Chapter 4 - Guilty

10.8K 562 3
                                    

Enjoy White Lies.
Ada beberapa part yang direvisi.

Tapi tidak mengubah jalan cerita kok 👌

🌹🌹🌹

"Kenapa Zel? Kenapa aku ga bisa sama kamu kayak dulu lagi? Kenapa? Aku ga mau kita cuma sekedar teman. Aku mau kita menikah Zel. Bahkan aku berdoa sama Tuhan. Kalau berita yang beredar bahwa kita tunangan itu menjadi kenyataan." ucapnya lirih.

Denzel terdiam. Tidak menjawab sepatah kata pun. Sementara Patty masih menangis. Hatinya hancur akibat penolakan Denzel pada dirinya.

🌹🌹🌹

Ronny menelpon Denzel. Tapi tidak ada jawaban. Sampai akhirnya entah panggilan yang keberapa puluh kali baru telponnya diangkat. Terdengar suara orang masih tidur.

"Zel... Denzel... bangun. Pak Bram memanggil kita ke kantornya." Seru Ronny dari ujung teleponnya.

Denzel mengulet ditempat tidurnya. Rasanya baru beberapa jam dia tidur karena Patty tidak bisa berhenti menangis semalaman.

Patty! Dimana dia sekarang?. Tanya Denzel dalam hatinya. Teringat bahwa Patty menginap dikamar sebelah.

"Halooo Denzel Weiz!!! Are you sleeping again???? Cepat bangun. Pak Bram nunggu kita dikantornya." Teriak Ronny lagi dengan frustasi.

"Hemm... Tapi sorry nih, Zel. Karena hari ini jadwal off jadinya aku sekarang lagi dibengkel urusin si beki. Dia dari kemarin ngambek gak mau nyala nih."

Beki yang dimaksud adalah motor bebek kesayangan Ronny peninggalan almarhum papanya.

"Oh damn! Please shut up! Ini lagi mau mandi. Yasudah sana urusin Beki. Semoga Beki cepet sembuh yah." ledek Denzel.

"Amin... amin ya Tuhan...tuh Beki dengar apa kata Denzel barusan. Dia bilang kamu harus semangat. Nyala lagi yah sayang." Mendengar Ronny ngomong sama motornya sendiri membuat Denzel geleng-geleng kepala sambil menepuk jidatnya.

"Gila nih orang lama-lama. Bye Ron." Denzel menaruh ponselnya di nakas sebalah ranjangnya. Dengan perasaan malas, dia berusaha bangkit berdiri dan jalan menuju kamar mandi.

Entah kenapa tiba-tiba kakinya melangkah menuju kamar tamu. Penasaran dengan keadaan Patty yang histeris semalaman.

Begitu pintu kamar tamu dibuka sesuai dugaannya bahwa kamar tersebut sudah kosong. Denzel menatap dipojok ruangan tempat semalam koper Patty diletakkan. Kopernya sudah tidak ada.

Denzel kembali ke kamar dan meraih handponenya. Satu pesan dari Patty.

P : Aku pulang. Thankyou sudah bolehin aku menginap. Tentang kejadian semalam aku minta maaf. Memang sebaiknya masalalu tetaplah masalalu.

Denzel kembali meletakkan ponselnya lalu beranjak ke kamar mandi. Dari semalam dia harus rela mandi air dingin akibat dari aksi spontannya yang tidak dapat dia teruskan.

"Maafkan aku. Aku sayang kamu. Tapi bukan begini caranya. Dan semakin kesini aku semakin sadar. Rasa sayang ini tidak bisa lebih dari sayang seorang sahabat. Tidak lebih." Ucapnya lirih.

🌹🌹🌹

PT. BINTANG CAHAYA AGENCY

"Selamat siang Pak Bram. Ada keperluan apa Bapak mencari saya?" Denzel menjabat tangan Pak Bram. Boss pemilik perusahaan Agency tempat Denzel bernaung.

"Denzel kau datang juga. Ayo silahkan duduk. Selamat atas rating film kamu. Menduduki posisi teratas selama 1.5 bulan penuh. Bahkan salah satu bioskop di Jakarta pasang 8 theater untuk film kamu. Hebat sekali nak." Puji Pak Bram sambil bertepuk tangan.

"Pak Bram bisa aja. Ini semua berkat kesempatan yang diberikan kepada saya." ucap Denzel merendah.

"Zel, saya senang. Diumur kamu yang baru 27 tahun ini kamu sudah berada dipuncak popularitas. Dan kamu masih selektif memilih setiap penawaran yang datang. Saya salut kamu tolak iklan rokok itu. Dengar-dengar bayarannya kan tinggi." tanya Pak Bram kepada Denzel dengan sedikit heran.

Denzel tertawa. Benar dia telah menolak iklan rokok. Padahal perusahaan rokok itu bersedia membayar hampir 70 juta jika Denzel bersedia.

