"Iya. Memang kenapa? Ingat perjanjian Renville? Perjanjian itu mengantarakan kemunduran menteri pertahanan, Amir Sjarifoedin Harahap." Budi makin geram.
"Belanda memang licik. Mereka juga pintar. Segala perundingan dilakukan. Pastinya, bangsa kita akan selalu dirugikan olehnya!" Komentarku." Diatas kapal perang USS Renville, mereka menolak usul Indonesia untuk menyelesaikan persoalan politik sebelum membicarakan gencatan senjata." Aku ikut geram.
"Jawa Timur yang kita pertahankan bersama malah diberikan kepada Belanda. Kita hanya punya Yogyakarta, sebagian Jawa Tengah, dan pulau Sumatera!" Budi ikut mengomentari." Lalu, kau mau apa ke Madiun?"
"Saya ingin bertemu Ibu saya, Mas!"
"Oke! Akan kuantar kau dengan selamat."
Ibu terlihat sehat dari sebelumnya. Bahkan seperti tidak sakit. Aku bersyukur. Pastinya! Karena kukira tentara merah akan membasmi habis-habisan orang tua. Betul, mereka tidak memberontak. Atas kebaikan Budi, Mbak Dinda bisa pulang dengan selamat. Ibu sangat resah, mengira kami ditawan tentara merah.
"Haduuh....Ibu sampai tidak dapat memejamkan mata untuk tidur sejenak." Kata Ibu sambil memeluk kami.
"Ibu istirahat saja."
"Tidak usah! Kalian saja!" Ibu mempersilahkan aku dan Mbak Dinda masuk.
Malah kukira, ini adalah kejadian paling bodoh. Aku harus memikirkan ini 1001 kali untuk menerima tawaran Ibu, karena...simpatisan PKI lain masuk ke rumah. Aku baru sadar saat melihat Ibu meminta tolong. Segera kuambil bayonet. Dengan perasaan campur aduk, aku keluar. Tapi...
"ANDA DITANGKAP!!!!!!!"
****
Semangat para pendengar mulai muncul. Keringat bercucuran karena jam 16.30 di taman sangat panas. Mereka banyak yang geram. Ada juga yang marah. Pak Budi bingung dengan amarah para pendengarnya itu.
"Ada yang salah?"
"Kenapa kakek Anda ditangkap PKI?" Tanya seorang pemuda.
"Entahlah, padahal Mbah tidak pernah ikut campur politik. Soal itu juga mungkin karena Ismail." Jawab Pak Budi.
Murid kelas VB terdiam. Arti PKI saja mereka tidak tahu. Yang penting ceritanya seru.
"Ayo, Pak! Lanjutkan!!" Seru Haikal.
****
Aku masih bingung.
Tujuanku ke Madiun hanya untuk bertemu Ibu. Bukan mengacaukan situasi Madiun yang –katanya– akan menjadi seperti Soviet. Mungkin mereka mengiraku anggota TNI. Pasti topi pejuang dan bayonet pemberian Mas Bagas di Surabaya 3 tahun silam yang kurawat baik. Mereka membawaku ke sebuah tempat. Aku makin bingung.
"Mas! Saya bukan tentara!" Seruku membela diri.
"Namamu Anwari, bukan?" Tanya salah seorang tentara.
"Huh! Apa salahnya kalau namaku Anwari? Semburku." Kalian mengiraku TNI? Anak buah Gatot Soebroto? Tidak!"
"Dasar! Kenalkah kau dengan Ismail? Dia adalah tentara merah! Dan kami tahu, Ismail dan engkau bersama-sama menghalau sekutu di Surabaya pada November 1945! Kalau kau dan Ismail adalah teman seperjuangan, berarti kamu punya urusan dengan PKI!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Antar!!!
Historical Fiction"Le, berapa umurmu?" Tanya Pak Dhe. Aku gugup sejenak." 16 tahun, Pak Dhe!" "Pernah ikut perang?" "Pernah...waktu di Surabaya tahun 1945....." "Kamu tidak takut kehilangan orangtuamu? Atau kalau kamu gugur, orangtuamu tidak sedih?" Ini kisah hidup...