Rating: Semua Umur
"Cepeda, cepeda, loda tiga ... Kalin main cepeda loda tiga." Nyanyi Karin dengan nada dan lirik karangannya sendiri saat mengendarai sepeda roda tiga miliknya.
Di lain sisi Dimas yang sejak tadi mengamati gadis kecil itu bermain mendekati dan menghalangi laju sepeda roda tiga milik Karin. "Dimas cono'! Mau Kalin tabak, ya!"
Dimas tetap bergeming di tempatnya berdiri. Membuat Karin menabrakkan sepedanya berkali-kali ke kaki Dimas dengan sengaja. "Kalin tabak, nih! Tabak! Tabak lagi!"
"Dih ..., ada anak kecil nakal naik sepeda! Tahu engga kalau anak kecil naik sepeda sembarangan bakal tangkap polisi," kata Dimas setelah ia selesai berpura-pura mengaduh-aduh kesakitan saat ditabrak Karin.
"Di cini 'ngga ada polici. Tapi 'lo Kalin ditangkep, Papa Kalin 'ntal yang ngelualin Kalin," balas Karin sebelum ia kembali menabrakkan sepedanya ke kaki Dimas.
"Karin kita main yuk!"
"Main apa? Dimas mau jadi guguk Kalin lagi ya?"
Karin menyinggung permainan yang mereka lakukan sebelumnya. Di mana ia dan Dimas bermain permainan 'Majikan dan Peliharaan' dengan posisi Karin sebagai majikan dan Dimas sebagai anjing penurut. Permainan yang Karin ciptakan seusai menonton film Lassie.
"Bukan sekarang kita main polisi-polisian. Aku jadi polisinya, Karin jadi orang yang naik sepeda," terang Dimas.
Karin memperhatikan Dimas beberapa saat untuk mempertimbangkan tawaran permainan baru itu. Sebelum berkata, "Ya udah deh, Kalin mau main." Karin setuju karena berpikir, toh, dia masih bisa bersepeda.
"Kalau begitu Karin aku tangkep." Sambil mengatakan itu Dimas mengangkat tubuh Karin dari sepeda roda tiga miliknya. Tanpa memedulikan gadis itu memberontak dalam gendongannya.
"Kok Kalin ditangkep!"
"Iya ditangkep karena Karin nakal waktu naik sepeda."
"Dimas culang! Tulunin Kalin 'ngga! 'lo 'ngga Kalin gigit lo'!"
"Melawan dan mengancam polisi. Tambah hukuman kurung," kata Dimas sambil mengurung Karin dalam pelukannya. Sementara Karin memukuli Dimas dengan kepalan kecilnya.
Di lantai dua, dari jendela ruangan tidur utama, Ferian mengamati anak gadisnya yang tengah bermain dengan sepupunya itu.
"Nina," kata Ferian memanggil istrinya.
"Ada apa, Ian?" jawab Karenina.
Ferian berdiam diri cukup lama sebelum meneruskan, "Tidak kah kau berpikir, jika perilaku Dimas terhadap Karin kita tidak wajar."
Dahi Karenina berkerut mendengar itu. Kemudian ia menghampiri Ferian dan melihat ke luar jendela. Di mana perhatian Ferian terpusat. Di sana terlihat anak mereka, Karinna, sedang memukuli Dimas, sementara si Korban Pemukulan malah tertawa dan mengangkat gadis itu tinggi-tinggi.
Karenina berpikir tidak ada yang salah dengan hal itu. Malah apa yang ia lihat tergolong manis. "Aku pikir tidak ada yang salah. Dimas hanya bermain dengan Karin."
Perkataan Karenina memunculkan ekspresi aneh di wajah Ferian.
"Saya pikir jika bermain melihatkan kontak fisik yang berlebihan itu sudah tidak wajar." Ferian menyinggung tingkah Dimas yang sering memeluk dan mencium gadis kecilnya.
"Ian ... kamu terlalu khawatir," kata Karenina sambil tersenyum, "aku pikir Dimas hanya menganggap Karin sebagai adiknya saja."
"Nina, saya ini sama dengan Dimas. Sama-sama seorang pria. Meski usia saya lebih dewasa dan Dimas merupakan anak-anak, sedikit banyak saya tahu apa yang dia pikirkan."
Karenina bingung saat itu. "Maksudmu apa, Ian?"
"Dia," Ferian merujuk pada Dimas, "menginginkan Karinna kita. Dan bukan sebagai adik."
Tanpa bisa ditahan tawa Karenina meledak mendengar asumsi Ferian yang menurutnya konyol. Bagaimana mungkin suaminya yang tenang dan dingin itu memiliki kecurigaan tanpa dasar yang benar-benar tidak masuk akal. Mencurigai anak berumur 7 tahun menyimpan perasaan pada anak mereka.
Di lain pihak Ferian hanya memandang Karenina yang saat ini tengah tertawa. Ia merasakan frustasi akan tingkat ketidaksadaran istrinya menyangkut hal-hal yang seperti ini, dan menaruh sedikit, benar-benar sedikit pada Andrian dan Aditya yang dulu sebegitu jelas memaparkan rasa namun Karenina tidak pernah menyadarinya. Meski Ferian sedikit banyak diuntungkan oleh sikap Karenina yang seperti itu.
Karenina berhenti tertawa saat menyadari bahwa Ferian tidak menganggap lucu asumsi mengenai Dimas seperti dirinya. Dengan kedua tangan ditangkupnya wajah Ferian dan memaksa pria itu menatapnya. "Kamu jangan terlalu khawatir. Oke?"
Ferian tidak mengatakan apa pun untuk menjawab perkataan Karenina. Sebagai gantinya malah menundukkan kepala dan mencium Karenina. Sebelum ciuman mereka semakin larut dan tidak menyisakan ruang untuk akal sehatnya, Ferian berpikir bahwa mulai saat ini ia akan mengawasi tindak-tanduk Dimas.
Karena tidak seperti halnya Karenina, Ferian tahu dengan baik apa yang ada dalam pikiran Dimas. Sebab mereka sama-sama seorang pria.
Sama-sama Pria - Selesai
KAMU SEDANG MEMBACA
Kisah Rahasia [Rangkaian Keluarga Wijaya]
RomanceKompilasi rasa dari sebuah rahasia.