E P I L O G (END)

299 30 16
                                    

Pak Budi kaget.

Kakeknya itu...sebenarnya menyayanginya sepenuh hati? Jadi yang sebenarnya membenci dia adalah Mbah Bagus? Seketika, ia mulai pusing. Seluruh tubuhnya capai. Dan merasa bersalah.

Buku catatan Mbah Anwar (panggilnya gitu aja, ya...) jatuh.

Tampak sebuah foto lusuh yang diselipkan di belakang buku. Itu foto Bung Tomo. Mbah memang nge-fans dengan Bung Tomo dan Jenderal Soedirman. Tapi mungkin Mbah lebih nge-fans dengan Bung Tomo itu. Tiba-tiba, ponsel Pak Budi bergetar. Ada telepon masuk. Nomornya tak dikenal.

"Assalamualaikum. Ini siapa?" Tanya Pak Budi.

"Walaikum salam, Budi!! Ini Mbah! Mbah Anwar! Apa kabar, Bud?" Terdengar suara seorang kakek diujung telepon.

"MBAH ANWAR??? Eh, baik-baik saja, Mbah. Ini nomer telepon Mbah, tho?" Pak Budi menegakkan duduknya.

"Mbah habis dibelikan hape baru oleh Ibu-Bapakmu, Budi! Kamu lagi di Jakarta? Kenapa tidak bilang-bilang? "

"Soalnya..."

"Kamu 'kan sudah gede, toh, Bud. Kalau pindah bilang-bilang. Jangan seperti kabur begitu!"

"Maaf, Mbah. Budi pindah karena..."

"Karena Mbah sering marahin Budi? Lha, bukannya buku diary Mbah ada di kamu? Kok masih marah?"

Pak Budi terkikik. Rupanya catatan perjuangan Mbah Anwar disebut diary oleh penulisnya sendiri. "Dari mana Mbah tahu?"

"Dari kakakmu, lah! Mbah kan sering mengorek informasi!! Mbah kan Sherlock Holmes!!"

Pak Budi masih terkikik. Mbah-nya ini kadang lucu, kadang juga menyebalkan.

"Hari ini Mbah lagi di kereta. Mau nyusul kamu. Nanti pagi jemput Mbah di Stasiun Gambir. Itu lho...yang deket lapangan Ikada..."

"Lapangan Ikada gak ada lagi, Mbah!! Sekarang jadi Monas!!!" Seru Pak Budi imut.

"Salah, ya? Ya udah! Pokoknya jemput Mbah besok pagi jam 3!!" Mbah langsung menutup telepon.

Mbah menyusulnya? Kok aneh? Pak Budi tak mau tahu. Ia langsung masuk ke kamar mandi untuk salat Isya.


Pagi harinya, hari Sabtu.

Hussein, Daffa, Mellisa, Haikal, dan Daniel sedang berjalan-jalan di taman. Pagi yang cerah. Di lapangan masih terdapat genangan air. Hujan semalam memang sangat lebat. Untung saja hujan itu tak menyebabkan hancurnya pohon beringin keramat di komplek mereka, Komplek Kasuari.

"Eh, guys! Itu Pak Budi, ya? Kakek-kakek yang disitu siapa?" Tanya Daniel.

"Mana kutahu!" Sahut Daffa.

"Jangan-jangan..." Haikal memandang sahabatnya dengan tatapan aneh.

"KAKEKNYA PAK BUDIII!!!!!!" Teriak kelima anak kelas V B itu.

Pak Budi menengok. Kakek yang diduga Mbah Anwar juga menengok.

"Loh, kalian, tho?" Pak Budi menatap mereka berlima sambil senyum.

Mbah Anwar langsung nyengir kuda. Ia lantas menyalami kelima anak itu kuat-kuat.

"Hussein, Mba-" Hussein memperkenalkan diri. Namun, tangannya sudah sakit duluan.

Daniel, Mellisa, Haikal, dan Daffa juga kesakitan.

"Nama saya Anwari Wijaksono. Veteran 45!" Seru beliau sambil mencoba nge-dab.

Mereka berlima tertawa kencang. Pak Budi merasa Mbahnya ini ada-ada saja. Akhirnya, ia langsung menurunkan tangan Mbah Anwar.

"Makan dulu, Mbah. Belum sarapan dari jam 6 lho.." kata Pak Budi.

"Ya udah. Mbah juga laper. Pingin makan bubur!!" Seru Mbah Anwar.

"Ooh...ya sudah. Nak, dimana warung makan yang menyediakan bubur? Buburnya juga harus enak, ya?" Tanya Pak Budi.

Kata-kata itu sontak mengagetkan Mbah Anwar. "BUDIII!!! Nikah kok gak bilang-bilang???"

