Pulang
;
Lindra
{3}
Bangsat.
I don't want to sorry about my word. Minumanku tak jadi tertelan. Lelaki-lelaki bedebah itu yang harus meminta maaf. Gelas yang tadinya aku pegang berisi air minum dari dispenser aku letakkan begitu saja. Tidak jadi haus.
Aku membuka pintu pantry dengan sedikit dramatis hingga menimbulkan debuman kecil saat pintu itu kembali tertutup. Membuat mata-mata menoleh ke arah pintu –atau aku— dan membuat mereka seketika salah tingkah mendapati ada aku yang baru saja keluar dari sana.
Aku bener-benar muak. Lelucon-lelucon goblok berbau misoginis dan seksis terlebih humor selangkangan yang membuatku ingin mengiris kuping. Mata-mata yang memandang salah tingkah tadi, kini mulai menampakkan kerling liar yang sesungguhnya. Cuma karena aku menunduk dengan strappy back mini dress yang mencetak sempurna pantat dan payudaraku.
Bangsat bangsat bangsat.
Lekas aku ambil hand bag-ku lalu keluar dari studio foto yang masih ter-setting sempurna dengan lighting yang begitu menyilaukan mata. Dengan cepat aku ganti baju dan memandang malas baju yang barusan terlepas dari badanku. Aku salah tempat pakai baju beginian di antara orang-orang yang otaknya ngga lebih besar dari selangkangannya.
Kalau angels dengan segala pengorbanannya mendapatkan huru-hara yang sepadan saat berjalan di atas catwalk memamerkan panties puluhan dollar dan aku akan tetap jadi pecundang karena tidak bisa melewati dengan elegan mengenai hal yang mengusik pikiranku. Bahwa aku dipastikan menjadi objek fantasi seksual kameramen dan kru foto yang tak pernah absen memandang aku dan beberapa kali mencari kesempatan memegang 'terlalu jauh' dengan dalih mengarahkan gaya.
Ini bukan hidup yang kumau!
[ ]
Dari dalam taksi pukul sebelas malam masih terjadi keriuhan klakson di sana sini. Dihadapkan pada situasi yang sama setiap harinya membuat aku semakin benci tinggal di kota ini. Terlalu kontradiktif. Bukan keseimbangan yang menyenangkan untuk dilihat sebagai keharmonisan.
Ada anak sebelas tahunan penjual tisu terciprat air dari jalan berlubang oleh Mercedes.
Daripada susah-susah membuat rencana strategis Kementrian Sosial untuk rehabilitasi dan dan perlindungan sosial anak melalui peran masyarakat dan keluarga yang cuma jadi formalitas semata mungkin bagi anak terlantar itu ada baiknya kalau Pasal 33 ayat 1 diganti bunyi dengan 'fakir miskin dan anak-anak terlantar terserah mau apa.' Daripada semuanya serba nanggung melihat hasil Convention on The Rights of The Child disusun oleh orang-orang seperti di dalam mobil Mercedes yang saat melihat ke bawah akan terhalang perut buncitnya.
Berbicara tentang anak terlantar aku jadi teringat skripsiku yang tak kunjung selesai.
Uang memang membuatku hilang orientasi.
Sampai di kamar apartemen –yang masih mencicil— mataku pertama kali tertumbuk pada selembar kertas yang membuat sedikit depresi akhir-akhir ini. Surat peringatan kedua dari kampus karena sudah masuk akhir semester sepuluh dan aku belum juga mengajukan sidang skripsi. Aku timang-timang selembar kertas itu tidak pakai sayang dan aku jadi kepikiran kalau sepertinya aku perlu motivasi lebih kalau aku mau dapat S.H di belakang nama Lindra Zesnita Chaniago.
KAMU SEDANG MEMBACA
AKRAB
General FictionTempat paling ideal untuk menyembuhkan luka hati adalah dengan pergi sejauh-jauhnya dari sumber sakit itu berasal. Itulah yang dilakukan Jagratara, seorang magister pertanian yang memiliki dualisme mendadak untuk meneruskan hidupnya. Satwa-satwa su...