Distokia
;Jeihan
{2}
Distokia. Sungsang.
Aku menatap ibu sapi dengan perasaaan teremas-remas begitu tiba di kandang. Beberapa menit yang lalu seorang lelaki yang mungkin tak begitu jauh usianya dariku datang dengan wajah memelas, bercerita ia, sudah dua jam sapinya tidak kunjung melahirkan.
Dan begitu sampai, pemandangan inilah yang menyapaku, kedua kaki depan bayi sapi sudah keluar sebatas lutut. Sedangkan Ibu sapi beberapa kali melenguh dan mengaduh. Kaki bayi sapi itu belum membiru, semoga saja jantungnya masih berderu.
“Sudah berapa lama begini, Uda Azhar?”
“Sudah 2 jam begini, Dok. Ambo la cubo tarik, idak biso la,” sahut lelaki berkaus hitam itu. Aku mengangguk, meski baru sebulan aku tinggal di Baruh Gunung ini, sedikit-sedikit aku mengerti bahasa Minang.
Kubuka ranselku dan segera memakai sarung tangan. Sapi ini perlu segera diinduksi.
Ibu sapi terlihat mulai mengejan semakin sering dan kuat, tetapi bayi sapi tak juga keluar. Kurogoh rahim sapi dengan tangan kananku, lalu memutar kepala bayi yang terlipat ke belakang ke arah depan. Begitu tanganku kutarik, sarungku telah merah berlumur darah. Keringat mulai membanjiri dahi yang terpaksa kuseka dengan lengan baju.
“Kita tunggu 15 menit Uda. Kalau enggak bisa nanti tolong bantu saya, narik ya?”
“Ah, iya, Dok.”
Bayi sapi itu tidak juga keluar, aku mulai cemas sendiri, membayangkan hal yang tidak-tidak seperti bayi sapi ternyata sudah mati di dalam sejak tadi. Siapa pun tidak suka dengan kematian, termasuk ibu sapi sendiri. Ibu sapi bisa saja jadi stres dan depresi.
Aku memandang ke arah Uda Azhar dan seorang lelaki yang sepertinya sejak tadi ikut berdiri mengamati. Entah siapa dia, mungkin kerabat Uda Azhar.
“Uda-uda, saya bisa minta bantuannya? Nanti saya coba lebarkan vulva induknya, lalu tolong bantu tarik kakinya, ya!”
“Iya, iya Dok. Ayo Jag!”
Aku memulai melebarkan vulva induk sapi, suara lenguhan kesakitan terdengar, Uda Azhar dan entah-siapa-dia mulai menarik kaki bayi sapi perlahan-lahan dan ... bayi sapi pun berhasil menyapa dunia.
Kuperiksa denyut jantung bayi sapi, detaknya ada, meski tidak begitu kuat. Kuambil ember hitam di dekat induknya dan menyiram muncung bayi dengan air. Sapi itu mulai bersin-bersin dan perlahan detak jantungnya menguat.
Ibu sapi mulai mendekati bayinya, kuhadapkan bayi sapi itu menyusu. Dan tak lama, ia sudah menyedot puting ibunya. Uda Azhar ikut berjongkok mendekati ibu sapi dan anaknya.
“Alhamdulilah, Marimar. Anak wa’ang selamat,” ucap Uda Azhar sambil mengelus kepala Marimar.
Aku berusaha menahan tawa, tidak menyangka sapi ini diberi nama macam telenovela. Sedangkan entah-siapa-dia hanya tersenyum kecil ketika aku meliriknya. Entah tersenyum padaku atau pada ibu sapi.
[]
Uda Azhar tidak begitu saja membiarkanku pulang. Ia dan istrinya menahanku untuk duduk bersama di halaman belakang dialasi selembar tikar, singkong goreng dan kopi hitam mereka suguhkan. Tentu sebagai perempuan yang hidup sendiri macam anak kost, tawaran ini tidak boleh ditolak, cukup berbasa-basi tidak perlu repot-repot dan memasukkan sepotong singkong ke mulut.
KAMU SEDANG MEMBACA
AKRAB
BeletrieTempat paling ideal untuk menyembuhkan luka hati adalah dengan pergi sejauh-jauhnya dari sumber sakit itu berasal. Itulah yang dilakukan Jagratara, seorang magister pertanian yang memiliki dualisme mendadak untuk meneruskan hidupnya. Satwa-satwa su...