Prolog

248 12 3
                                    

Bulir hujan satu persatu berjatuhan dari atas genting menuju tanah basah yang sudah diguyur hujan sejak 30 menit yang lalu. Bau tanah yang menyerbak memenuhi indra penciuman, menjadikan aroma suasana kesedihan menjadi lebih terasa. Serta bunyi rintik air hujan yang menjadi alunan tangisan milik Raisa.

Jam yang tengah tenang bertengger di nakas, dengan setia menunjukkan pukul 16.15 Waktu Jakarta. Namun tidak membuat Raisa bangkit dari tempat ia menelungkupkan wajah-nya sambil terus menitikkan air mata.

Ia masih enggan melihat jendela yang sudah memperlihatkan bulir hujan yang menempel di kaca. Ia juga enggan melihat suasana yang sudah memperlihatkan senja akan datang.

Ia tak mau.

Sama sekali tidak mau melakukan aktivitas apapun. Bahkan mengangkat wajah-nya dari bantal pun dirasa akan sulit untuk ia lakukan saat ini. Tubuh-nya terasa lemas, kepala-nya terasa sangat pening, serta mata sembab dan hidung yang terus mendengus karena sulit menghirup udara. Ia kacau. Sangat kacau!

Sudah tujuh kali Raisa menghiraukan panggilan dari Sonya, bunda-nya. Sonya yang masih terus setia berdiri, menunggu putri-nya membuka pintu kamar dan mulai menceritakan apa yang terjadi. Namun sejak putri-nya masuk ke dalam kamar-nya tak sedikitpun Raisa membuka mulut-nya untuk mempersilahkan Sonya masuk. Sudah 2 jam lebih semenjak kepulangan Raisa bertemu dengan Evan, ia langsung masuk kamar dan mengunci-nya rapat. Sonya yang melihat ada yang ganjal dari putri-nya itu langsung menghampiri dan sampai saat ini belum ada perkembangan apapun.

"Sayangku, ceritakan apa yang terjadi pada Bunda. Jangan seperti ini, bunda mohon." lirih Sonya. Namun hening lah yang menjawab ke khawatiran-nya.

"Apa yang terjadi sayang? Come on! Biarkan Bunda masuk, buka pintu-nya sayang." paksa-nya kembali. Sonya bisa merasakan apa yang sedang putri-nya alami, sudah sekian lebih Raisa murung dan tidak pernah sekalipun Sonya mendengar putri-nya menceritakan tentang Evan, pacar 2 bulan-nya. Biasanya Raisa akan bersemangat saat menceritakan tentang kekasih yang masih dibilang Baru tersebut, Sonya bahkan sesekali tersenyum saat mendengar cerita antusias putri semata wayang-nya tentang kekasih kedua kalinya yang hadir dikehidupan putri-nya. Setelah hubungan Raisa berakhir dengan Fahri, Sonya tak pernah lagi mendengar kedekatan putri-nya dengan teman laki-lakinya. Raisa lebih sering menghabiskan waktunya dengan mengikuti kegiatan-kegiatan ekstrakurikuler disekolah-nya. Sonya mengerti semua itu Raisa lakukan untuk melupakan mantan pacar-nya itu. Namun 3 bulan yang lalu, putri-nya kembali menceritakan tentang kedekatan-nya dengan seseorang bernama Evan. Bahkan Evan sampai datang kerumah untuk bertemu Sonya dan berkenalan, sampai Sonya memberikan kepercayaan penuh terhadap Evan untuk menjaga Raisa saat berada disekolah. Namun saat ini, Sonya merasa telah salah memberikan kepercayaan terhadap Evan. Karena pada kenyataan saat ini, putri-nya tengah menangis sepulang bertemu dengan Pacar-nya tersebut. Sudah ia duga pasti ada sesuatu.

Sampai akhir-nya Raisa mau membuka mulut-nya. "Bunda, aku hanya ingin sendiri dulu. Mungkin lain kali akan aku ceritakan namun tidak untuk hari ini." suara serak dan pelan Raisa bisa terdengar jelas dari balik pintu kamar. "Baiklah, apapun masalahmu yang kuat sayang. Kalo mau makan sudah Bunda sediakan di meja makan." ingat Sonya dan putri-nya tersebut hanya berdehem.

Raisa yang tengah menyandarkan kepala-nya diatas bantal mulai mengusap air mata di pipi basah-nya. Setelah insiden berakhirnya hubungan mereka siang tadi membuat kaki-nya seperti tidak bisa menahan bobot tubuh-nya. Ia meraih benda berbentuk pipih dan membuka kunci layar ponsel-nya, wajah Evan-lah yang langsung muncul di hadapan-nya, karena memang foto Evan ia jadikan Wallpaper dan belum sempat Raisa mengganti-nya. Serasa di tusuk puluhan tombak, keping-keping ingatan saat Evan meninggalkan-nya pun muncul seakan-akan enggan untuk pergi. Ia mengusap pipi-nya yang kembali basah, ia tidak menghiraukan wajah mantan kekasih-nya itu yang tengah tersenyum damai, namun tidak se-damai hati Raisa saat ini.

Raisa menghidupkan sambungan data ponsel-nya, pesan Line masuk sampai ponsel-nya bergetar hebat. Berbagai Line yang masuk di dominasi dari kedua sahabat-nya Adira dan Kevin. Selebih-nya dari beberapa teman sekelas-nya yang menanyakan tugas. Tidak terlihat pesan apapun dari Evan. Raisa tersenyum getir, ia sadar semua tidak akan seperti dulu. Tidak akan ada Evan yang mengirimi pesan, tidak ada spam line dari Evan, tidak ada lagi yang mengatakan hal-hal manis yang selalu membuat Raisa melting, tidak ada lagi Evan yang kerap kali memberikan-nya kejutan manis. Tidak ada!

"Terlalu banyak yang kamu lakukan ke aku selama ini, sampe aku lupa harus melupakan kamu secepat ini." lirih-nya. "Meskipun hanya 2 bulan, tapi selama itu yang kamu lakuin ke aku banyak. Banyak banget, van. Entah apa alasan kamu mengakhiri begitu aja hubungan ini. Aku engga ngerti jelas apa kesalahan aku, bahkan kamu jelasin ke aku aja enggak, van!

"Kamu itu punya hati atau engga sih? Selama ini kamu beneran sayang atau engga sama aku? Aku gak berpikir kalo semua akan berakhir secepat dan semengenaskan ini. I love you so much, van. So much! Tapi apa kamu juga cinta sama aku?.

"Haha." tawa-nya sinis. "Aku rasa enggak, van. Selama ini kamu cuman manis karena menutupi apa yang kamu rasain sebenernya sama aku. Perasaan kamu ke aku itu hampa, hambar. Gak ada rasa! ."

Lagi-lagi tangis Raisa pecah. Ia teringat saat Evan berjanji mengatakan bahwa ia tidak akan meninggalkan Raisa sampai kapanpun, bahkan Evan menjanjikan hubungan mereka sampai dewasa akan tetap berlanjut. Mereka sudah merencakan semuanya, saat mereka kuliah akan tetap bersama menjalin hubungan ini. Semua itu sudah membayang dengan baik dan tersimpan dalam angan Raisa. Namun dengan mudah-nya Evan menampar angan tersebut, Evan menyingkirkan harapan serta impian yang mereka janjikan bersama. Seakan-akan semua yang mereka katakan hanya omong kosong belaka. Tidak berarti apapun.

Sakit. Itu yang Raisa rasakan. Dulu Evan sangat gentar mendekati-nya, meminta ID Line Raisa menggunakan speaker sekolah dan berakhir di ruang BK. Karena sekolah yang mereka tempati sangat menganjurkan larangan berpacaran, meskipun masih banyak siswa yang melanggar anjuran tersebut. Dan evan mendapat SP dari sekolah-nya. Setelah nasihat dari Adara dan Kevin yang terus meminta agar Raisa memberikan ID Line-nya kepada Evan, akhirnya Raisa memberikan kesempatan untuk Evan mendekati-nya. Melihat perjuangan Evan sampai mendapatkan SP hanya karena ingin meminta ID Line milik Raisa, membuat Raisa merasa kasihan dan juga iba. Raisa tersenyum masam. Seharusnya dulu ia tidak iba apalagi merasa kasihan, karena pada akhirnya ia berakhir menyakitkan seperti ini.

"Dulu kamu janji, gak akan ninggalin aku seperti apa yang Fahri lakukan ke aku." lirih-nya, tenggorokan-nya terasa kering. Mata-nya terasa sangat berat serta pening yang tak kunjung reda.

"Sekarang, Aku yakin untuk menutup hati aku sepenuh-nya untuk siapa aja. Iya, van. Siapapun." lirih-nya kembali, air matanya kembali meluncur dengan mulus di pipi-nya.

***

Luka LamaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang