Pelataran mushalla kampus menjadi saksi bisu kisah cinta puluhan sepatu dengan sang penjaga mushalla. Layaknya cinta, ada datang dan pergi, haru dan rindu, seperti sepatu kets yang harus kembali pada sang pemilik lugu. Dengan cepatnya mengikatkan temali sepatu dan berlalu meninggalkan tempat duduk batu, secepat itu pulalah kisah cinta si sepatu, pudar ditelan langkah Revi sang mahasiswa tingkat akhir pecandu air wudhu.
Ia mempercepat langkahnya keluar kampus tercinta mengingat sesuap nasi harus Ia kumpulkan demi menjaga perut tetap kondusif dari aksi anarkis para cacing. Tas punggung yang cukup berat, berisikan laptop dan beberapa baju ganti, ditentengnya tanpa pamrih. Tak lupa Ia sapa beberapa satpam yang setia menunggui pintu masuk kampus, sembari memberikan tentengan gorengan tempe dan bakwan untuk cemilan sore mereka. "Wah terima kasih mas, kemaren kan udah." Basa-basi salah satu dari mereka seraya sumringah menerima kantong kresek pemberian Revi yang terus melanjutkan langkah cepatnya meninggalkan kedua mahluk tersebut.
Baru dibelokan jalan pertama yang padat akan kuda besi lalu lalang, handphone Revi bernada dering jadul bersayup memanggil. Diangkatnya telepon sembari menepikan badan di pinggir trotoar, terdengarlah teriakan mencaci yang tak diragukannya lagi bahwa itu suara temannya yang kegirangan akan hasil kerja Revi beberapa hari lalu. Dengan kesukaannya pada fotografi, bakat Revi dimanfaatkan untuk beberapa kegiatan yang cukup membantu bagi teman-temannya. Lumayan, menambah pundi kantong untuk terus mengisi tabungan bulanan. Siapa lagi yang kan membayarkan uang kosannya? Ayahnya telah tiada akibat keganasan asap rokok yang tak pandang bulu meranggas paru-paru korbannya. Ibunya kini hanya bekerja sebagai guru les privat bagi anak-anak di lingkungan tetangga, nun jauh di kampung sana, cukup untuk kebutuhan makan sehari-hari. Untung bagi Revi, kuliahnya dari keringatnya sendiri, beasiswa penuh hingga wisuda nanti, setelah 4 tahun lalu lulus tes dengan persyaratan serba mandiri.
Ini tahun terakhirnya, namun bukan berarti dapat bersantai bak mahasiswa normal lainnya yang bisa berfoya selagi menunggu deadline mendekat. Ujian semakin berat, harga kosan sudah naik, bahkan untuk sekedar photocopy pun semakin mahal. Mengisi keperluan hati? Ia kini berpikir puluhan kali. Cukuplah satu tambatan hati pernah Ia berikan pada gadis manja di kampusnya, sekedar coba-coba, merasakan apa itu cinta di masa yang maha. Kini Ia belum tertarik dengan itu semua, masa depan penuh cucuran peluh siap Ia hadapi. Hidup memang berat, apalagi bagi anak satu-satunya seperti Revi. Adiknya meninggal saat masih menjadi janin. Ibunya keguguran saat Revi berumur 4 tahun. Menjadi anak tunggal justru tak membuat Ia manja. Memangnya, mau manja pada siapa?
Esok, tanggal 5 Maret 2016, ada beberapa pekerjaan tambahan dari temannya yang menelepon tadi. Ia harus membantu mendokumentasikan acara ulang tahun tetangga temannya. "Hal mudah.." Gumam Revi seraya mempercepat langkahnya menuju tempat kerja paruh waktu yang sangat membantunya dalam urusan keuangan, Ia hampir terlambat.
Di persimpangan jalan, Ia melihat sosok wanita tua sedang duduk termenung memandang jalanan berdebu di atas terpal usang, menjajakan dagangan yang tak asing bagi para pejalan. Tisu, rokok, kerupuk, dan beberapa gelas minuman ringan Ia pajang. "Pedagang baru.." pikir Revi yang setiap hari, tiap minggu, tiap bulan, selama empat tahun, melalui jalanan itu. Ya, tempat itu tidak cocok dijadikan tempat berdagang. Semua orang yang lalu lalang disitu memang enggan menghentikan langkah kaki mereka. Revi yang iba menghampiri Ibu tersebut sambil memilih beberapa barang yang sekiranya dapat Ia beli. Tisu, kerupuk, dan sebungkus rokok pun masuk daftar belanjaan dadakannya. Sumringah terpancar dari muka Ibu itu sembari menerima uang Revi. Sebelum melangkah menjauh, Revi sedikit berbisik pada Ibu itu agar berjualan di ujung jalan yang lebih ramai. Selain pejalan kaki yang enggan menepi, tak jarang ada razia dadakan dari sang pembantu polisi. Revi pun berjalan menjauh dan kembali menghilang di belokan selanjutnya.
Lari Ia sekencangnya setelah jam tangannya berkata bahwa Ia sudah terlambat. Seraya berlari, Ia mengeluarkan celemek bertuliskan kedai kopi "Lalu" dan segera mengenakannya. Tanpa pikir panjang, Ia menerobos masuk kedalam tempat Ia bekerja paruh waktu tersebut yang terlihat sudah ramai dan antrian yang mengular. Saking cepatnya Ia menyerbu, tak dilihatnya pelanggan yang hendak keluar dari kedai sehingga terjadilah tubrukan yang tak terelakkan. Secepat rasa sakit di lengan datang, secepat itu pula lah Revi meminta maaf pada pemuda tanggung yang tampak sedikit jengkel seraya memperbaiki letak headsetnya. Pemuda itu berlalu keluar, dan Revi segera menghampiri temannya yang berada di belakang meja kasir sambil melambai pada bosnya yang menatap tajam Revi di kejauhan. Senyum tiga jari dengan gigi putih dan mata yang menyipit coba diberikan Revi pada bosnya, berharap tidak akan mendapat ceramah panjang. Dikeluarkannya rokok yang sempat Ia beli tadi, dan diberikan kepada Ali, teman sesama pekerja paruh waktu yang menjadi barista, sebagai hadiah kejutan. "Sekali-sekali gue ngebantu elu ngerusak paru-paru, gak apa-apalah.." Canda Revi yang melanjutkan pekerjaannya.
Kedai Lalu semakin ramai dengan pencari kopi hitam di sore yang kelabu ini. Walau kedai ini masih baru, namun pengunjung yang datang memadati seperti tak pernah melihat kopi. Mata Revi juga semakin liar berhadapan dengan pelanggan yang terus menyerbu meja kasir tiada henti. Sekelebat, pandangannya berhasil teralihkan oleh dua gadis yang duduk di tepi jendela, bercengkerama. Ia tak asing bagi mata cokelat Revi. Ah, wanita memang tidak asing bagi Revi. Lekuk mereka sama saja. Tapi tidak dengan yang satu ini. Lekuk yang penuh makna dan hasrat akan masa muda penuh bara serta gelora. "Waw." Decaknya seraya menyeka dahi yang berlinang peluh. Kembali Ia fokus dengan pekerjaannya. Dengan cepat pula Ia hapus ingatan akan masa lalunya yang sedang duduk bercanda riang disana dengan sahabatnya, berganti dengan mimpi masa depan cerah hasil kurasan keringat yang tampak tak ingin habis keluar dari ketiak Revi.
Mimpi yang tiada penghujung, mimpi yang perlahan memudar bersama kepulan uap panggangan kopi, menari dengan angin sore berdebu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Lalu
RomanceInsan mana yang tak berlalu, meninggalkan ribuan luka maupun rindu dengan taburan cinta yang tak menentu. Bukan kisah baru bila berbicara pria dan wanita. Perjalanan menekuni keyakinan-nya lah yang menghantarkan kita di beragam persinggahan memabuk...