulele yang khas sayup terdengar, Alan memesan kopi hitam pekat dengan gula terpisah seharga sepuluh ribu rupiah dan duduk dipinggir jendela yang membuatnya dapat menikmati langit senja genit yang sedari tadi menggodanya untuk bercengkerama. Kopi memang pas bila jadi pihak ketiga antara senja dan dirinya. Ia pun menuruti dengan menatap lekat kearah langit sambil menyeruput kopi, tanpa melepas earphone jadulnya yang memutar lagu klasik penenang jiwa. Baginya, dengan earphone itu, cukup menjadi obat penenang dari segala hiruk pikuk dunia. Earphone yang menjadi saksi hidup sedari SMA hingga kini menjadi mahasiswa tua.
Seketika, Ia lupa akan seprai lembut yang menantinya dikamar. Berganti menjadi ingatannya 5 tahun lalu. Di senja yang sama, dengan tatapan langit yang sama, seolah cakrawala membisikkan mantra bahwa hidup itu nyata. Hidup yang tak sempurna, dengan melihat kedua orang tuanya berpisah karena ketidaksamaan cita-cita. Ah, peduli apa Alan pada itu semua, dia hanya ingin bahagia. Dengan hidup bersama tantenya, Ia sudah cukup keras mencoba melepas ingatan tanpa asa. Pesan tantenya cuma satu, segera lulus kuliah, kerja, dan hidup mandiri. "Itu tiga pesan, Tante.." Canda Alan saat awal keputusannya untuk hidup sendiri di kamar kos dengan bantuan tantenya. Karena dengan tinggal di kosan, lebih dekat jaraknya ke kampus ketimbang harus pulang pergi dari rumah tantenya.
Nyengir adalah pilihan terbaik baginya untuk sekedar mengalihkan pikirannya dari hal-hal paling menyebalkan dalam hidupnya itu. Ketimbang larut dalam kesedihan, Ia mengeluarkan novel yang baru Ia beli di toko buku bekas, salah satu lokasi langganannya dekat kampus selain kantin. Seperti buku lainnya yang dimiliki Alan, menulis biodata diri di halaman paling depan buku sudah menjadi kebiasaan. Niatnya sederhana, Ia tak ingin orang lain mengklaim apa yang Alan miliki seenak hati. Buku memang dapat diberi nama, menandakan kepunyaan seseorang. "Bagaimana dengan yang lainnya, yang tak dapat dibubuhi tanda atau hak kepemilikan? Hati misalnya?" Pikir Alan seraya menulis namanya di buku berjudul Sepi karya penulis antah berantah. Masa bodo, Ia semakin malas berpikir. Mungkin lain kali Ia kan membacanya. Mengingat tenggat waktu tugas akhir semakin dekat. Kesukaannya terhadap tulisan kadang membuatnya lupa bahwa Ia juga harus menulis skripsi. Kalau tidak, tahun depan dipastikan akan mengulang lagi.
Semakin sore, kedai itu ternyata semakin ramai dikunjungi ragam mahluk buas bernama manusia Jakarta. Kebanyakan pengunjung yang datang juga dari kalangan mahasiswa yang sekedar mampir membeli kopi untuk dibawa pulang ke kosan. Daerah tempat Alan tinggal memang salah satu kawasan strategis yang berada ditengah kota, dimana terdapat tiga kampus besar yang saling bersaing, dan gedung perkantoran yang menjulang tinggi. Cukup beruntung bagi Alan, tempatnya kos kini terbilang murah dibanding tempat lain yang mematok harga tinggi. Kipas angin tua dan jendela mengarah ke cakrawala menjadi bonus untuk dapat menenangkan diri setiap pulang ke kamar.
Ukuran kedai kopi itu ternyata tidak cukup menampung gairah para penikmat kopi senja. Alan yang sudah cukup lama bercengkerama dengan senja masih malas memberikan tempat duduknya pada orang lain. Hidup memang penuh kompetisi. Pendiriannya kian kokoh untuk menambah lima menit pembicaraan dengan awan kelabu yang datang dan ikut memberikan bahan obrolan antara senja temaram dengan Alan. Kopinya sudah dingin. Antrian sudah memanjang. Kedai semakin berisik. Udara kian sesak. Ukulele mulai tak terdengar. Dua orang wanita disampingnya melirik cangkir Alan yang kian tiris, namun pemiliknya masih enggan menggerakkan bokongnya dari kursi obrolan. Alan tahu tatapan itu. Antara tatapan sinis dan sedikit memohon untuk berbagi ruang. Alan tak mempedulikannya. Ia tak mau tertipu berkali-kali dari tatapan semacam itu. Terakhir kali Ia melihat tatapan seperti itu, adalah saat dirinya berada di bus dan memberikan tempat duduknya pada seorang wanita paruh baya, yang sepanjang jalan tertidur dengan barang belanjaan berserakan di kedua kursi kanan kirinya, mengganggu semua penumpang dengan dengkurannya.
Kian Ia tak tega, lagian kopinya sudah hampir habis, senja juga ingin pamit pulang, kini datang langit gelap dengan segerombolan awan hitam nakal. Alan memilih beranjak dari kursinya dan pergi meninggalkan kursi kosong yang segera direbut oleh kedua wanita itu.
Tanpa menolehkan kepala kearah wanita yang kegirangan mendapat tempat duduk ideal tersebut seraya meninggalkan kedai, Alan berhasil menubrukkan badan seberat 66 kg miliknya ke salah satu pramusaji dengan celemek baru di muka kedai yang terburu-buru masuk kedalam. Pegawai tersebut tanpa ragu segera meminta maaf dan segera melanjutkan pelariannya ke meja kasir sambil melambaikan tangan ke arah teman-teman sesama pelayan lainnya seolah mengisyaratkan permintaan maafnya karena terlambat.
Seraya membenarkan letak tas selempangnya, Alan keluar kedai dan menghilang di belokan selanjutnya, melanjutkan perjalanan dan kembali teringat akan seprai hangat sambil bersenandung ria melupakan segala ingatan sendunya sore itu. Bahkan ingatan akan buku baru yang tertinggal di kedai kopi penyaji masa lalu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Lalu
RomanceInsan mana yang tak berlalu, meninggalkan ribuan luka maupun rindu dengan taburan cinta yang tak menentu. Bukan kisah baru bila berbicara pria dan wanita. Perjalanan menekuni keyakinan-nya lah yang menghantarkan kita di beragam persinggahan memabuk...