"Saya tidak mau mengecewakan penggemar saya. Saya hanya mau menberi contoh yang baik. Fans saya banyak berasal dari usia 16 tahun keatas. Nanti mereka pikir saya memberi contoh anak-anak remaja untuk merokok. Lebih jangan. Uang bisa dicari." Ucap Denzel diplomatis.

Pak Bram mengangguk setuju dengan jawabannya. Lalu dia mengambil sebuah map merah dan memberikannya kepada Denzel.

"Denzel. Didalam sini ada penawaran untuk kamu. Hmmm... cukup menarik saya rasa." Silahkan dibaca dulu.

Denzel membuka map tersebut dan mulai membacanya. Raut wajahnya berubah seketika. Tegang.

"Ini maksudnya apa Pak? Menikah dengan Patricia?" Tanya Denzel dengan tatapan membelalak.

Pak Bram menyalakan cerutunya dan menyenderkan punggungnya dikursi kerjanya. Menatap Denzel sambil tersenyum.

"Ya. Saya harap kamu mau menikah dengan Patty. Dulu bukannya kalian pacaran? Dan sekarang saya pikir waktu yang tepat untuk kalian menikah."

Pak Bram memajukan badannya kearah Denzel lalu meneruskan perkataanya "Lagipula saat ini popularitas kamu dan Patty sedang diatas. Semua orang membicarakan kalian. Semua infotainment membahas berita pertunangan kalian."

Denzel meletakkan map tersebut diatas meja. Menatap tajam Pak Bram dengan penuh amarah.

"Apa Anda lupa kejadian 7 tahun yang lalu? Anda yang meminta saya merelakan Patty pergi demi perusaahan ini. Anda yang menghancurkan hidup Patty, anak Anda sendiri." Denzel berbicara dengan penuh emosi.

Dia sudah tidak peduli dengan siapa dia berbicara saat ini. Bahkan kalau saat ini dia kehilangan kontrak kerjanya pun dia tidak peduli.

"Dan sekarang dengan seenaknya Anda meminta saya kembali pada Patty?" Denzel tertawa sambil menggeleng.

"Denzel sayang.. dengar anak muda. Seharusnya kamu berterima kasih kepada saya. Karena sayalah kamu bisa mencapai ketenaranmu yang seperti sekarang."

"Maaf Pak Bram. Anda salah. Saya bisa ada seperti saat ini itu semua berkat kerja keras saya. Bukan karena Anda. Saya dan Patty bukan boneka Anda yang bisa diperintah seenaknya." Denzel membanting map merah tersebut keatas meja kerja Pak Bram. Membuat lelaki setengah baya itu tercengang.

"Dulu dengan keputusan mendadak dan sepihak Anda meminta saya meninggalkan Patty. Memutuskan hubungan kami berdua. Memaksa Patty menikah dengan pria lain. Lalu hari ini, 7 tahun kemudian, Anda meminya saya menikahi Patty?." Teriak Denzel geram.

"Patricia Wilona putri kandung Anda sendiri. Dia punya kehidupannya sendiri. Sekarang dia berada dipuncak karirnya setelah kejadian itu. Dimana hati Anda sebagai orangtua?" Denzel menggebrak meja dengan emosi.

"Patricia masih mencintai kamu." Ujar Pak Bram dengan lirih. Dia bangkit berdiri dan menatap Denzel dalam-dalam. Tatapan mata penuh dengan penyesalan.

"Kejadian 7 tahun lalu saya minta maaf. Saya menyesal. Tapi kini keadaannya sudah berubah. Patty butuh seseorang yang bisa melindungi dia. "

Pak Bram menghela nafas. Lalu melanjutkan perkataannya.

"Saya tahu bahwa Patty tidak pernah berhenti mencintai kamu. Saya tahu saya egois. Saya tahu saya bersalah kepada kalian. Karena tidak mau kehilangan perusahaan ini, saya menempuh cara yang salah. Tapi Patty adalah anak yang baik. Dia tidak mau mengecewakan saya. Walaupun hatinya tersiksa. Bahkan kenyataan pahit harus dia terima. Kamu tahu itu kan?" suara Pak Bram melemah.

Denzel masih diam. Tidak bisa berkata apa-apa. Pikirannya kacau apalagi hatinya.

"Jadi, apa kamu bersedia?"

"Maaf, saya tidak bisa Pak. Saya permisi dulu. Selamat siang." Denzel segera pamit keluar.

Sementara bapak tua itu hanya mampu memandangi bayangan punggunh Denzel yang menghilang dari balik pintunya. Duduk sedih sambil meratapi kesalahan masa lalunya yang membuat putri satu-satunya harus menahan penderitaannya selama 7 tahun ini.

🌹🌹🌹

TO BE CONTINUE...

WHITE LIES (COMPLETED. UNPUBLISHED FOR EDITING)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang