Six

59 3 7
                                    


Kuhempaskan badan yang serasa mau patah ini ke single bed dengan sprei biru gelap dengan motif bintang kuning terang.

Mama baru saja pergi dari kamarku setelah menutup pintunya pelan. Meninggalkanku sendirian dengan sepiring kue kering dan segelas susu yang dibawanya tadi. Untung saja beliau tidak bertanya macam macam tentang alasanku pulang lebih awal, karena aku sedang tidak ingin ditanyai.

Aku mendengus pelan sembari meraih ponsel. Tak kusadari tanganku malah membuka file gallery, membuka satu persatu foto candid Ihsan yang selama ini kuambil diam-diam.

Aku tidak suka ini.

                            -..-

"Kamu yakin, Lis?"

Suara berat Aldi menggema di seluruh penjuru basecamp klub radio. Membuatku sedikit berjengit kaget.

"Yup, aku mau fokus ke pelajaranku. Klub radio banyak menyita waktuku."

Laki-laki bermata sipit dan berkulit putih itu menghela nafas keras. "Lalu siapa yang bakal ganti kamu?"

"Banyak, Di."

"Nggak! Nggak bisa! Aku nggak setuju kalau kamu mau keluar dari klub. Ada masalah sama anak klub ini juga ya?"

Aku tersenyum, menggeleng. "Nggak ada. Hanya saja aku mau fokus ke sekolah aja."

"Alasan klise. Tapi yah, mau bagaimana lagi, ini sudah jadi keputusanmu. Kalau kamu berubah pikiran, pintu klub radio masih terbuka lebar buat kamu, Lis."

Kutepuk bahu Aldi beberapa kali. Memang berat rasanya meninggalkan ruangan dan teman teman klub yang lebih dari setahun menemaniku. Tapi akan lebih berat lagi rasanya jika tiap hari aku bertemu Ihsan disini. Cukup di kelas saja aku melihatnya.

Kalau dipikir-pikir, rasanya sikapku memang agak kekanakkan, hanya karena seseorang yang bahkan bukan siapa-siapaku, aku meninggalkan klub yang tidak tahu dan tidak salah apapun.

Tapi mau bagaimana lagi? Kau akan melakukan hal yang sama jika ada di posisiku bukan?

Dengan langkah gontai aku keluar dari ruang radio sambil menunduk, menyusuri gurat lantai marmer yang sudah akrab dimataku selama ini, memikirkan bahwa aku tidak akan berkunjung kesini lagi.

"Lo bener mau keluar dari klub?"

Langkahku terhenti, saat guratan lantai marmer tersebut, bermuara pada sepasang sepatu basket berwarna coklat keabu-abuan dengan garis hijau di bawahnya. Aku mendongak, menatap wajah seseorang yang menghalangi pintu keluar.

"Lo beneran mau keluar?" Dia mengulang pertanyannya lagi.

Aku mengangguk, sambil memasang senyum seikhlas mungkin. "Aku udah bilang Aldi kok."

"Kenapa?"

Dahiku mengernyit tidak mengerti. "Kenapa apanya?"

"Kenapa keluar?"

"Mau fokus belajar."

"Bohong."

"Nggak bohong kok."

"Gara-gara gue ya?"

"Enggak, San! Nggak ada hubungannya sama kamu, nilaiku turun, bagaimana aku mau masuk universitas pilihanku kalau nilai saja jelek. Makanya, aku mau fokus belajar. Sebentar lagi kan kita naik ke kelas tiga."

Ihsan tidak menjawab. Dengan pelan dia bergeser agar tidak menghalangi pintu, membuka jalan untukku. "Ini yang gue takutkan, Lis."

"Kan kamu memang penakut. Jadi aku nggak kaget."

Jawaban itu terlentar sekenanya begitu saja dari bibirku, sambil melangkah lebar lebar menjauhinya.

                             -..-

Kelas begitu ramai saat aku memasukinya. Meira, teman sebangkuku yang sekarang langsung menyambut dengan seyuman lebar seperti biasa.

"Darimana, Lis?"

Kuhempaskan pantat ke kursi kayu keras menyebalkan bernama bangku sekolah ini. "Dari ruang radio."

Gadis cantik itu mengangguk mengerti, tangannya sibuk mengaduk-aduk isi tas, mengambil sesuatu lalu menaruhnya di depanku.

Aku mengernyit. "Apa ini?"

"Tadi ada anak yang nitipin ini ke aku, katanya buat kamu."

"Siapa?"

"Rahasia, yang pasti dari penggemarmu."

Benda itu sebuah kotak kayu kecil berwarna hitam, seperti kotak perhiasan mungkin. Tapi mana mungkin anak SMA punya uang sebanyak itu untuk beli perhiasan.

"Udah! Dibuka aja!" Meira menyela tidak sabar melihatku yang hanya diam sambil membolak-balik kotak tersebut.

Aku tertawa, sembari membukanya.

Isinya sebuah cincin. Bukan cincin emas maupun perak, itu mahal. Cincin silver yang terbuat dari titanium, dengan ukiran huruf hangul.

이승현.

"Lee Seung Hyun?" Gumamku membaca huruf Korea tersebut. Mata Meira berbinar melihatnya.

"Waah! Kamu pasti ditembak pakai cincin! Dia aja tadi suruh ngerahasiain identitasnya dari kamu!"

"Mei?"

"Iya, Lis?"

"Ini dari si Andre anak kelas sepuluh kan?"

"Loh? Kok tahu?"

"Dia jualan K-pop stuff dan aku pesen cincin ini ke dia!"

"HEEEH?! Jadi bukan dari penggemar?"

"Bukanlah! Aku beli sendiri ini."

Tawa kami meledak, membuat beberapa anak mengernyit heran saat melihatnya.

"Oh ya, Lis." Meira berhenti tertawa, lalu mengatur nafasnya sebentar. "Tadi Tian bilang, ada anak kelas sebelah yang nyariin kamu. Ada urusan katanya."

"Siapa?"

"Nggak tahu."

Kembali ku masukkan cincin tadi ke dalam kotaknya lalu menyurukkannya ke dalam tas. Dahiku mengernyit memikirkan sesuatu. Ah, aku baru ingat.

Sehari yang lalu aku membatalkan pesanan cincin itu.

Dengan terburu-buru, kusambar ponsel di saku lalu segera mencari nomor Andre di kontak dan meneleponnya.

                            -..-

Awaaww... akhirnya setelah hiatus lumayan lama, aku apdet jugak! xD
Bingung juga sih mau ngelanjutin cerita kaya gimana karena aku akhir akhir ini nggak ketemu sumber inspirasiku, yaitu si 'Ihsan'!

Tapi tadi siang aku lihat dia, lagi makan nasi pecel di kantin akhirnya aku ikutan makan disituh juga :3 jadi full lagi deh kotak imajinasinyaa..
Duuuhh.. lama nggak nongol dia jadi tambah bening aja cuy!

Hahaha! Yaudah deh, napa jadi malah curcol begini? 

Oh ya, sengaja aku buat pendek karena chapt ini cuma buat penghubung antara chapt sebelumnya sama setelah ini. Biar penasaran juga seeh :3

Kripik pedasnya mastah ^^
Terima kasiih

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Oct 21, 2021 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Can't I Love YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang