Aku memandangi bayangan diriku sendiri yang terpantul di cermin kamar. Mengamati penampilanku yang selama ini memang jarang kuperhatikan.Ah sial!
Aku selalu merasa bahwa aku ini feminim,elegan dan tipe tipe perempuan pendiam, tapi yang kulihat sekarang apa? Bahkan jauh dari kesan feminim! Rambut dikuncir kuda asal asalan, dengan anak rambut yang masih mencuat disana sini, wajah yang bahkan aku lupa kapan terakhir kali dipoles bedak, dan apa ini? Ada beberapa bekas jerawat yang mengganggu di bagian kening.
Huh! Pantas saja si Ihsan lebih memilih Septi yang cantik, dengan wajah mulus putih yang aku yakin sudah diberi foundation dan bedak setebal satu meter. Apa aku harus pakai bedak dan foundation juga ya?
Oh, lihat! Pipiku juga jadi kelihatan lebih penuh dari sebelumnya, apa aku perlu diet biar tirus seksi macam tante Angelina Jolie?
Aku nggak akan bisa pergi ke sekolah besok jika penampilanku masih seperti ini. Harus ada perubahan yang mencolok biar si kampret satu itu menyesal melepaskanku dan lebih memilih cewek kelas sebelah itu.
Tapi apa yang harus kurubah?
Kulepas karet rambutku, dan membiarkannya tergerai. Menyebalkan, rambutku tidak panjang dan cantik seperti rambut anak perempuan lain. Hanya sebatas bahu, sedikit bergelombang dan agak megar seperti singa. Ah, bagaimana cara mereka menata rambut sih? Kenapa bisa begitu lurus dan rapi meski digerai sepanjang hari?
Sekelebat wajah wanita cantik berambut lurus indah duta shampoo pant*ne mampir di pikiranku. Aku menggeleng cepat mengenyahkan bayangan bidadari cantik yang pernah dikabarkan dekat dengan Seungri tersebut. Ah, andai saja aku secantik dia, aku tidak akan mau mengejar Ihsan seperti ini. Langsung kupinang Seungri sekalian!
Bagaimana bila aku potong rambut saja ya?
-..-
"Elis?" Ranti, teman sekelasku, menatapku heran begitu aku memasuki kelas. Dia melongo.
"Apaan?"
"Kok tumben rambutmu digerai?"
Kuanggukkan kepala sambil tersenyum "Hmm, aku potong sedikit, emangnya aneh ya?'
"Nggak, kamu keliatan imut kok, apalagi ditambah poni kaya gitu"
"Beneran?"
Ranti mengangguk, baiklah aku bisa percaya dia. Soalnya dia itu tipe cewek pendiam yang nggak terpengaruh dengan cewek rumpi di kelasku. "Makasih"
Kulirik bangku baru Ihsan, dia belum datang. Aku terkikik kecil, membayangkannya terkejut dan terpesona saat melihatku saja sudah membuatku bahagia tingkat dewa, apalagi kalau itu terjadi sungguhan?
"Elis?"
Aku berbalik menoleh, mendapati Tian dan Rio melongo menatapku heran. "Ini beneran Elis kan? Elisa? Elisa Yohan?"
"Bukan, ini Raline Shah" Jawabku ngasal.
"Kok? Sekarang insyaf mau bener bener jadi cewek ya? Sumpah, ini pertama kali aku lihat kamu gerai rambut"
"Bagus nggak?"
Rio mendengus lalu terkikik kecil "Pipimu jadi kelihatan tambah chubby, apa apaan ini? Dikasih poni juga? Nggak pantes!"
Cowok pendek itu memekik pelan saat kepalan tanganku dengan mulus mendarat di kepalanya. Aku mendelik. "Yaudah, kalau nggak pantes ya bilang aja nggak pantes! Nggak usah dipertegas juga lagi!"
Tian yang sedari tadi hanya cekikikan pun tak luput dari jurus kepalan tangan batuku.Aku kembali beranjak menuju bangkuku, duduk diam dan menatap keluar lewat jendela, menunggu Ihsan.
Apa yang kulakukan sekarang benar nggak sih? Nggak salah kan kalau aku sedikit merubah diri agar si kampret itu kembali dan tidak menjauh lagi dariku? Entah kenapa aku jadi merasa kalau aku ini sedikit agresif. Yeah, aku menyatakan perasaan lebih dulu dan sekarang aku juga yang mengejar ngejar si Ihsan.
Aku tidak mengerti kenapa aku jadi seperti ini. Padahal rasanya dulu aku selalu merasa jijik pada anak perempuan yang bersifat agresif seperti ini. Kuacak rambutku frustasi, tapi kemudian kurapikan lagi. Kusurukkan kepalaku ke atas meja.
Aku juga merasa jijik pada diriku sendiri.
Sekelebat sosok yang melintas di luar jendela membuatku berjengit. Kutegakkan badanku dan mengamatinya. Itu Ihsan..
Dan Septi!
Mereka berjalan beriringan menuju pintu kelas Septi yang memang ada tepat di sebelah kelasku. Kulihat Ihsan berbicara padanya sambil tertawa tawa, begitupun sebaliknya, kemudian mereka berdua berhenti tepat di depan pintu kelas, saling berpandangan lalu dengan tiba tiba Ihsan menepuk pelan puncak kepala gadis yang tertutup kerudung itu pelan, sambil tersenyum. Aku menelan ludah. Dia terlihat biasa biasa saja, bahkan kelihatannya sama sekali tak terpengaruh oleh pengakuanku kemarin.
Aku mendongak menatap langit langit kelas saat merasakan mataku memanas. Yah, kurasa selama ini aku yang terlalu terbawa perasaan atas semua perlakuannya padaku. Bahkan tak ada raut wajah bersalah yang tampak di wajahnya.
Tanganku meraih tas kembali, beranjak berdiri dan melangkah keluar sembari menekan panggilan cepat nomor dua di ponselku."Ma, aku mau pulang"
-..-
Karena terhalang banyak urusan, chapter ini jadi kubuat lebih pendek karena memang otak ini sudah bener bener stuck :v
Tapi tetep makasih banyak ya yang mau baca coretan gajelas milikuu..
Abis baca jangan lupa ramaikan pojok komen loh :3Thank you..
Love love
Author
KAMU SEDANG MEMBACA
Can't I Love You
Teen FictionBisakah aku mencintaimu, mengisi hatimu dan menjadi orang yang paling berharga untukmu?