"Setelah itu, PKI tumbuh kembali! Pemimpinnya adalah Dipa Nusantara Aidit! Namun pada 1965, PKI memberontak. Mereka membunuh 7 jenderal TNI! Setelah itu, PKI resmi dibubarkan!" Jawab Haikal.
"Soal siapa dalang G30S kita masih belum tahu. Sejarahnya simpang-siur. Letkol Untung memang punya kedekatan dengan partai itu. Namun, yah...masih jadi misteri." Pak Yanto membenarkan ucapan Haikal.
Pak Budi mengangguk." Mari kita bahas cerita yang baru."
"Tentang apa??" Bayu menatap Pak Budi penuh harap.
"Tentang...Gerilya!!!" Seru Pak Budi.
"Ada Jenderal Soedirman???" Haikal bertanya semangat.
"Yup! 19 Desember 1948, Panglima Besar Jenderal Soedirman memilih jalan bergerilya untuk melawan Belanda. Disitu, Mbah diajak oleh Mbah Bagus (Disini disebut Mas Bagus)! Jangan anggap Gerilya itu gampang! Selama agresi militer Belanda ke II. Korban Indonesia yang gugur ada 51.207, luka-luka 2.168, hilang atau ditawan 41.865. Sedangkan korban Belanda yang gugur 1.109, luka-luka 2.539, dan hilang atau ditawan ada 128." Jelas Pak Budi. " Bagaimana kalau Bapak jelaskan dulu tentang Panglima Besar Jenderal Soedirman dan Letjen Simon Hendrik Spoor?"
"Simon, Simon itu siapa?" Tanya Hussein.
"Oke! Jenderal Soedirman lahir di Purbalingga, Jawa Tengah pada 24 Januari 1916. Beliau mendapat pendidikan militer di Pembela Tanah Air pada 1943. Kariernya adalah Komandan Batalyon Kroya saat zaman Jepang, Panglima TKR Banyumas pada 1945, dan Panglima Besar TKR/TNI pada tahun 1945 juga! Pasukan Soedirman sama sekali tidak ada datanya. Persenjataannya adalah senapan Jepang, Sten Gun dan Owen Gun; senapan mesin lewis, Maxim water mantle, bren; mortir ringan terkidanto, senapan anti-serangan udara 12,7 mm." Jelas Pak Budi sambil memegang handphone. Sudah tentu Pak Budi mencari di internet.
"Keren! Emejing!" Seru Anton."Strateginya Soedirman apa?"
"Pertama, melepaskan pertahanan kota besar dari jaringan jalan raya; membuat kantong-kantong Gerilya. Kedua, melakukan perang gerilya dan sabotase. Dan yang ketiga, melakukan wingate atau kembali ke daerah asal bagi satuan yang hijrah ke Jogja setelah Perjanjian Renville!"
"Keren! Kalau yang Simon itu?" Hussein kembali bertanya.
"Letnan Jenderal Hendrik Spoor mendapat pendidikan di Koninklijik Militaire Academie, Breda pada 1923, Hogere Krijgschool atau sekolah staf komando di Den Haag pada 1929. Jumlah pasukan sekitar 15 ribu personel dan pernah menjadi Panglima Sekutu Asia-Pasifik!"
"15 ribu? Banyak banget! Pasti senjatanya lebih banyak daripada Jenderal Soedirman!" Tebak Dennis, sahabat Aryo.
"Iya, betul sekali Dennis! Persenjataan mereka ada Artileri atau mortir, dan meriam howitzer. Kendaraan, yaitu jip Willys 1944 MB 80 unit, truk REO dan GMC 300 unit, pansel Humber 50 unit, tank stuart 20 unit, pesawat 87 unit, ada pengebom Mitchell B-25, penyerang Mustang P-51 dan Kittyhawk P40, pengangkut Dakota C47 dan Lockheed 12, pemburu Spitfire." Jelas Pak Budi puding karena susah menyebut namanya.
"Strategi mereka pasti licik!" Tebak Haikal.
"Strategi mereka adalah: Pertama, mobilisasi seluruh pasukan di Jawa-Sumatera. Kedua, serangan mendadak berskala besar ke dalam wilayah musuh melalui operasi lintas udara, jalan darat, dan operasi amfibi." Pak Budi berhenti.
"Hanya dua?"
"Dan yang terakhir –misi utama–, menangkap pemimpin Indonesia, MENGHANCURKAN KEKUATAN TENTARA INDONESIA!" Muka Pak Yanto langsung berapi-api.
"Jahat!"
"Licik!"
"Kejam!"
Pak Budi hanya bisa memandang mereka sambil senyum dan geleng-geleng kepala. Anak-anaknya memang begitu. Pak Yanto menengok kearah buku catatan kakek Pak Budi. Rupanya tulisan dalam catatan itu memakai ejaan dulu!
****
Tak bersama Ismail? Aku tak pernah menyesali kepergiannya. Semoga saja, aku dapat berjuang bersama Mas Bagus, Mas Hendra, dan para pejuang lain. Mas Bagus rupanya ikut penumpasan PKI di Yogyakarta September lalu.
Tak kusangka!
Agresi Militer Belanda kedua ini, aku entah mimpi apa semalam! Aku bertemu...aduh!! Idolaku selain Bung Tomo, sepanjang masa ku idolakan...Jenderal Soedirman!! Aku tak bisa menggambarkan rasa senangku saat bertemu dengannya. Aku tahu, ini bukan misi asal-asalan. Pak Dhe –panggilan beliau–, lebih memilih jalan perang daripada diplomasi. Tentulah, perundingan bikin kepala pusing.Awal perjalanan kita, 19 Desember 1948.
Pak Dhe ditandu. Walaupun beliau terkena tuberkolosis, Pak Dhe masih terus berjuang. Kata beliau, 'yang sakit itu Soedirman. Panglima Besar tak pernah sakit.' Waah!!! Sebegitukah? Aku tak menyangka. Para pengawal Pak Dhe, Latief Hendraningrat, Tjokropranolo, Soeparjo Roestam, dan para warga yang dengan sukarela bantu-membantu memegangi tandu. Berkali-kali kudengar Pak Dhe batuk-batuk. Itulah, di saat sakit pun, Pak Dhe tetap tak pernah berhenti merokok. Kalau dibilang, sih...kecanduan. Tubuhnya sudah kurus, memakai beskap, jas panjang, dan membawa sebilah keris –yang dibilang sakti–.
Sebenarnya, dalam hati, Pak Dhe kesal dengan Sukarno-Hatta. Mereka diminta Pak Dhe bergerilya. Namun, seperti diceritakan Tjokropranolo, Bung Karno berkata;
"Engkau seorang prajurit. Tempatmu di medan pertempuran dengan anak buahmu. Dan tempatmu bukanlah tempat pelarian untukku. Aku harus tinggal disini, sehingga memungkinkan aku untuk berunding dan memimpin rakyat kita semua."
KAMU SEDANG MEMBACA
Antar!!!
Historical Fiction"Le, berapa umurmu?" Tanya Pak Dhe. Aku gugup sejenak." 16 tahun, Pak Dhe!" "Pernah ikut perang?" "Pernah...waktu di Surabaya tahun 1945....." "Kamu tidak takut kehilangan orangtuamu? Atau kalau kamu gugur, orangtuamu tidak sedih?" Ini kisah hidup...