"Itu bukan anak Budi, Mbah!!" Seru Pak Budi." Itu muridnya Budi. Budi 'kan sudah jadi guru sekarang!"

"OOOOH!!!! Pak Budi masih jomblo, ya??? Ciee!!!" Goda Mellisa.

Muka Pak Budi memerah." Sudah, ah. Mbah makan dulu. Hei, dimana warung bubur itu?"

"Ooh. Mari kita antar, Pak, Mbah." Hussein langsung berjalan didepan.


Warung itu terletak di Jl. Haji Suri, bagian dari Komplek Kasuari. Mbah Anwar memakan bubur ayam dengan lahap. Perjalanan lama membuat perutnya kosong. Ia lapar.

"Tadi malam Mbah belum makan, ya?" Daffa menatap usil Mbah Anwar.

"Belum." Jawab Mbah Anwar.

Mellisa memajukan kursinya. "Mbah, pernah ketemu sama Bung Tomo?" Tanyanya.

Mbah Anwar mengangguk mantap. Ia langsung menegakkan badannya dan menngacungkan sendoknya. Mulut Mbah Anwar masih penuh bubur.

"Ganteng, gak?" Mellisa bertanya lagi.

Pak Budi langsung membenamkan muka dengan perasaan malu.

"Wuuiis....GANTENG BANGET, CUK!!! Melebihi pak gurumu ini!!!" Teriak Mbah Anwar. Para pengunjung menatap beliau dengan bingung.

"Masa?" Haikal memandang tak percaya.

Mbah Anwar membuka mulut. Tapi seorang pria datang. Seperti biasa, berbalut seragam TNI-AL. Pria itu ayah Haikal.

"Waah!!! Saya orang baik-baik, Mas!!!" Seru Mbah Anwar.

"Hahaha...saya tahu. Anda Mbah Anwari, kan? Kakeknya Pak Budi?" Sahut ayah Haikal.

"Waah...terkenal juga Mbah!!" Pak Budi tertawa sinis.

"WOAA!!! JENDERAL TNI MENGENALKUU????" Mbah Anwar terlonjak girang sekali.

"Tidak kenal juga, cuman pernah dengar kemarin di cerita Pak Budi." Bantah ayah Haikal.

Mbah Anwar menunduk kecewa.

"Oh, ya. Kenapa Anda memanggil Jenderal Soedirman dengan nama 'Pak Dhe'?"

"Yaah...karena disuruh!! Pak Dhe itu akrab sama anak buah. Orangnya baik! Jenderal sejati!!" Mbah Anwar menyendok kembali bubur. "Dan ingat, Pak Dhe punya dwitunggal, yaitu Tan Malaka-Soedirman!" Jeda sejenak," Tan Malaka tuh tahu banget perasaan Pak Dhe. Yaitu kesal dengan Sjahrir!!"

"Pernah ketemu Tan Malaka?" Daniel bertanya sambil memegang bungkus cokelat.

Mbah Anwar hanya menggeleng. Beliau menengok kearah Pak Budi.

"Budiiii!!!! Makan dulu buburnya!!!" Sekejap, Mbah langsung menyuapi Pak Budi.

Pak Budi langsung malu." Budi bisa makan sendiriii!!!" Pak Budi berusaha merebut sendok, tapi Mbah Anwar malah berhasil menyuapinya lagi.

Mereka semua sontak tertawa. Memang yang namanya kasih sayang, Mbah Anwar sontak mencium pipi Pak Budi. Tambah merah merona-lah pipi Pak Budi itu. Ia langsung membenamkan mukanya kembali.

"Sayang banget, Mbah sama Pak Budi!!" Komentar Daffa.

"Iya, dong. Dia ini anaknya pendiam. Tapi suka keluyuran tanpa izin. Budiii, Budiii!!!" Mbah Anwar mencubiti pipi Pak Budi.

Mereka kembali tertawa.

Mbah Anwar akhirnya menyudahi makannya. Ia langsung mengambil teh manis dihadapannya. Sontak ia terkejut.

"Kenapa Mbah??" Tanya Daniel, Daffa, Mellisa, Haikal, dan Hussein kompak.

"Siapa disini yang mau jadi tentara?" Mbah Anwar menatap satu-persatu kelima anak polos itu.

"Aku!! Aku mau jadi tentara!! Seperti ayahku!!" Haikal langsung unjuk tangan keatas.

Kata-kata Haikal tadi  membuat Jenderal TNI-AL itu tersenyum manis dan mengelus kepala anak bungsunya.

Mbah tertawa." Tentara," beliau menyeruput teh manis, "adalah tempat menderita dan tempat korban perasaan..."

                          
                                  TAMAT

Antar!!!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang